Memaknai Syirik
Memanglah sukar mengesakan Allah itu meskipun kita, anak-anak desa yang sejak kecil sudah dikenalkan tentang sifat-sifat-Nya. Orang-orang tua kita yang bijak itu tak pernah pula mengatakan kepada kita bahwa upaya menghafal Aqidatul ‘Awam itu nantinya adalah bagian dasar dari upaya membentuk pola pikir yang sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW.
Karena manusia adalah makhluk berpikir, maka perlu kiranya pemikirannya tentang Tuhan dikonstruksi sesuai dengan informasi-informasi rohani yang jelas memiliki perbedaan dari semata identifikasi kognitif terhadap hal material. Ilmu ini memang bukanlah seperangkat metode merumuskan ‘siapa itu Tuhan,’ sebab sebagaimana dikatakan oleh ulama muhaqqiqin -pada hakikatnya, jika Tuhan ada karena dirumuskan oleh kita, maka kita telah terjerumus dalam kekufuran.
Namun, pemahaman ini lebih pada upaya mengatur cara berpikir manusia agar tetap etis dalam keterbatasannya untuk memikir-mikirkan Tuhan. Tanpa ilmu ini dikhawatirkan akan membentuk pemikiran yang liar dan memungkinkan mengarah pada kesesatan pikir tentang Tuhannya sendiri.
Itulah Kaidah-kaidah keimanan dalam dimensi tata-pikir kita. Meskipun tidak sedominan ilmu fiqh dalam kehidupan sehari-hari Muslim, namun bagus-tidak nya kepahaman akidahnya berimplikasi pada praktik faktual keberislaman seseorang. Contohnya dalam bagaimana seseorang dengan mudah menuduh syirik dalam pelaksanaan ritual tertentu hanya karena terlalu berat pada pertimbangan teks syariat tanpa memiliki pertimbangan-pertimbangan yang bersifat teologis.
Muslim mana yang tak takut jika sudah mendengar kata syirik? Ancamannya sangat mengerikan. Ia takkan mendapatkan ampunan Tuhan. Berbeda dengan perbuatan dosa lainnya yang meskipun bejibun masih ada peluang ampunan.
Ingar-bingar tuduhan syirik terhadap ritual ziarah, mauludan dan lainnya tentunya merupakan bagian dari implikasi goyahnya pemahaman aqaid (akidah) seorang Muslim di mana pemikirannya tidak mampu menetapkan bagaimana seharusnya mengesakan Allah itu. Dalam doktrin teologis Asy’ariyah-Maturidiyah yang kemudian dikenal dengan Aqidah Ahlusunah wal Jamaah, dinyatakan bahwa “Allah itu Esa, tiada suatu apa pun bisa menyamai-Nya, baik dalam ke wajibul-wujudan-Nya maupun dalam hal penyembahan terhadap-Nya.”
Jika potongan frase pertama polemik sering terjadi terkait penyamaan, pengasosiasian Allah terhadap makhluk, dan ini relatif terjadi dalam dimensi pemikiran, persepsi dan keyakinan, sedangkan potongan separuh terakhir sering terjadi dengan cara sebaliknya, yakni dengan menuhankan yang selain-Nya dan ini dikhawatirkan terjadi dalam ritus-ritus penyembahan.
Para ulama mengatakan bahwa dari sekian macam syirik yang paling berbahaya adalah syirik khofi. Ini sejenis syirik yang lembut sekali, yang bersemayam dalam dada kita tanpa disadari keberadaannya. Pangkalnya adalah nafsu. Nafsu kedirian atau egoisme yang memang memiliki sifat selalu menomorsatukan keinginan dan kepentingannya sendiri melebihi kehendak Allah, Tuhan seluruh alam.
Celakanya, nafsu ini diperlengkapi dengan sifat-sifat (pakaian-pakaian) yang memperkuat daya egoistisnya. Sifat-sifat ini terdiri dari kesenangan-kesenangan pada kelezatan-kelezatan kehidupan, kebengisan dan kebuasan, iri dengki dan hasut serta kesombongan.
Nah, nafsu egoisme yang belum terdidik akan dengan mudah menyerap hasrat-hasrat tersebut dan menggunakan watak-wataknya tadi untuk selalu mendapatkan pemuasan, betapapun ia sebenarnya tak akan pernah puas. Baik secara mencolok maupun dijalankan dengan begitu halus sehingga tidak terdeteksi kecuali oleh orang-orang yang halus hatinya.
Jika kita merasa, membangun sikap, dan tindakan berdasar keadaan di atas, tentu saja kita telah, secara tidak disadari, menjadi syirik. Itulah syirik khafi di mana kita telah menomorsatukan bisikan, kemauan egoisme kita bukan keinginan dari Allah azza wa jalla. Ketika kita hendak menikmati kelezatan kehidupan ini, ketika tidak ada bersitan di hati untuk menghamba, menerima nikmat-Nya dan kemudian memanjatkan syukur pada-Nya, maka rangkaian aktivitas batiniah tersebut termasuk pada kesyirikan. Sia-sialah pekikan Allahu Akbar dari lisan kita, sementara yang kita agungkan dalam kondisi rohani kita sebenarnya adalah nafsu kita yang sedang berpakaian kebengisan. Selagi kita menyerap rasa dengki ke dalam perasaan dan pemikiran kita, kemudian muncul menjadi kata dan tindak, itu syirik. Terakhir, yang paling berbahaya adalah kesombongan. Kesombongan yang sangat halus sering kita praktikkan tanpa sadar dalam kehidupan sehari-hari dengan hiasan ilmu yang kita kuasai. Na’udzu billahi min dzalik!
Kepatuhan, ketaatan dan kesenangan kita memperturutkan hawa nafsu dengan segala rupanya tersebut tak lain dan tak bukan adalah sebentuk penuhanan. Secara halus kita telah memposisikan sama pentingnya antara kepentingan hawa nafsu dengan kepentingan Allah Rabbul Izzah terhadap diri kita. Alangkah celakanya perbuatan rohani ini. Tidak tampak, tapi jelas! Kita telah mensyarikatkan Tuhan dengan makhluk-Nya dalam hal “penyembahan,” bahkan lebih. Kita lebih patuh pada nafsu kita ketimbang pada-Nya.
Tiada jalan lain untuk melepas semua keburukan ini kecuali kita "mandi", bersuci dengan Sunnah Nabi. Hanya dengan semua ajarannyalah kita dimungkinkan untuk terlepas dari kejahatan rohani di atas. Sebab, hanya beliau yang menjadi contoh terbaik dalam pengesaan kepada-Nya. Maka menjadi wajib bagi kita untuk meniru, mengimitasi, menyama-nyamakan, mendekat-dekatkan, menjadi satu golongan, mengasosiasikan diri, bersyarikat dengan Rasulullah SAW, untuk bisa terbebas dari kotornya rohani ini.
Maka di sinilah, dengan cara bersyarikat dengan Rasulullah SAW inilah kita akan secara otomatis akan dicuci, dibersihkan, masuk pada proses pengasahan rohani, pensucian nafsu kita dari segala perangai buruk, dan sekaligus diproses untuk secara bertahap menggunakan pakaian sifat-sifat kenabian yang telah beliau SAW wariskan melalui para sholihin. Karena tiada mungkin rohani akan berkumpul, bisa bersama, bisa berasosiasi dengan yang tidak sejenis, (....Seseorang akan bersama dengan yang dicintainya, al-hadits). Terus menerus memperkuat kecintaan pada Rasulullah SAW, dengan berbagai metode yang dilatihkan oleh para salihin artinya adalah menjalankan sunnah Rasulullah secara kaffah, tidak hanya apa yang beliau ucapkan, tidak saja terhadap apa yang beliau SAW lakukan tapi juga meniru-nirukan keadaan rohani (haal)-nya, yang sudah pasti Rasulullah SAW-lah paling murni pengesaannya terhadap Allah, dibandingkan dengan kualitas pengesaan dari semua makhluk-Nya yang lain. []
Fuad Al-Athor, santri Pondok Pesantren Kasepuhan Atas Aggin, Ciamis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar