Berupaya Menjauh dari Zona Resesi
Oleh: Bambang Soesatyo
KETIKA upaya pemulihan ekonomi harus berjalan
terseok-seok karena jumlah kasus Covid-19 di dalam negeri terus bertambah
dengan skala yang makin besar, ihwal resesi cukuplah diinformasikan apa adanya
dan didukung data terkini. Pandemi Covid-19 sudah membuat kehidupan semua
komunitas tidak nyaman, sehingga deskripsi tentang resesi tak perlu
didramatisir atau dijadikan teror kepada masyarakat.
Resesi ekonomi sebagai akibat dari pandemi global
Covid-19 itu predictable.
Sejak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan virus korona menjadi pandemi
global, banyak orang awam sekalipun sudah bisa menghitung apa akibatnya,
terutama terhadap sektor ekonomi. Dan, sejak awal pandemi, sudah dimunculkan
perkiraan dan perhitungan tentang resesi, baik oleh tim ekonomi pemerintah
maupun oleh Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) hingga Organisasi
Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD).
Karena fakta tentang saling ketergantungan di sektor
ekonomi, semua negara menerima dan merasakan ekses dari pandemi. Melemahnya
kinerja perekonomian global menyeret puluhan negara masuk ke zona resesi.
Kinerja ekonomi melemah karena putaran mesin ekonomi sengaja dan harus
dihentikan sementara dalam kerangka penguncian atau lockdown itu. Penguncian
harus dilakukan sebagai cara mengendalikan penularan Covid-19. Sudah barang
tentu akibatnya bisa dikalkulasi. Sejak awal Agustus 2020, belasan negara
secara teknikal dilaporkan sudah resesi.
Sebagaimana sedang dirasakan bersama, perekonomian
nasional pun tak luput dari ekses pandemi Covid-19. Setelah masih bisa mencatat
pertumbuhan positif pada kuartal I-2020, perekonomian nasional terkontraksi
atau tumbuh negatif di kuartal dua tahun ini. Prediksi ini pun sudah dipaparkan
satu-dua bulan lalu. Ekonomi Indonesia tumbuh negatif sebagai konsekuensi dari
penerapan PSBB (Pembatasan sosial berskala besar). Saat PSBB diterapkan, pabrik
tidak berproduksi. Bekerja dan belajar pun cukup dari rumah saja. Konsumsi
rumah tangga pun sempat menurun karena banyak keluarga menahan diri atau
menunda belanja.
PSBB perlu diterapkan guna mengendalikan atau memutus
rantai penularan Covid-19. Mengacu pada data dan wilayah penularan Covid-19,
Indonesia pun terpaksa harus menerapkan PSBB justru di pusat-pusat pertumbuhan,
seperti Jakarta dan semua kota besar di pulau Jawa. Dampaknya pun cukup mudah
untuk dikalkulasi. Pilihan atas PSBB atau penguncian praktis tak terhindarkan
karena aspek kesehatan atau keselamatan semua orang menjadi keutamaan yang
tidak boleh ditawar-tawar.
Kalau baru pada kuartal II-2020 terjadi kontraksi,
perekonomian Indonesia belum bisa dikatakan resesi teknikal. Asumsi tentang
resesi teknikal terpenuhi jika terjadi kontraksi dua kuartal berturut-turut.
Karena itu, siapa pun hendaknya tidak memaksakan pandangan, asumsi atau
penilaian pribadi maupun kelompoknya bahwa perekonomian Indonesia sudah masuk
jurang resesi . Apalagi jika diasumsikan akan terjadi krisis ekonomi. Tidak
etis jika pandangan atau asumsi seperti itu dijejalkan ke ruang publik secara
berkelanjutan untuk memengaruhi atau menakut-nakuti orang banyak. Dalam situasi
ketidakpastian seperti sekarang, antar-komunitas seharusnya saling menguatkan
dan membangun harapan dengan menerapkan protokol kesehatan.
Boleh saja diasumsikan bahwa perekonomian Indonesia
sedang menuju zona resesi teknikal karena kuartal II-2020 tumbuh negatif.
Menuju zona resesi teknikal tidak sama dengan resesi itu sendiri. Kalau pada
kuartal III-2020 kecenderungannya bisa lebih baik dibanding kuartal sebelumnya,
harus juga berani diasumsikan bahwa perekonomian Indonesia mulai berbalik arah
atau menjauh dari zona resesi teknikal. Resesi teknikal bukanlah krisis.
Dinamika kehidupan di belasan negara yang sudah resesi teknikal pun berlangsung
baik-baik saja, alias tidak ada gejolak.
Walaupun terjadi kontraksi, perekonomian nasional
cenderung mulai bergerak ke arah positif. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani
melihat data kenaikan konsumsi listrik sebesar 5,4% per Juni 2020 sebagai
sinyal positif, jika dibandingkan dengan konsumsi listrik Mei 2020 yang minus
10,7%. Begitu juga dengan pertumbuhan industri makanan dan minuman yang per
Juni 2020 mulai positif di level 10%, setelah minus hampir 50 persen sepanjang
Mei 2020. Sub-sektor perdagangan eceran dan perdagangan besar juga menunjukan
kecenderungan positif.
Indikator-indikator itu menjelaskan bahwa permintaan
atau konsumsi dalam negeri secara bertahap mulai menguat lagi. Ketika
permintaan pasar mulai bertumbuh, harus ada upaya maksimal dan dengan penuh
kehati-hatian untuk menghidupkan lagi mesin perekonomian atau produksi. Dan,
untuk merawat serta memperkuat permintaan itulah Komite Pemulihan Ekonomi
Nasional mulai merealisasikan beberapa program yang fokus pada upaya merawat
kekuatan konsumsi sejumlah komunitas, mulai dari komunitas pekerja, pegawai
atau tenaga honorer, pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) hingga ibu
rumah tangga. Untuk 12 juta pelaku UMKM, pemerintah menyiapkan bantuan Rp2,4
juta untuk setiap unit usaha.
Selain itu, pemerintah juga menyiapkan stimulus usaha
bagi 6,2 juta untuk ibu rumah tangga korban PHK dan pelaku usaha mikro dengan
kredit modal kerja tanpa bunga sebesar Rp2 juta per debitur. Tidak kurang dari
13 juta karyawan swasta dengan gaji di bawah Rp5 juta per bulan pun akan
mendapatkan bantuan Rp 600.000 per bulan. Komunitas pekerja berstatus pegawai
honorer atau bukan pegawai negeri sipil (PNS) juga akan menerima bantuan dengan
jumlah yang sama.
Pendekatan dengan program bantuan seperti ini
memungkinkan perekonomian nasional menjauh dari zona resesi pada
kuartal-kuartal berikutnya. Di sisi lain, program bantuan seperti itu juga
menjadi bukti bahwa negara masih mampu merespons ketidakpastian sekarang ini
dengan cara merawat ketahanan ekonomi beberapa komunitas yang kontribusinya
relatif signifikan bagi perekonomian.
Akhir-akhir ini, di tengah tingginya lonjakan kasus
Covid-19, masyarakat perkotaan yang nota bene adalah pusat pertumbuhan mulai
berani melakukan aktivitas produktif. Kecenderungan ini tentu saja
berkontribusi besar upaya bersama menjauh dari zona resesi teknikal. Agar
kecenderungan ini tidak menghadirkan risiko, pemerintah daerah pada semua kota
besar di Pulau Jawa hendaknya berupaya keras mendorong masyarakat mematuhi
protokol kesehatan. Pulau Jawa sebagai pusat pertumbuhan memang harus mendapat
perhatian khusus karena 74% kasus Covid-19 tercatat pulau ini. []
KORAN SINDO, 20 Agustus 2020
Bambang Soesatyo | Ketua MPR RI, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar