Dalil Ukhuwah Wathaniyah dalam Islam
Persaudaraan yang dibangun atas nama agama Islam dikenal sebagai ukhuwah islamiyyah. Di luar ikatan ini, ada ukhuwah wathaniyah, yaitu ikatan persaudaraan yang dilandasi atas kesamaan negara. Lebih jauh lagi dari ukhuwah wathaniyah, adalah ukhuwah basyariyah atau ukhuwah insaniyah, yaitu ikatan persaudaraan sesama manusia. Masing-masing dari ikatan persaudaraan ini banyak dijelaskan oleh ayat Al-Qur’an dan hadits dari Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ukhuwah insaniyyah lahir dan tumbuh dengan landasan bahwa manusia hakikatnya diciptakan lewat perantara insan yang sama yaitu Nabiyullah Adam ‘alaihissalam. Nabi Adam menjadi titik temu antara individu satu dengan individu lainnya. Di dalam Alquran, hal ini dijelaskan oleh QS Al-Nisa [4] ayat 1:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَّاحِدَةٍ وَّخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيْرًا وَّنِسَاۤءً ۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ الَّذِيْ تَسَاۤءَلُوْنَ بِهٖ وَالْاَرْحَامَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا
Artinya: “Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu.” (QS Al-Nisa [4] : 1)
Ketika menafsiri ayat ini, Al-Thabari (w 310 H) menyampaikan bahwa:
ثم وصف تعالى ذكره نفسه بأنه المتوحِّد بخلق جميع الأنام من شخص واحد، مُعَرِّفًا عباده كيف كان مُبتدأ إنشائه ذلك من النفس الواحدة، (1) ومنبِّهَهم بذلك على أن جميعهم بنو رجل واحد وأم واحدة= وأن بعضهم من بعض، وأن حق بعضهم على بعض واجبٌ وجوبَ حق الأخ على أخيه، لاجتماعهم في النسب إلى أب واحد وأم واحدة= وأن الذي يلزمهم من رعاية بعضهم حق بعض، وإن بَعُدَ التلاقي في النسب إلى الأب الجامع بينهم، مثل الذي يلزمهم من ذلك في النسب الأدنى= (2) وعاطفًا بذلك بعضهم على بعض، ليتناصفوا ولا يتظالموا، وليبذُل القوي من نفسه للضعيف حقه بالمعروف على ما ألزمه الله له
Artinya: “Allah SWT secara khusus menyebut lafadh nafsin di dalam ayat ini adalah untuk memberitahu bahwasanya Allah Ta’ala secara sendirian telah menciptakan semua manusia di dunia ini berasal dari individu yang satu. Tujuan dari ini adalah untuk memberitahu kepada para hamba-Nya bahwa, bagaimanapun kondisi mereka saat ini sedang tumbuh kembang, asal muasal mereka adalah dari jiwa yang satu. Selain itu, tujuan dari penyebutan ini adalah untuk mengingatkan para hamba bahwa semuanya dari mereka adalah berasal dari seorang ayah dan ibu yang sama. Oleh karena itu, antara satu sama lain, individu satu dengan lainnya, hukumnya adalah wajib saling menjaga hak sebagai seorang saudara, dsebabkan bertemunya mereka dalam nasab bapak dan ibu yang sama itu. Oleh karena itu pula, hal yang bersifat mengikat di antara mereka adalah saling menjaga hak masing-masing. Meskipun kondisi pertemuan nasab tersebut sangat jauh, kendati ikatan nasab saat ini berada pada nasab sudra.Penyebutan ini sekaligus merupakan anjuran untuk berbuat kasih sayang antar sesama, bertindak saling tolong menolong dan tidak melakukan upaya saling berbuat aniaya. Tujuan lainnya adalah agar orang yang kuat tetap memperhatikan hak yang lemah, dengan jalan yang ma’ruf dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT.” (Al-Thabary, Jami’u al-Bayan fi Ta’wili Al-Qur’an, Tanpa Nama Kota: Muasisah al-Risalah, 2000, Juz 7, halaman 521).
Berangkat dari penafsiran Al-Thabārī (w. 310 H) di atas, maka secara tidak langsung menisbikan anggapan beberapa pihak belakangan ini yang menyebut bahwa ukhuwah insaniyah tidak ada dalilnya. Sebaliknya, hasil penafsiran ini justru mempertegas posisi nasionalisme dalam konteks Al-Qur’an, bahkan menurut ulama generasi salaf semacam al-Thabari (w. 310 H).
Terkait dengan ukhuwah wathaniyah, yaitu persaudaraan atas nama warga negara yang tinggal dan hidup di lingkungan yang sama, secara otomatis mengikut pada ukhuwah insaniyyah, bahkan lebih khusus lagi. Apakah ukhuwah ini memiliki landasan dalil? Mari kita simak ulasan berikut ini!
Tatkala Al-Quran mengisahkan tentang dialog para Rasul terdahulu dengan kaumya, Al-Quran seringkali membahasakan dengan menggunakan "idz qâla lahum akhûhum" (saat saudara mereka berkata kepada mereka). Narasi ini dapat kita temui ada di banyak tempat ayat Al-Quran. Misalnya adalah QS Al-Syu’ara [26] ayat 105 - 106. Allah SWT berfirman:
كَذَّبَتْ قَوْمُ نُوْحِ ِۨالْمُرْسَلِيْنَ ۚ اِذْ قَالَ لَهُمْ اَخُوْهُمْ نُوْحٌ اَلَا تَتَّقُوْنَ
Artinya, "Kaum Nuh telah mendustakan para Rasul. Ketika saudara mereka (Nabi Nuh )berkata kepada mereka: Mengapa kalian tidak bertakwa?" (QS Al-Syu'arâ [26] : 105-106)
Di dalam Surat yang sama, ayat 141-142, Allah SWT juga berfirman:
كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ الْمُرْسَلِيْنَ ۖ اِذْ قَالَ لَهُمْ اَخُوْهُمْ صٰلِحٌ اَلَا تَتَّقُوْنَ ۚ
Artinya, “"Kaum Tsamüd telah mendustakan para Rasul. Ketika saudara mereka (Nabi Shalih) berkata kepada mereka: Mengapa kalian tidak bertakwa?" (QS Al-Syu'arâ [26] : 141-142)
اِذْ قَالَ لَهُمْ اَخُوْهُمْ لُوْطٌ اَلَا تَتَّقُوْنَ ۚاِنِّيْ لَكُمْ رَسُوْلٌ اَمِيْنٌ ۙ
Artinya, "Ketika saudara mereka (Lüth ) berkata kepada mereka: Mengapa kalian tidak bertakwa? Sungguh aku adalah seorang Rasul (yang diutus) kepada kalian yang
bisa dipercaya." (QS Al-Syu'arâ [26] : 161-162)
Kondisi yang tergambar dari ayat ini adalah ada dua representasi insan. Yang satu beriman dan yang satu berbuat ingkar/tidak beriman. Kaum yang berman diwakili oleh para nabi dan rasul yang bersangkutan, sementara kaum yang tidak beriman diwakili oleh kaumnya. Lagi-lagi, Al-Qur’an membahasakan relasi antara kedua kaum ini sebagai akhun yang berarti saudara. Nabi Nuh, Nabi Shalih dan Nabi Luth, ketiganya diutus untuk kaum mereka sendiri, yang setanah air. Ini menandakan bahwa Al-Qur’an mengakui eksistensi ukhuwah wathaniyah (persaudaraan atas nama sebangsa dan setanah air).
Lain halnya ketika Al-Qur’an mengisahkan mengenai pembangkangan penduduk Aikah (Ashhâbul Aikah) terhadap dakwah Nabi Syu'aib, Al-Quran tidak menyebut Ashhabul-Aikah sebagai saudara Nabi Syu'aib. Allah Ta’ala berfirman:
كَذَّبَ اَصْحٰبُ لْـَٔيْكَةِ الْمُرْسَلِيْنَ ۖ اِذْ قَالَ لَهُمْ شُعَيْبٌ اَلَا تَتَّقُوْنَ ۚ
"Penduduk Aikah telah mendustakan para Rasul. Ketika Nabi Syu'aib berkata kepada mereka: Mengapa kalian tidak bertakwa?" (AI-Syu'arâ': 176-177)
Mengapa ada perbedaan di antara penyebutan itu? Besar kemungkinan adalah disebabkan Nabi Syu'aib bukan termasuk penduduk Aikah. Nabi Syu'aib merupakan penduduk yang berasal dari negeri Madyan (Ashhâb al-Madyan). Itulah sebabnya, saat Al-Qur’an membahasakan dialog dengan penduduk Madyan, Al-Qur’an baru menyebut ashháb al-Madyan sebagai "akhuhum": Simak QS al-Ankabut [29] ayat 36 berikut!
وَاِلٰى مَدْيَنَ اَخَاهُمْ شُعَيْبًاۙ فَقَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَارْجُوا الْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَلَا تَعْثَوْا فِى الْاَرْضِ مُفْسِدِيْنَۖ
Artinya, “Dan kepada penduduk Madyan, (Kami telah mengutus) saudara mereka Syuaib, dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, harapkanlah (pahala) hari akhir, dan jangan kamu berkeliaran di bumi berbuat kerusakan.” (QS al-Ankabut [29] ayat 36)
Seruan Nabi Syu’aib kepada Ashabul-Aikah merupakan seruan atas nama kemanusiaan. Sementara seruan Nabi Syu’aib kepada penduduk Madyan, merupakan seruan atas nama sebangsa dan setanah air. Dari keduanya dibedakan dalam pemanggilan kaumnya sebagai akhun. Untuk lebih jelasnya mengenai hal ini, pembaca bisa merujuk langsung pada karya tafsir al-Qurthubi dalam kitab tafsrinya Al-Jámi Li Ahkam al-Qur'an, Jilid 13, halaman 135. Wallahu a’lam bi al-shawab. []
Ustadz Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar