Al-Ta'lim al-Muta'allim (3)
Implementasi Epistimologi Makrifah
Oleh: Nasaruddin Umar
Epistimologi makrifah bukan hanya muncul sebagai wacana tetapi sudah terimplementasi di dalam tradisi di dalam masyarakat. Di lingkungan Pondok Pesantren dan kalangan dunia tasawuf sudah lama diimplementasikan epistimologi ini. Bahkan menurut mereka mendasarkan pendapatnya dengan beberapa ayat Al-Qur'an dan hadis. Di antaranya ialah:
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِّنكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُم مَّا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ
"Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat
Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang
membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan menyucikan kamu dan mengajarkan
kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunah), serta mengajarkan kepada kamu apa
yang belum kamu ketahui" (Q.S. al-Baqarah/2:151).
Dalam ayat di atas, Allah Swt mengedepankan proses
penyucian diri (tadzkiyah al-nafs) baru proses pendidikan (ta'lim). Itulah
sebabnya ilmu-ilmu yang merupakan washilah untuk sampai ke pengetahuan makrifah
sebagaimana banyak dipraktekkan di lembaga-lembaga tarekat, seorang murid
sangat sayang dan respek terhadap guruhnya. Mereka terkesan dengan sebuah qaul:
al-ustadz amam al-murid ka al-nabiyy amam al-shahabah (guru di depan murid
bagaikan nabi di depan sahabat). Prilaku kritis berlebihan dari seorang murid
terhadap guru atau mursyidnya tidak pernah terlihat di dalam pengalaman
sehari-hari bagi para pencita makrafat. Menuntut ilmu-ilmu makrifat juga
diperlukan kesantunan kepada guru (mursyid), sebagaimana dapat dilihat di
lembaga-lembaga spiritual, termasuk dalam tradisi pondok pesantren. Ketawadu'an
seorang murid dan kesantunan seorang guru atau kiyai, adanya tradisi keluhuran
dalam proses pencarian ilmu pengetahuan.
Nabi Musa juga dipersyaratkan untuk tidak terlampau banyak menggunakan logika kalau mau ikut ngaji ke Kang Khidhir, sebagaimana dijelaskan di dalam ayat:
قَالَ فَإِنِ اتَّبَعْتَنِي فَلَا تَسْأَلْنِي عَن شَيْءٍ حَتَّىٰ
أُحْدِثَ لَكَ مِنْهُ ذِكْرًا
"Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka
janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri
menerangkannya kepadamu". (Q.S. al-Kahfi/17:70).
Menurut Ahmad Ibn Atho'berkomentar: "Makrifat
itu memiliki tiga rukun yaitu takut kepada Allah, malu kepada Allah, dan senang
kepada Allah". Jadi memang tidak gampang mencari dan menemukan makrifat.
Hampir seluruh ulama sepakat bahwa cara untuk meraih sukses mencapai makrfifat
ialah kebrsihan batin. Untuk itu penyucian jiwa (tadzkiyah al-nafs) dan
keindahan batin (tanwir al-qulub) serta niyat yang tulus merupakan persyaratan
mutlah yang harus diwujudkan di dalam diri para peserta didik.
Pada dasarnya manusia itu memiliki kemampuan dan
kecerdasan, bahkan makrifat, hanya mereka terkontaminasi oleh lingkungan
sosial, sehingga mereka perlu berdzikir (mengingat kembali). Ayat yang sering dilibatkan
kelompok ini antara lain: fas'alu ahl al-dzikr inkuntum la ta'lamun.
(Bertanyalah kalian kepada ahli dzikir jika kalin tidak tahu), Afala
tatadzakkarun (Mengapa kalian tidak mengingat kembali?), dan Aqim al-shala li
dzikri (Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku). Kelompok ini mengedepankan
penyucian diri dalam bentuk tadzkirah, tashawwuf, Tashwir, tadzkiyah untuk
menjernihkan kembali pengetahuan inti yang pernah dibekalinya sejak lahir. []
DETIK, 22 Juni 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar