Dilema Adaptasi Kehidupan Baru
Oleh: Bambang Soesatyo
ALIH-ALIH siap menerapkan
adaptasi kehidupan baru, kecemasan justru mulai tereskalasi. Data terkini
tentang lonjakan kasus Covid-19 di dalam negeri memaksa semua pihak harus
bersabar. Sebab, belum semua elemen masyarakat patuh pada protokol kesehatan.
Fakta ini menjadi dilema untuk keinginan bersama beradaptasi dengan pola hidup
baru (new normal).
Lonjakan kasus selama beberapa pekan terakhir menjadi
bukti ketidakpatuhan sebagian masyarakat pada protokol kesehatan. Pekan ini,
jumlah kasus Covid-19 di dalam negeri sudah menembus level 100.000 kasus. Laju
penambahannya pun terkesan makin cepat dan terus membesar. Banyak yang mulai
cemas karena belum jelas benar kapan kecenderungan seperti sekarang bisa
dikendalikan. Apalagi, klaster baru mulai bermunculan di sejumlah tempat. Di
Jakarta, sepanjang pekan ini saja, sudah terdeteksi 613 klaster baru. Bahkan
komunitas pekerja kantoran yang sebelumnya diasumsikan lebih prudent, justru juga
menjadi klaster yang mencatatkan ratusan kasus baru.
Benar bahwa persentase jumlah pasien yang sembuh juga
cukup besar. Tetapi, fakta itu tidak boleh menjadi alasan untuk mengganggap
remeh urgensi mematuhi protokol kesehatan. Alasan pertama dan utama adalah virus corona
(SARS-CoV-2) ini masih mewabah sehingga masih berpotensi menginfeksi atau
menyakiti banyak orang, sekarang dan di kemudian hari. Para ahli sekali pun
tidak bisa menghitung durasi pandemi ini. Jika jumlah kasus terus bertambah,
potensi kematian juga meningkat sebagaimana terjadi Amerika Serikat (AS) maupun
Brasil. Kedua,
klaim tentang vaksin penangkal virus ini oleh beberapa negara masih dalam tahap
uji coba, sehingga belum akan tersedia untuk umum dalam jangka dekat.
Ketiga, karantina mandiri hingga penerapan protokol kesehatan
menjadi cara yang cukup efektif menghindari penularan. Jika semua orang
mematuhi protokol kesehatan, diyakini bahwa kasus Covid-19 bisa ditekan hingga
jumlah terkecil, atau bahkan rantai penularannya bisa diputus. Kalau keduanya
terwujud, kerja memulihkan semua aspek kehidupan praktis menjadi lebih mudah.
Semua orang tak perlu lagi takut berlebihan ketika berada di ruang publik,
termasuk di kantor, kampus atau sekolah.
Keempat, keberhasilan menekan jumlah kasus Covod-19 tidak hanya
menyehatkan dan menyelamatkan banyak orang, tetapi juga akan membentuk persepsi
positif untuk negara-bangsa. Sekadar contoh pembanding, masyarakat Eropa kini
membuat pembatasan bagi warga AS untuk berkunjung ke benua itu, karena persepsi
tentang AS dalam konteks Covid-19 tidak begitu bagus.
Kendati pandemi Covid-19 masih akan berlangsung,
semua elemen masyarakat tentu berharap persepsi komunitas global tentang
Indonesia tidak akan seburuk seperti persepsi tentang AS atau Brasil. Karena
itu, kepatuhan pada protokol kesehatan sebaiknya jangan ditawar-tawar lagi.
Kepatuhan pada protokol kesehatan akan memampukan semua orang menerapkan dan
beradaptasi dengan pola hidup baru. Hanya dengan pendekatan itulah masyarakat
akan dimampukan menyiasati pandemi ini. Bukankah durasi pandemi covid-19 belum
bisa dihitung?
Namun, penerapan pola hidup baru itu sebaiknya tidak
harus dipaksakan jika proses dan skala penularan Covid-19 masih seperti periode
Juni-Juli 2020 sekarang ini. Masih adanya kelompok-kelompok masyarakat yang
belum mematuhi protokol kesehatan menjadi dilema.
Mengacu pada pengalaman buruk Eropa dan kegagalan
Amerika Serikat (AS) serta Brasil meredam penularan Covid-19, disarankan kepada
semua pemerintah daerah untuk semakin bijaksana dan lebih mengutamakan aspek
kehati-hatian dalam melonggarkan ketentuan pembatasan sosial atau menerapkan
pola hidup baru. Kalau pelanggaran protokol kesehatan masih marak sebagaimana
terlihat pada sejumlah kota di pulau Jawa, itu berarti pemerintah daerah masih
gagal sehingga sebagian masyarakatnya belum berkesadaran penuh akan pentingnya
mematuhi dan melaksanakan protokol kesehatan.
Maraknya pelanggaran protokol kesehatan masih
terlihat di Jakarta dan sejumlah kota di Jawa Timur, dan kecenderungan itu
tercermin dari lonjakan kasus baru di Jakarta maupun Jawa Timur. Jika
ketidakpatuhan pada protokol kesehatan masih marak, lonjakan kasus baru
Covid-19 seperti yang terjadi sekarang akan berkelanjutan. Kecenderungan
seperti itu sudah barang tentu akan membuat banyak orang takut dan ragu untuk
menerapkan pola hidup baru di ruang publik. Lonjakan kasus baru yang
berkelanjutan pun bisa berakibat fatal, sebagaimana terjadi di Eropa, AS hingga
Brasil.
Sebagaimana dilaporkan Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) Jumat (24/7), Eropa sedang mencatat peningkatan kasus Covid-19 dalam dua
minggu terakhir. Dari sekitar 15 juta kasus Covid-19 di seluruh dunia,
seperlimanya tercatat di Eropa dengan total kematian 207.118. Lonjakan kasus di
benua itu terjadi akibat kelalaian warga Eropa melaksanakan protokol kesehatan
selama fase pelonggaran. Sejak pekan lalu, Prancis, Jerman, Austria dan Inggris
mulai memperketat lagi pelaksanaan protokol kesehatan, utamanya penggunaan
masker, serta menerapkan denda bagi siapa saja yang tidak mengenakan masker.
Sementara itu, dampak pandemi Covid-19 di AS dan
Brasil bahkan lebih parah lagi. Pekan lalu, AS sudah mencatatkan empat (4) juta
lebih kasus dengan total kematian 144.167. Sedangkan Brasil sudah mencatat
kasus 2,2 juta dengan total kematian 82.771. Dua negara ini sejak awal
cenderung tidak percaya akan adanya pandemi Covid-19. Bahkan para pemimpinnya
hanya bisa beretorika.
Dengan menghadirkan contoh-contoh itu beserta
kecenderungannya, semua pemerintah daerah diharapkan lebih mengedepankan aspek
kehati-hatian. Masyarakat harus terus menerus diajak dan didorong untuk patuh
dan melaksanakan protokol kesehatan jika ingin menerapkan pola hidup baru.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar
Parawansa sudah mengakui bahwa penyebab lonjakan kasus Covid-19 di Jawa Timur
adalah ketidakpatuhan sebagian masyarakat pada protokol kesehatan. Di Jakarta
pun kecenderungannya hampir sama. Aparatur Pemprov DKI sudah mencatat 27 ribu
lebih kasus pelanggaran warga yang tidak menggunakan masker.
Fakta itu menjadi penanda bahwa Jakarta, Jawa Timur
dan beberapa kota lainnya memang belum siap menerapkan pola hidup baru. Karena
itu, jangan dipaksakan karena risikonya cukup besar. []
KORAN SINDO, 01 Agustus 2020
Bambang Soesatyo | Ketua MPR RI, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar