Perdebatan Mengenai Suara Tuhan
Dalam wacana ilmu kalam, ada perdebatan sengit tentang apakah Allah bersuara ataukah tidak ketika menyampaikan kalam atau Firman-Nya. Perdebatan ini sangat tajam hingga sampai pada taraf ada pihak-pihak yang tak segan menjatuhkan vonis kafir pada lawannya. Perdebatan soal kalamullah (suara Allah) inilah yang di antaranya menyebabkan ilmu teologi Islam disebut sebagai ilmu kalam.
Pada artikel ini akan dijelaskan secara singkat apa saja perbedaan pendapat tentang itu sebagai pengetahuan yang penting diketahui pelajar teologi Islam. Dengan memahami ini, maka perselisihan yang terjadi di antara umat Islam dapat dipetakan dengan mudah.
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bary menjelaskan soal perbedaan ini sebagai berikut:
Pertama, Muktazilah. Mereka berkata:
فَقَالَتِ الْمُعْتَزِلَةُ لَا يَكُونُ الْكَلَامُ إِلَّا بِحَرْفٍ وَصَوْتٍ وَالْكَلَامُ الْمَنْسُوبُ إِلَى اللهِ قَائِمٌ بِالشَّجَرَةِ
“Muktazilah berkata: Kalam/firman tidaklah terjadi kecuali dengan bentuk huruf dan suara. Adapun kalam yang dinisbatkan pada Allah terjadi di pohon” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bary, vol. XIII, hlm. 460)
Maksudnya, bagi mereka Allah sendiri pada hakikatnya tidak berkalam. Yang ada adalah Allah menciptakan suara di media tertentu agar bisa didengar oleh para utusan yang dikehendaki-Nya. Dalam kasus ketika Allah berfirman kepada Nabi Musa, maka Allah menciptakan suara di sebuah pohon di bukit Tursina yang didengar oleh Nabi Musa. Dari konsep inilah kemudian muncul perkataan khas Muktazilah bahwa kalamullah adalah makhluk sebab ia adalah ciptaan.
Kedua, Ahlussunnah wal Jama’ah al-Asya’irah. Mereka berkata:
وَقَالَتِ الْأَشَاعِرَةُ كَلَامُ اللَّهِ لَيْسَ بِحَرْفٍ وَلَا صَوْتٍ وَأَثْبَتَتِ الْكَلَامَ النَّفْسِيَّ وَحَقِيقَتُهُ مَعْنًى قَائِمٌ بِالنَّفْسِ وَإِنِ اخْتَلَفَتْ عَنْهُ الْعِبَارَةُ كَالْعَرَبِيَّةِ وَالْعَجَمِيَّةِ وَاخْتِلَافُهَا لَا يَدُلُّ عَلَى اخْتِلَافِ الْمُعَبَّرِ عَنْهُ وَالْكَلَامُ النَّفْسِيُّ هُوَ ذَلِكَ الْمُعَبَّرُ عَنْهُ
“Al-Asya’irah berkata bahwa kalamullah bukanlah huruf ataupun suara. Mereka menetapkan adanya kalam dalam diri yang hakikatnya adalah makna yang ada dalam diri Allah. Meskipun ungkapan terhadap makna itu berbeda-beda, bisa memakai bahasa Arab atau bahasa non-Arab, tapi perbedaan itu tidaklah menunjukkan apa yang diungkapkan itu sendiri. Kalam dalam diri itulah yang diungkapkan tersebut” (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bary, vol. XIII, hlm. 460)
Maksudnya, bagi mereka kalamullah sejatinya adalah makna yang ada dalam diri Allah (kalam nafsi), tidak berupa suara ataupun huruf sebab seluruh suara atau huruf adalah makhluk. Makna dalam diri Allah itu diungkapkan dengan berbagai bahasa, seperti bahasa Arab yang diterima oleh Nabi Muhammad, atau bahasa non-Arab seperti yang diterima oleh nabi-nabi Bani Israil. Semua kalamullah yang berbeda bahasa tersebut kemudian dibahasakan dengan bahasa Arab dalam Al-Qur’an yang menunjukkan bahwa bahasa yang meliputi suara dan huruf hanyalah sebuah ungkapan dari makna dalam diri Allah itu. Meskipun ungkapannya dalam bentuk bahasa berbeda-beda, tetapi semuanya merujuk pada makna dalam diri Allah yang tanpa suara dan huruf tersebut.
Cara para rasul mendengar kalam yang tanpa huruf itu adalah dengan diberikan pengetahuan langsung di dalam diri mereka melalui jalan pendengaran tentang makna yang ada dalam diri Allah itu. Syekh Ibnu Asyur menjelaskan hal ini sebagai berikut:
أَنْ يَخْلُقَ لِلْعَبْدِ إِدْرَاكًا مِنْ جِهَةِ السَّمْعِ يَتَحَصَّلُ بِهِ الْعِلْمَ بِكَلَامِ اللَّهِ دُونَ حُرُوفٍ وَلَا أَصْوَاتٍ
“Allah menciptakan pengetahuan/pemahaman dari arah pendengaran yang darinya muncul pengetahuan tentang kalamullah, tanpa huruf ataupun suara”
Selanjutnya beliau menjelaskan,
فَعَلَى هَذَا الْقَوْلِ لَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ الْمَسْمُوعُ لِلرَّسُولِ أَوِ الْمَلَكِ حُرُوفًا وَأَصْوَاتًا بَلْ هُوَ عِلْمٌ يَحْصُلُ لَهُ مِنْ جِهَةِ سَمْعِهِ يَتَّصِلُ بِكَلَامِ اللهِ
“Menurut pendapat Asy’ariyah ini, yang didengar oleh Rasul atau Malaikat tidaklah harus berupa suara atau huruf, tetapi ilmu yang didapat dari arah pendengaran yang terhubung dengan kalamullah”.
Ketiga, Ahlusunnah wal Jama’ah al-Hanabilah. Mereka berkata:
وَأَثْبَتَتِ الْحَنَابِلَةُ أَنَّ اللَّهَ مُتَكَلِّمٌ بِحَرْفٍ وَصَوْتٍ أَمَّا الْحُرُوفُ فَلِلتَّصْرِيحِ بِهَا فِي ظَاهِرِ الْقُرْآنِ وَأَمَّا الصَّوْتُ فَمَنْ مَنَعَ قَالَ إِنَّ الصَّوْتَ هُوَ الْهَوَاءُ الْمُنْقَطِعُ الْمَسْمُوعُ مِنَ الْحَنْجَرَةِ وَأَجَابَ مَنْ أَثْبَتَهُ بِأَنَّ الصَّوْتَ الْمَوْصُوفَ بِذَلِكَ هُوَ الْمَعْهُودُ مِنَ الْآدَمِيِّينَ كَالسَّمْعِ وَالْبَصَرِ وَصِفَاتُ الرَّبِّ بِخِلَافِ ذَلِكَ فَلَا يَلْزَمُ الْمَحْذُورُ الْمَذْكُورُ مَعَ اعْتِقَادِ التَّنْزِيهِ وَعَدَمِ التَّشْبِيهِ وَأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَكُونَ مِنْ غَيْرِ الْحَنْجَرَةِ فَلَا يَلْزَمُ التَّشْبِيهَ
"Hanabilah menetapkan bahwa Allah berkalam dengan huruf dan suara. Adapun huruf, maka karena pernyataan dalam dhahir Al-Qur’an. Adapun tentang suara Tuhan, maka orang yang menolak keberadaannya berkata bahwa suara adalah udara yang terputus-putus yang didengar dari kerongkongan. Hanabilah yang menetapkan suara ini menjawab bahwasanya yang demikian adalah suara yang terjadi dari manusia, seperti halnya pendengaran dan penglihatan. Sedangkan sifat Allah tidak seperti itu, maka tak berarti terjadi hal tersebut yang terlarang, dengan disertai keyakinan menyucikan Allah dari kekurangan dan tiada menyerupakan dengan makhluk. Dan, bisa saja, suara muncul tidak dari kerongkongan sehingga tidak berarti ada penyerupaan dengan makhluk" (Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bary, vol. XIII, hlm. 460)
Maksudnya, bagi mereka Allah kalamullah memang berupa suara dan huruf yang didengar para malaikat dan para Rasul. Alasannya, kita lihat Al-Qur’an berupa huruf-huruf. Sedangkan suara Tuhan diyakini tidak seperti suara manusia yang keluar dari kerongkongan. Dengan demikian mereka meyakini adanya suara, tetapi dalam jenis yang berbeda dengan suara manusia. Dasar yang dipakai Hanabilah ini adalah hadits-hadits yang menyebut adanya “suara Tuhan”.
Yang paling tepat dari ketiga pendapat di atas adalah pendapat Ahlussunnah wal Jamaah al-Asya’irah sebab hadits-hadits yang menyebut adanya “suara Tuhan” seluruhnya bermasalah di sanadnya atau di dalam matan/isinya. Hanya satu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Aqil yang bisa dianggap layak diperhitungkan, dan itu pun diperselisihkan sebab Ibnu Aqil hafalannya buruk. Imam al-Baihaqi menyatakan:
وَلَمْ تَثْبُتْ صِفَةُ الصَّوْتِ فِي كَلَامِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ أَوْ فِي حَدِيثٍ صَحِيحٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَيْرَ حَدِيثِهِ وَلَيْسَ بِنَا ضَرُورَةٌ إِلَى إِثْبَاتِهِ
“Tidaklah valid sifat shaut (suara) dalam Al-Qur’an atau di hadits yang sahih dari Nabi, kecuali hadits Ibnu Aqil tersebut. Dan, kita tak harus menetapkan shaut itu” (al-Baihaqi, al-Asma’ was-Shifat, vol. II, hlm. 29)
Alasan lainnya adalah suara pasti makhluk sebab suara tak lain adalah gelombang yang dihasilkan oleh getaran yang bisa diukur dengan satuan Hertz (Hz). Bila Allah dikatakan bersuara, maka artinya sama dengan mengatakan salah satu dari dua makna berikut:
1. Ada sebagian dari Dzat Allah yang bergetar sehingga mengeluarkan gelombang amplitudo getaran pada frekuensi tertentu yang bisa diukur dengan satuan Hertz. Makna ini adalah mazhab Mujassimah yang disepakati sebagai mazhab sesat. Meskipun disebut tak keluar dari tenggorokan, tapi yang namanya suara pastilah dihasilkan oleh getaran jisim.
2. Ada getaran yang diciptakan Allah di luar Dzat-Nya, dalam arti getaran itu terjadi pada makhluk yang Allah kehendaki. Ini adalah mazhab Muktazilah yang disinggung di atas.
Dengan demikian, mazhab Hanabilah terlihat kontradiktif. Di satu sisi menetapkan suara bagi Tuhan, padahal seluruh suara adalah makhluk. Tetapi di sisi lain mengatakan kalamullah bukan makhluk. Adapun mazhab Asy’airah konsisten ketika berkata bahwa Allah tak bersuara sebab kalamullah disepakati bukanlah makhluk sedangkan suara pasti berupa makhluk. Dalam konteks inilah di dalam al-Fiqh al-Akbar, Imam Abu Hanifah menyatakan dengan tegas:
وَنحن نتكلم بالآلات والحروف وَالله تَعَالَى يتَكَلَّم بِلَا آلَة وَلَا حُرُوف والحروف مخلوقة وَكَلَام الله تَعَالَى غير مَخْلُوق
“Kita berbicara dengan organ-organ dan huruf-huruf. Sedangkan Allah Ta’ala berbicara dengan tanpa organ dan tanpa huruf. Huruf-huruf itu makhluk sedangkan Kalamullah Ta’ala bukan makhluk” (Abu Hanifah, al-Fiqh al-Akbar, 26).
Pendapat para ulama lainnya yang menyatakan Allah tak bersuara selengkapnya pernah penulis ulas di kolom Ilmu Tauhid. Wallahu a’lam bish shawab. []
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar