Hati Jakob Oetama yang Selalu Gelisah
Oleh: Sindhunata
Kepergian Jakob Oetama telah meninggalkan pelbagai kesan, pujian, dan kenangan. Di samping segala ingatan itu, kiranya masih tersisa kisah indah yang terlupakan, yakni kisah tentang seorang Jakob Oetama sebagai seorang beriman.
Pada diri Pak Jakob Oetama, iman bukanlah iman yang mapan, tapi iman yang gelisah dan diuji di tengah segala kerapuhan manusianya. Dari pergulatan imannya, kita bisa melihat kisah nyata tentang kerahiman Allah. Dan berdasarkan kerahiman Allah yang maha-pengampun itu Pak Jakob mengalami dan menemukan dasar-dasar perjuangan dan pertanggungjawaban humanisme transendentalnya. Pengenalan akan pribadi seorang Jakob Oetama kuranglah lengkap apabila tak disertai kisah terang iman yang dimilikinya.
Pada putranya, Irwan Oetama, Pak Jakob pernah bercerita kurang lebih demikian. Kompas itu ladang Tuhan. Ladang itu bukan milik saya. Saya hanya bekerja sebagai pekerja Tuhan. Maka hasil kerja saya harus dibagikan sebanyak mungkin bagi mereka yang bekerja bersama saya. Baru kalau ada sisanya, itu boleh saya nikmati. Keyakinan imannya itu bukan sekadar omongan. Terbukti, kerja keras di ladang Tuhan itu berwujud menjadi kesejahteraan bagi mereka yang bekerja di kelompok KG (Kompas-Gramedia), yang didirikannya bersama Petrus Kanisius Ojong.
Dengan KG yang maju dan besar, Pak Jakob tentu menjadi kaya. Namun, dalam kekayaannya, ia tetap tinggal menjadi pribadi yang sederhana. Memang seperti pernah dikatakan mantan wartawan Kompas, Thomas Pudjo, kekayaan bukanlah target hidup Pak Jakob: kekayaan itu buah yang mengalir begitu saja dari kesederhanaannya. Fakta kekayaan yang menjadi berkah buat sesamanya itu rasanya adalah wujud nyata dari kebenaran Sabda yang diimaninya: Carilah terlebih dahulu Kerajaan Allah, maka semua akan ditambahkan padamu.
Ziarah seorang wartawan
Pak Jakob kaya, namun dari perilaku dan penampilannya yang amat sederhana terasa bahwa ia tak pernah bisa menikmati kekayaannya. Malah sejauh saya mengenalnya, hatinya selalu gelisah. Dalam lubuk hatinya yang terdalam rasanya Pak Jakob mengalami jeritan Santo Agustinus ini: Inquietum est cor nostrum donec requiescat in te (Gelisahlah hatiku selalu, sampai aku beristirahat di dalam Diri-Mu).
Pak Jakob memang selalu gelisah. Gelisah bukan dalam arti gundah. Ia gelisah karena imannya mengajak dia untuk tak pernah merasa mapan dalam hidupnya. Ia belum berhenti gelisah sejauh Kompas belum benar-benar menjadi koran yang andal, koran yang bisa ikut membangun dan mencerdaskan bangsa. Ia gelisah sejauh karyawan-karyawannya belum sejahtera seperti yang diinginkannya.
Namun, kegelisahannya bukan hanya menyangkut tugas, karya, dan prestasinya, tapi juga menyangkut hidup pribadi dan hatinya. Kegelisahan itu menyakitkannya, karena di sinilah, seperti dialami oleh Agustinus, orang suci yang dulunya pendosa itu, Pak Jakob merasa didera oleh kerapuhan manusiawinya. Mengapa prestasi yang gilang-gemilang itu mesti terjadi dalam kerapuhan?
Mengapa orang besar harus didera kerapuhan? Atau apakah justru karena dia adalah orang besar, maka dia harus menderita kerapuhan? Kata Agustinus: kegembiraan-kegembiraanku layak disambut bukan dengan tawa, tetapi dengan tangis. Dan hanya Pak Jakob yang tahu, betapa ia menangis dalam hatinya, di tengah segala sorak-sorai yang memuji segala prestasinya. Kerapuhan itu ternyata menuntutnya untuk tetap menjadi rendah hati, tahu diri, berbela rasa terhadap kelemahan sesama, justru di tengah ia meraih prestasi yang luar biasa megahnya. Dalam kerapuhan itu tersimpan mutiara humanismenya.
Kegelisahan batinnya terus terjadi. Baru ketika ia untuk selamanya pergi. Ia boleh mengalami kerinduan akhir jiwanya: requiescat in te: beristirahat seluruhnya dalam Tuhan. Karena hati yang selalu gelisah, Pak Jakob menjalani hidup ini sebagai perjalanan ziarah. Dan ziarah Pak Jakob bukanlah perjalanan menuju tempat-tempat ziarah yang suci dan mulia. Bukan, Pak Jakob melakukan ziarah itu sebagai seorang wartawan, yang harus siap berada di tengah dunia yang penuh dengan jalan berbelok-belok, jalan yang tak pernah selalu lurus dan mulus. Jalan kegelapan, yang kadang-kadang tak tahu lagi di mana sesungguhnya Tuhan.
Ketika bekerja di Kompas, saya sendiri mengalami betapa berat perjalanan itu. Tak mudahlah dalam perjalanan itu orang berteguh untuk mempertahankan kemurnian hidupnya. Di sinilah saya bersama Pak Jakob, Pak Swantoro, dan teman-teman wartawan lainnya, kami semua mengalami kejatuhan, kerapuhan, kegagalan, dan kesalahan.
Sampai di kemudian hari, ketika saya boleh merayakan perayaan ibadat syukur pertama saya di kantor redaksi yang penuh tumpukan koran, saya mengatakan: Kompas telah memberikan banyak hal pada saya untuk menjadi penulis dan wartawan, tapi di atas semuanya itu bagi saya Kompas adalah sekolah dosa.
Pak Jakob amat suka dengan istilah sekolah dosa itu, karena istilah itu juga merumuskan pengalaman hidupnya. Memang baginya, sekolah dosa bukanlah sekadar tempat berdosa, tapi juga tempat di mana sebagai manusia yang wartawan, kami sama-sama mengalami betapa besar rahmat, kasih, kerahiman, dan pengampunan Allah, sehingga kami boleh benar-benar bisa merasakan kebenaran kata-kata Santo Paulus: ubi autem abundavit peccatum, superabundavit gratia, di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah. Ya, bersama Pak Jakob, di Kompas kami mengalami apa yang diyakini Paus Fransiskus: bahkan jika dosa seseorang itu segelap malam, kerahiman dan pengampunan Allah selalu lebih kuat daripada beban kepedihan kesalahan kami.
Karena pengalaman kejatuhan, kegagalan, dan dosa di sekolah dosa ini, Pak Jakob bersama kami semua dimatangkan untuk tidak menjadi munafik. Sehingga kami boleh merasakan kata-kata Yesus ini dengan benar-benar eksistensial: ”Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang melemparkan batu pertama kepada perempuan itu”. Kami hanya diam, dan merasa, bahwa kami pun berdosa seperti perempuan yang diseret dan dihakimi kaum Farisi, para ahli taurat yang munafik itu, karena ia kedapatan berzina.
Perasaan untuk tidak boleh berbangga terhadap kehebatan karena memang manusia diliputi oleh kesalahan, inilah dasar jurnalisme Jakob Oetama yang tidak mau menghakimi atau mengadili. Jurnalismenya yang tak mau menampar atau menegur dengan keras. Jurnalisme itu dijalankan dengan moderasi, prinsip yang percaya, bahkan kebenaran pun harus disampaikan dengan halus dan lembut, bukan dengan menista keras, seakan hanya diri kami yang benar. Prinsip moderasi ini harus memperjuangkan keadilan.
Namun, prinsip itu tetap berpegang, ketulusan untuk mau memaafkan adalah nilai yang tak kalah berharga dengan keadilan. Jurnalisme Jakob memang bukan jurnalisme permusuhan. Karena prinsip moderasinya itu, Pak Jakob memiliki banyak kawan.
Fragmen-fragmen kegagalan
Pak Jakob tak pernah berbangga dengan segala kesuksesannya, karena merasakan kerapuhan dan kejatuhan yang dialaminya sebagai manusia. Ia terluka, dan tak tahu mengapa luka itu harus terjadi. Namun, dengan demikian, seperti kata Agustinus, ia mengalami perihnya sensum vulneris, hati yang terluka di lubuk yang terdalam. Dan Tuhan sendiri yang menusukkan luka itu di hatinya. Maka tidak ada yang dapat menyembuhkan luka itu kecuali Tuhan sendiri.
Hati yang sengaja ditusuk-Nya hingga berluka itu mau tak mau membawanya pada Tuhan untuk diobati dan diampuni-Nya. Juga seandainya manusia tak bisa menerima luka itu, Tuhan selalu akan menerima dan mengobatinya, karena memang Dia sendirilah yang membuat luka itu, dan karena itu Dialah satu-satunya yang bisa menyembuhkan luka itu.
Kerahiman dan pengampunan Allah ini misteri di balik paham humanisme transendental Jakob Oetama. Humanisme Jakob Oetama tak mungkin dipahami tanpa kerahiman dan pengampunan Allah yang menyertainya. Itulah alasan mengapa Jakob Oetama menghendaki agar jurnalismenya menghibur yang papa sambil menegur yang kaya. Di mata Pak Jakob, yang papa maupun yang kaya adalah kaum yang sama-sama mengharapkan belas kasih Allah yang nyata, karena itu keduanya harus disapa dan dipedulikan bersama-sama pula.
Jalan ziarah humanisme transendental yang begitu panjang, dengan kejatuhan dan kegagalannya pula, Pak Jakob menghayati benar kebenaran iman seperti dikatakan Catherine LaCugna ini: ”Tuhan yang tidak membutuhkan dan tidak memperhatikan ciptaan, atau yang kebal terhadap penderitaan kita, Tuhan macam itu tidaklah ada… Tuhan yang membukukan dengan keras dan teliti segala dosa dan kejatuhan kita, semacam polisi keabadian, Tuhan macam itu tidaklah ada. Tuhan-tuhan seperti itu adalah palsu… Apa yang kita imani tentang Tuhan haruslah klop dengan apa yang diwahyukan Tuhan lewat Kitab Suci, yakni Tuhan yang menjaga para janda dan mereka yang miskin, Tuhan yang menjatuhkan hujan bagi mereka yang baik maupun yang jahat, Tuhan yang menerima mereka yang asing dan memeluk musuh-musuhnya.”
Tuhan yang demikian ini tak menuntut kita hadir di hadapan-Nya dengan utuh tanpa salah dan dosa. Justru di hadapan-Nya, kita boleh hadir dengan diri kita yang terpecah-pecah dalam fragmen-fragmen kegagalan, ketidakberhasilan, kekurangan, kesalahan, bahkan dosa-dosa kita. Pak Jakob jelas telah berhasil membangun suatu bangunan KG yang utuh dan megah. Namun, kiranya di tengah keberhasilan itu, Pak Jakob dengan rendah hati selalu menerima, bahwa hidupnya tersusun dari fragmen-fragmen kerapuhan dan kelemahan manusia. Kalau ke gereja, sering Pak Jakob duduk di belakang, merasa tak pantas di hadapan Tuhan.
Ia bukan seperti seorang Farisi, ahli taurat yang membanggakan prestasi kesuciannya di hadapan Allah, tapi ia bersikap seperti seorang pemungut bea yang merasa diri tak pantas, karenanya ia hanya bisa berdoa, ”Ya Allah, kasihanilah aku orang yang berdosa.”
Pak Jakob telah pergi. Dan kepergiannya inilah saat, di mana Tuhan sendiri yang menyusun fragmen-fragmen kehidupan Pak Jakob menjadi keutuhan yang takkan tergoyahkan lagi. Inilah saat Tuhan merangkul dan memeluk Pak Jakob, justru karena selama ini Tuhan telah menusuk hati Pak Jakob sampai luka, yang hanya Dia sendiri bisa menyembuhkannya.
Air mata syukur tiada akhir
Pak Jakob selalu meneteskan air mata ketika menceritakan tentang kesuksesan karyawan KG dan anak-anaknya yang telah menjadi sarjana, dokter, insinyur, dan sebagainya. Air matanya adalah air mata syukur yang tiada akhir. Mungkin karena ia merasa, dirinya adalah orang yang sama sekali tak pantas dan tak berguna, tapi mengapa Allah justru telah memilihnya untuk bisa menjadi orang besar, pribadi yang berguna bagi karyawan, sesama, bahkan negara dan bangsanya. Ia tak pernah habis mengerti, mengapa ia dikehendaki untuk bekerja di ladang-Nya sebagai seorang wartawan, yang bisa membangun Harian Kompas, di mana ia boleh mewartakan dan mewujudkan karya keselamatan Tuhan secara nyata.
Pak Jakob, dengan sabar dan telaten, telah menyirami ladang Kompas ini dengan air kerukunan dan kesatuan. Dan ia selalu menyebut KG ini Indonesia Mini. Di tengah segala ancaman ambisi fragmentasi sosial dan pengotak-ngotakan masyarakat yang saling mengecualikan, ia selalu ingin menjadikan KG sebagai pulau kecil kesatuan, yang digerakkan dan dijiwai oleh satu roh yang selalu mempersatukan.
Pada KG, Pak Jakob ingin mewujudkan teologi yang pernah didengarnya, teologi Santo Bonaventura tentang coincidentia oppositorum, yang maksudnya kurang lebih menjadi: ”Justru karena koeksidensi dari pihak-pihak yang berlawananlah, maka kelompok KG bisa menjadi basis bagi kesatuan yang sejati.” Ia ingin KG benar-benar menjadi tempat teladan bagi tumbuh suburnya kebenaran ajaran cinta kasih ini, yakni ”atau kita diselamatkan bersama-sama, atau kita tidak diselamatkan sama sekali”.
Jakob Oetama telah mewariskan pelbagai mutiara kemanusiaan, kebenaran, dan praktik iman yang amat berharga bagi siapa saja. Mutiara ini diperoleh dan diasah dalam perjalanan ziarah yang senantiasa gelisah. Kegelisahannya telah berakhir. Sekarang ia boleh merasa tenang dan tenteram dalam pelukan dan cinta Tuhan, yang selalu mengampuni dan merahimi segala kerapuhan, kelemahan, dan kejatuhannya. Inilah saat, di mana Pak Jakob boleh menyanyikan doa malam ini dengan bahagia: In manus tuas, Domine, commendo spiritum meum, ke dalam tangan-Mu ya Tuhan, kuserahkan hidupku. []
KOMPAS, 16 September 2020
Sindhunata | Wartawan Kompas 1977-2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar