Jumat, 11 September 2020

Buya Syafii: Dua Kader Muhammadiyah Terjun ke Sumpur Kudus

Dua Kader Muhammadiyah Terjun ke Sumpur Kudus

Oleh: Ahmad Syafii Maarif

 

Ada filosofi asketik di lingkungan Muhammadiyah yang berbunyi, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup dalam Muhammadiyah.” Saya tidak tahu oleh siapa dan kapan rumusan semacam ini diciptakan.

 

Saat masih belajar di Madrasah Mu’allimin Yogyakarta tahun 1950-an, rasanya saya sudah akrab juga dengan nasihat ini. Jika dinisbatkan dengan sosok pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, ungkapan itu menemukan alamat tepat.

 

Kiai ini telah tertungkus lumus dan menghabiskan harta bendanya untuk kepentingan Islam melalui Muhammadiyah pada dasawarsa kedua dan ketiga abad ke-20. Hanya sedikit dari pengikut Dahlan yang mampu meniru asketismenya.

 

Apakah filosofi semacam itu mesti ditafsirkan secara kaku dan ketat? Apakah Muhammadiyah, misalnya, harus selalu menuntut pengorbanan dari para kadernya dalam bertugas, sementara hidup mereka mungkin saja telantar, demi dakwah Islam?

 

Jika demikian, ada baiknya rumusan filosofi itu sedikit ditambah muatan pesannya: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup dalam Muhammadiyah. Tetapi bagi kader yang belum mapan secara ekonomi, tidak boleh dibiarkan kekurangan gizi.”

 

Dengan semangat filosofi tambahan di atas, Muhammadiyah cabang Sumpur Kudus, Sumatra Barat, mendatangkan dua kader: Sidiq Wahyu Oktavianto, SPd.I (asli Yogyakarta, alumnus Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah) dan Inggit Prabowo, SPd.I (asal Lampung, alumnus PUTM/Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah) untuk turut membina masyarakat desa tersuruk di pedalaman Bukit Barisan itu.

 

Nama Sumpur Kudus sudah beberapa kali saya tulis di ruang “Resonansi” ini untuk maksud yang berbeda. Kepada kedua kader itu saya sampaikan ini: “Dalam menyampaikan pesan Islam, pakailah bahasa otak dan bahasa hati sekaligus.”

 

Muhammadiyah mulai bertapak di nagari itu sejak 1944, akhir penjajahan Jepang. Pernah menggeliat selama beberapa tahun sampai akhir 1950-an.

 

Namun, akibat pergolakan yang dipicu PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang kemudian dihantam pemerintah pusat, bukan saja Muhammadiayah di desa kecil itu yang hancur, melainkan juga seluruh kawasan Ranah Minang menjadi berantakan dengan mewarisi mentalitas kalah dan tersungkur.

 

Apalagi, Sumpur Kudus pernah jadi persembunyian sementara tokoh-tokoh PRRI yang mulai kehabisan napas itu. Setelah mati suri 40 tahun, sejak tahun 2000 Muhammadiyah Sumpur Kudus dihidupkan kembali, tetapi dengan energi serbaminim sampai hari ini.

 

Tuan dan puan, baik juga saya ceritakan sekilas tentang proses kedatangan dua kader ini. Sudah sekitar enam tahun, saya berupaya mencari guru, dai, dan pembimbing masyarakat untuk nagari itu. Tak kunjung berhasil.

 

Baru sekarang, dengan bantuan nama-nama berikut: Erik Tauvani Somae, Muhammad Ridha Basri, DR Asmul Khairi, dan pengusaha lokal Devi Azman, semuanya berjalan di luar dugaan. Lancar sekali.

Melalui jaringan “Anak Panah” yang segera viral, seorang alumnus Madrasah Mu’allimin Yogya di Jakarta (tak perlu disebut namanya) langsung meminta nomor rekening dua kader itu dengan kiriman masing-masing Rp 10 juta.

 

Mungkin inilah di antara bentuk pengalaman keagamaan sederhana yang tulus dan halus, jika dibaca dalam teori kerohanian penyair Muhammad Iqbal.

 

Indonesia punya lebih dari 75 ribu desa, tersebar dan berserak di pulau-pulau besar dan pulau-pulau kecil. Kabarnya, masih di atas angka 30 persen kawasan perdesaan itu dalam kategori tertinggal, tiadanya prasarana jalan yang layak dan tiadanya listrik.

 

Dengan demikian, desa-desa ini masih jauh dari suasana kemerdekaan. Akibat serbuan dahsyat Covid-19, sebagian desa itu tentu sangat menderita, di samping sebagian lagi bebas dari ancaman korona itu.

 

Sumpur Kudus termasuk pada posisi yang kedua ini, sekalipun masih miskin. Di sana tidak berlaku perintah: patuhi protokol kesehatan.

 

Dalam usia yang sudah sangat larut ini, saya merasa terharu sekali dengan kerja kolektif bersama orang-orang baik yang penuh idealisme ini, demi kepentingan masyarakat desa yang tidak kurang rumitnya.

 

Pengaruh televisi dan medsos, yang baik dan buruk, merambah jauh ke kawasan terpencil mana pun di Indonesia. Tidak jarang wabah narkoba, judi, seks bebas, dan penyakit sosial lainnya telah lama marak di sebagian perdesaan Negeri Pancasila ini.

 

Tanpa penyuluhan yang efektif dari negara (sering tak berdaya) dan tokoh-tokoh masyarakat, tidak mustahil di antara anak desa akan jadi korban sisi hitam dan merusak dari modernisasi. Indonesia secara keseluruhan sedang dihadapkan pada tantangan berat itu.

 

Mungkin anak muda Sumpur Kudus telah ada pula yang jadi korban. Maka untuk turut membangun masyarakat yang terpencil itu, pukul 01.00, Ahad 16 Agustus 2020, dua kader muda idealis, Sidiq dan Inggit, sampai di Sumpur Kudus Selatan, sebuah nagari baru hasil pemekaran dari nagari induk Sumpur Kudus.

 

Mereka akan mengabdi di Kecamatan Sumpur Kudus, yang penduduknya menurut data 2019 berjumlah 26.162.000. Siapa tahu, retak tangan anak muda ini memang ditakdirkan untuk berbuat yang terbaik di sana, minimal selama dua tahun ke depan! []

 

REPUBLIKA, 25 Agustus 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar