Memerdekakan Negeri dari Krisis Pandemi
Oleh: Agus Harimurti Yudhoyono
PADA 17 Agustus lalu, saya bersama istri mengikuti prosesi upacara pengibaran bendera Sang Saka Merah Putih dalam rangka peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Negara secara virtual. Perayaan hari kemerdekaan kali ini benar-benar berbeda, tanpa parade dan defile yang gegap gempita, tanpa pesta rakyat yang penuh tawa dan suka cita. Akibat pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) yang telah melanda dunia dan negeri kita, hari kemerdekaan kali ini kita rayakan dengan sangat bersahaja, namun Insyallah tetap khidmat dan bermakna.
Bagaimanapun juga, tanggal 17 Agustus merupakan hari
istimewa yang penuh makna dan kebahagiaan bagi rakyat Indonesia. Oleh karena
itu, peringatan usia bangsa yang menginjak 75 tahun ini harus menjadi momentum
yang baik bagi kita untuk melakukan refleksi kesejarahan, mensyukuri apa yang
telah kita capai dan wujudkan, meneguhkan komitmen perjuangan dan pengabdian
kita menuju Indonesia yang semakin aman dan damai, semakin adil dan sejahtera,
serta semakin maju dan mendunia, di masa depan.
Kesederhanaan peringatan kemerdekaan Indonesia kali
ini mengingatkan kita pada suasana kebatinan proklamasi kemerdekaan bangsa yang
juga diselenggarakan melalui upacara yang amat sederhana. Saat itu, Sang Saka
Merah Putih dikibarkan di tengah ancaman musuh-musuh Republik, yang tidak
menghendaki bangsa ini merdeka. Namun keteguhan, kegigihan, dan semangat
persatuan para pejuang dan pendiri bangsa akhirnya Indonesia terbebas dari
penjajahan yang membelenggu negeri selama ratusan tahun lamanya.
Terhitung sejak penghujung 2019 hingga sekarang,
fenomena pandemi Covid-19 kini telah menyebar ke lebih dari 215 negara. Pandemi
ini telah menjadi ancaman non-traditional (non-traditional security threat)
yang kini menelan korban berskala besar dan menghadirkan tekanan ekonomi dunia
yang sangat berat. Sejumlah negara telah memasuki fase resesi yang ditandai
oleh pertumbuhan ekonomi negara selama dua kali kuartal berturut-turut. Tentu
kita semua tidak berharap tekanan ini berubah menjadi depresi ekonomi. Namun
demikian, tekanan ekonomi itu terbukti berkontribusi menghadirkan gelombang
pengangguran, kemiskinan dan ketimpangan di berbagai negara (World Bank, 2020;
UNDP, 2020).
Di Indonesia sendiri, penyebaran pandemi Covid-19
masih menunjukkan peningkatan eksponensial. Belum tampak tren penurunan
penyebaran. Sementara itu, tren ekonomi kuartal II menujukkan gejala
mengkhawatirkan dimana pertumbuhan ekonomi turun hingga 8%, dari 2,97% di
kuartal I menjadi -5,32% di kuartal II (BPS, 2020). Jika tidak diantisipasi
dengan baik melalui gerak cepat penanganan pandemi dan penyelamatan ekonomi
secara efektif, negara berpotensi mengalami resesi dan tekanan ekonomi yang
lebih dalam dan berkepanjangan. Bappenas (2020) sendiri telah memprediksi
potensi hadirnya gelombang pengangguran baru hingga 5 juta jiwa, sehingga total
pengangguran bisa menembus angka 12,7 juta di tahun 2021 mendatang.
Selanjutnya, gelombang ini tentu juga akan berimplikasi pada meningkatnya angka
kemiskinan dan ketimpangan sosial di tengah masyarakat. Capaian Indonesia
selama pemerintahan Presiden SBY yang berhasil menurunkan tingkat kemiskinan
secara signifikan dari 16,7% (2004) menjadi 10,96% (2014), kemudian berlanjut
ke ‘single digit’ di era Presiden Jokowi menjadi 9,22% (2019), berpotensi kembali
melonjak menjadi “double digit”.
Untuk itu, kita harus fokus pada upaya penyelesaian
akar persoalan ini. Jika merujuk pada filosofi sederhana dalam ranah kebijakan
publik, penyebaran pandemi adalah apinya, sedangkan dampak tekanan ekonomi
adalah asapnya. Negara tidak boleh salah fokus. Sejak awal, konsentrasi negara
memang harus lebih fokus memadamkan apinya, bukan justru sibuk memperhatikan
kepulan asapnya. Untuk itu, semua langkah-langkah taktis dan strategis
penyelamatan kesehatan rakyat dan ekonomi negara ini harus kita kawal bersama.
Jika akurasi dan efektivitas penanganan pandemi dan distribusi dana stimulasi
ekonomi tidak tepat sasaran, maka berpotensi menjebak negara ke dalam situasi
yang lebih pelik.
Untuk itu, di tengah spirit Hari Kemerdekaan ini,
setiap daya dan upaya seluruh komponen bangsa harus diorientasikan pada
idealisme dan komitmen perjuangan untuk menyelamatkan dan memerdekakan
Indonesia dari ancaman pandemi. Karena itu, komitmen persatuan dan kegigihan
dalam perjuangan ini juga harus kita wujudkan dalam ikhtiar bangsa untuk
melakukan “Perang Semesta” melawan pandemi.
Krisis ini adalah krisis bangsa. Bukan waktunya kita
saling menuding dan menyalahkan satu sama lain. Untuk itu, kita semua sebagai
anak bangsa harus bahu-membahu dan bersatu padu mengerahkan segala daya dan
upaya untuk menyelamatkan nasib kesehatan rakyat dan ekonomi negara. Mari kita
bertanya kepada diri kita masing-masing, apa yang bisa kita kontribusikan untuk
meringankan beban negara dan juga rakyat Indonesia. Sebagaimana petuah dari
pendiri bangsa Haji Agus Salim dan juga Muhammad Natsir, bahwa setiap ikhtiar
memiliki makna besar. “Semua itu harus diperjuangkan, tidak sekadar menunggu
harapan."
Kita harus siap mempertaruhkan segalanya untuk
memenangkan perang melawan pandemi ini. Jangan sampai krisis ganda ini
berkepanjangan hingga menenggelamkan cita-cita bangsa. Spirit perjuangan itulah
yang ditanamkan Sutan Syahrir dengan membangkitkan logika berpikir kita dengan
mengatakan, "hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah
dimenangkan".
Tantangan melawan pandemi dan menyelamatkan ekonomi
negeri ini adalah ujian besar persatuan dan juga komitmen perjuangan bangsa. Di
ranah sosial, kita bisa turun tangan langsung melalui berbagai macam gerakan
peduli dan berbagi, untuk ikut berpartisipasi dan berkontribusi meringankan
permasalahan sesama anak bangsa yang hidupnya terdampak oleh pandemi.
Bagi yang lainnya, khususnya para pemuda, jika belum
memungkinkan bagi kita ikut berkontribusi secara materi, negara menunggu
sumbangan idealisme dan integritas kita untuk mengawal dan menjalankan
prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam kebijakan publik guna
menghentikan laju penyebaran pandemi dan menyelamatkan ekonomi. Sebagaimana
pesan Tan Malaka, “idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh
pemuda”. Hal ini sangat fundamental, karena akurasi dan efektivitas setiap
kebijakan publik dan eksekusinya di tingkat lapangan, akan sangat berarti dan
menentukan bagaimana arah nasib bangsa Indonesia ke depan. Mari bersatu padu
dan bergerak bersama dalam satu komitmen tunggal untuk memerdekakan negeri dari
krisis pandemi. Bersama kita kuat, bersatu kita bangkit. []
KORAN SINDO, 24 Agustus 2020
Agus Harimurti Yudhoyono | Ketua Umum Partai Demokrat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar