Kamis, 24 September 2020

Guntur: Pancasila dan Sosialisme Soekarno

Pancasila dan Sosialisme Soekarno

Oleh: Guntur Soekarnoputra

 

Artikel analisis budaya Prof Ariel Heryanto di harian ”Kompas”, Sabtu (8/8/2020), berjudul ”Pancasila”, sungguh menarik dan mengundang perhatian saya sebagai putra sulung Soekarno.

 

Tidak ada yang salah dalam pandangan Prof Ariel. Namun, sebagai orang yang sehari-hari bertanya, mengobrol, dan berdiskusi dengan Bung Karno, saya tergugah memberi perspektif berbeda untuk memperkaya diskusi tentang Bapak Bangsa yang memiliki kehebatan dan kegagalannya.

 

Prof Ariel Heryanto antara lain menulis, ”Di bawah Presiden Soekarno, Pemerintah RI berkali-kali terancam gawat. Selain serangan asing, juga pemberontakan bersenjata dalam negeri tidak sekali. Nyawa Presiden Soekarno berkali-kali menjadi sasaran usaha pembunuhan.

 

Akan tetapi, Soekarno tidak mengobral stigma ”anti-Pancasila” terhadap penyerang dalam negeri. Padahal, ia tokoh terpenting lahirnya Pancasila. Ancaman itu dinyatakan Soekarno dalam bingkai ideologi lintas bangsa. Tahun 1962, Pemerintah RI melarang organisasi yang ”bertentangan dengan cita-cita sosialisme Indonesia” (Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1962).

 

Prof Ariel juga bertanya, ”Apakah Pancasila sebuah ideologi? Bergantung konsep orang yang menjawab. Apakah ia menawarkan wawasan sendiri, meluas dan mendalam tentang hakikat manusia, hubungan antarmanusia dalam lintasan sejarah? Seperti apa jati dirinya? Sosialis tidak, apalagi komunis. Kapitalis bukan. Islamis pun tidak. Entah.”

 

Di akhir artikelnya, Prof Ariel menutup dan memberi konklusi. ”Yang jelas, sejak Soekarno tersingkir, Pancasila tidak lagi merangkul berbagai ideologi dunia agar berdamai. Pancasila malah dipertentangkan dengan beberapa ideologi besar dunia. Hukum melarang semua ideologi kiri dan sebagian yang kanan. Akan tetapi, mana ada hukum di dunia yang mampu mengendalikan ide, angan, mimpi, atau selera dalam masyarakat? Soekarno pernah mencoba dengan sosialisme. Ia gagal.”

 

Pada saat Penetapan Presiden No 2/1962 tentang Larangan Adanya Organisasi yang Tidak Sesuai dengan Kepribadian Indonesia, Menghambat Penyelesaian Revolusi atau Bertentangan dengan Cita-cita Sosialisme Indonesia, yang dimuat dalam Lembaran Negara RI No 34/1962, Bung Karno tengah memberlakukan sistem demokrasi terpimpin. Pelaksanaan dari demokrasi terpimpin saat itu menekankan pada revolusi, sosialisme, dan adanya pimpinan nasional (resopim).

 

Revolusi menurut Bung Karno adalah penjungkirbalikan semua tata nilai lama yang diganti dengan tata nilai baru atau penjebolan dari akar-akarnya sistem nilai lama diganti dengan sistem nilai baru. Sosialisme yang dimaksud merupakan suatu bentuk sosialisme Indonesia yang modern. Namun, sifatnya religius dan berke-Tuhan-an.

 

Adapun pimpinan nasional yang dimaksud adalah adanya tokoh pemimpin nasional yang dapat mempersatukan seluruh kekuatan progresif revolusioner menjadi satu kekuatan dominan untuk melaksanakan program revolusi waktu itu. Pimpinan nasional yang dimaksud berbeda dengan fuhrer, prinsip atau pimpinan nasional yang dianut oleh Hitler di era Fasisme Jerman, atau Mussolini di Italia.

 

Tentang apa ideologi itu, Bung Karno mengartikan sebagai pandangan hidup atau realitas dari suatu masyarakat atau bangsa yang terjadi akibat dari cara mereka berproduksi dan melakukan aktivitas sehari-hari. Masyarakat yang sebagian besar cara produksinya bertani atau agraris, ideologinya adalah ideologi feodalisme. Masyarakat yang cara produksinya masuk ke tahap industri, ideologinya adalah kapitalisme.

 

Sangat tepat dan benar apa yang ditulis Prof Ariel bahwa ideologi condong pada politik tertentu. Contohnya, ideologi feodalisme pasti condong pada politik kaum feodal. Ideologi kapitalisme pasti condong pada politiknya kaum kapitalis. Sebagai ”anak” dari kapitalisme, sosialisme pasti condong kepada politik kaum sosialis, baik dalam pengertian sosialisme kanan maupun sosialisme kiri.

 

Kalau saat ini kapitalisme dikatakan paling unggul di dunia, hal itu tentu tidak tepat karena kapitalisme pada Abad ke-21 ini sudah dalam keadaan ”sakit-sakitan”, apalagi saat diserang siluman virus korona baru penyebab Covid-19 di seluruh jagat. Bahkan, di beberapa negara, yang kapitalismenya paling kuat, seperti Amerika Serikat (AS) dan negara-negara maju lainnya, kemungkinan akan terjadi resesi ekonomi. Apalagi, AS yang saat ini kondisinya ”panas dingin” jelang pemilihan presiden, November mendatang.

 

Perang Dingin

 

Terkait tulisan Prof Ariel yang menyatakan bahwa Perang Dingin pada 1960-an mendesak Soekarno condong ke Blok Sosialis, saya menyatakan hal itu tidak sepenuhnya benar. Perang Dingin pada 1960-an tak pernah membuat Bung Karno condong ke Blok Sosialis, tetapi hanya pragmatis berpaling pada siapa negara yang mau membantu Indonesia saat itu.

 

Bung Karno berpaling ke Blok Sosialis karena sikap Blok Barat yang waktu itu dianggap tak berpihak pada perjuangan Indonesia untuk membebaskan Irian Barat (kini Papua) dari kolonialisme Belanda. Blok Barat, secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, dinilai Soekarno selalu membela dan berada di belakang kolonialisme Belanda.

 

Bahkan, perjuangan Indonesia di PBB selalu digagalkan Blok Barat dengan veto-vetonya. Di dalam negeri, khususnya dalam politik dan stabilitas keamanan Indonesia, agen-agen intelijen Blok Barat di Tanah Air beroperasi 24 jam untuk menghalangi perjuangan pembebasan Irian Barat.

 

Bahkan, agen-agen Blok Barat juga mendukung sejumlah pemberontakan di daerah, mulai dari RMS di Maluku, PRRI di Sumatera, Permesta di Sulawesi, hingga Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat. Bantuan diam-diam para intel asing itu, seperti terungkap dari dokumen intelijen AS yang sudah dibuka, menyatakan, langsung ataupun tidak langsung, adanya keterlibatan agen-agen Badan Pusat Intelijen AS (CIA) dan Dinas Intelijen Inggris (MI6), hingga pecahnya peristiwa G30S/PKI atau Gestok 1965.

 

Pada waktu itu, untuk membebaskan Irian Barat, sesuai teori Machtsvorming dan Machtsaanwending Bung Karno, Indonesia memerlukan persenjataan mutakhir. Mula-mula, Bung Karno mencoba membeli senjata-senjata dari AS, tetapi batal karena AS mengajukan banyak prasyarat politik yang sangat mengikat. Inilah yang membuat ujung-ujungnya Bung Karno menyatakan ”Go to hell with you aids”.

Akibat sikap tidak simpatik dari AS, Bung Karno akhirnya ”terpaksa” berpaling ke Uni Soviet, yang saat itu membuka tangan lebar-lebar dan tengah mencari dukungan negara lainnya dalam Perang Dingin dengan Blok Barat. Kompensasi Uni Soviet pun akhirnya menjual persenjataan-persenjataan mutakhir kepada Indonesia tanpa syarat-syarat politik yang mengikat. Seperti diketahui, Indonesia kemudian punya beberapa skuadron pesawat tempur, seperti MIG-15, MIG-17, MIG-21 dengan peluru kendali.

 

Indonesia juga membangun satu skuadron lengkap pesawat pengebom jarak jauh TU-16 termasuk yang berpeluru kendali. Ada juga pesawat-pesawat angkut Antonov. Bahkan, sebuah hadiah pribadi dari Khrushchev ke Bung Karno secara gratis, yaitu pesawat Ilyushin-28. Pesawat itu digunakan untuk pesawat komersial dan diberi nama Bung Karno, Dolok Martimbang.

 

Indonesia juga akhirnya mempunyai kapal-kapal perang modern dari kelas fregat, destroyer-destroyer, dan sekitar 10 kapal selam. Juga satu kapal penjelajah yang menjadi kapal bendera armada TNI Angkatan Laut atau ALRI, yang diberi nama RI Irian. Juga kapal-kapal pendarat amfibi, tank-tank amfibi PT-76, pelontar roket Katyuscha, tank-tank serbu, juga senjata serbu AK dan lainnya. Semua alat utama sistem persenjataan (alutsista) itu berasal dari Blok Sosialis.

 

Bintang penuntun

 

Apakah Pancasila sebuah ideologi? Kalau kita pelajari dengan saksama isi kuliah-kuliah/kursus-kursus Bung Karno, yang dihimpun dalam ”Pancasila sebagai Dasar Negara (Panitia Pembina Djiwa Revolusi, Departemen Penerangan RI, tanpa tahun cetak), jelas Bung Karno menyatakan bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi.

 

Ideologi itu menjadi meja statis di mana Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diletakkan di atasnya, dan juga merupakan ”Leitstar” atau bintang penuntun dinamis, yang memberi tuntunan ke mana arah NKRI harus dibawa; yaitu ke arah sebuah negara sosialis modern yang bersifat religius (berke-Tuhan-an).

 

Penjelasan ini diberikan Bung Karno secara khusus saat mengupas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam konteks keseluruhan Pancasila, tentunya, arahnya sebuah negara sosialis modern yang tak hanya bersifat religius (berke-Tuhan-an), tetapi juga mengantar masyarakat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

 

Sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, tak mudah mewujudkan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur karena kondisi sosial, politik, ekonomi dan keamanan saat itu masih terus dalam rongrongan kolonialisme dan kapitalisme. Di samping adanya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur.

 

Indonesia seperti disebutkan Prof Ariel nyaris gawat. Mulai dari agresi kolonial, kabinet yang jatuh bangun, dampak politik devide et impera dan ancaman perpecahan elite dan pembangkangan daerah, akhirnya berdampak pada ekonomi yang morat-marit, sulit memenuhi sandang, pangan dan papan.

 

Sebagai negara bekas jajahan Inggris, Belanda, dan Jepang, Bung Karno tentu ingin membawa bangsanya maju, disegani dan dihormati, dan bukan bangsa yang minder. Karena itu, di tengah instabilitas sosial, politik, ekonomi, dan keamanan, Bung Karno bukan hanya mengenalkan Indonesia di dunia, melainkan juga menunjukkan kemampuannya dengan melakukan pembangunan semesta berencana meski hasilnya masih belum optimal.

 

Dengan politik ”mercusuar”, Bung Karno menyelenggarakan KTT Asia Afrika, membangun sejumlah infrastruktur, mulai dari Hotel Indonesia, Toserba Sarinah, Wisma Warta, Wisma Nusantara, jalan protokol Sudirman-Thamrin selebar 24 meter, juga Tugu Monas, Masjid Istiqlal, Jakarta By Pass, Jembatan Semanggi, Gelora Senayan, Proyek Senen, Proyek Ancol, Proyek Conefo, dan lain sebagainya. Melalui proyek-proyek tersebut, sebenarnya Bung Karno ingin membangun karakter dan jiwa bangsa yang berani, tangguh, dan disegani.

 

Itikad baiknya sebagai pemimpin bangsa harus dihadapkan dengan banyaknya persoalan yang membelit, termasuk intervensi bertubi-tubi agen-agen Blok Barat, yang merencanakan membunuh Bung Karno sampai 26 kali, dan sebanyak lima kali di antaranya sudah dilaksanakan, tetapi gagal.

 

Di tengah instabilitas sosial, politik ekonomi dan keamanan, tentu upaya Bung Karno belum berhasil memperjuangkan ide sosialismenya.

 

Ancaman pembunuhan itu terjadi mulai dari peristiwa Cikini, salat Idul Adha, penembakan ke arah Istana Merdeka oleh MIG-17 yang dipiloti Maukar, ancaman pembunuhan di Makassar, dan upaya penembakan di Rajamandala, Jawa Barat.

 

Upaya pembunuhan itu belakangan diketahui ulah agen-agen intelijen CIA, seperti Bill Palmer, Alan Lawrence Pope, seorang mahasiswi agen CIA AS yang berhasil menyusup menjadi penari di Istana Merdeka. Terakhir, peristiwa G30S/PKI yang membuat Bung Karno harus turun takhta sehingga resopim harus tutup buku. Ulah CIA yang dibantu MI6 membuat PKI keblinger, gelap mata, dan menjadi kontra revolusi.

 

Jika bicara kegagalan-kegagalan Bung Karno, sebagai manusia, tentu seperti diungkapkan Prof Ariel, banyak sekali. Bung Karno pasti punya kekurangan-kekurangan, kegagalan-kegagalan, bahkan kesalahan-kesalahan, hal itu sangat manusiawi. Yang penting bagi kita dan generasi seterusnya, bagaimana melaksanakan hal-hal positif dari gagasan dan pandangan Bung Karno. Namun, jangan turuti hal-hal negatifnya. Sesuai pesan Bung Karno, tentu kita tidak akan sekali-kali meninggalkan sejarah. []

 

KOMPAS, 15 September 2020

Guntur Soekarnoputra | Putra Sulung Presiden Ke-1 RI Soekarno.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar