Rabu, 02 November 2016

Shambazy: Rembuk Nasional 2016



Rembuk Nasional 2016
Oleh: Budiarto Shambazy

Meskipun persiapan minim, Rembuk Nasional 2016 terbilang sukses sebagai ajang public hearing untuk menampung berbagai masukan untuk disampaikan kepada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Semua masukan secara simbolis diserahkan kepada Menko Polhukam Wiranto. Lebih dari 1.000 peserta menghadiri Rembuk Nasional 2016. Partisipasi mereka dibagi tujuh ”ruang rembuk” yang mengategorikan isu/persoalan penting yang dihadapi pemerintahan Jokowi-Kalla selama dua tahun memerintah dan 2,5 tahun ke depan.

Tujuh ruang rembuk itu berturut-turut ekonomi, bisnis, dan keuangan; politik, hukum, pertahanan dan keamanan; kemaritiman dan sumber daya; pembangunan manusia dan pendidikan vokasi; pariwisata dan pendidikan vokasi; periwisata dan industri kreatif; infrastruktur, konektivitas dan lingkungan hidup; serta sosial, budaya, kesehatan dan pencapaian daerah. Lebih dari 1.000 peserta terdiri dari birokrat, aktivis, akademisi, pengusaha, relawan, bahkan warga biasa. Rata-rata sekitar 200 peserta hadir di tiap ruang rembuk dan mungkin hanya sekitar 50-an yang kebagian bicara selama 5-15 menit saja berhubung waktu rembuk cuma 3,5 jam.

Tentu saja masih ada kekurangan di sana-sini dalam eksperimentasi dengan format rembuk yang berskala besar ini. Namun, ajang ini sudah selayaknya dilanjutkan setiap tahun dengan persiapan yang lebih matang lagi tanpa politicking yang hanya menghabiskan energi.

Suka atau tidak, ”politik adalah panglima”. Diskusi di Ruang Rembuk Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan berkisar pada penilaian prestasi rezim Jokowi-Kalla yang memerintah ”baru” (bisa juga ”sudah”) dua tahun. Nyaris semua panelis, peserta aktif, maupun peserta lain bersikap optimistis terhadap kinerja pemerintah. Sikap optimistis itu didasari antara lain oleh keberanian pemerintah mengintrodusir pengampunan pajak yang terbilang cukup berhasil untuk membiayai pembangunan infrastruktur.

Dalam kalimat pakar politik Mochtar Pabottingi, ”Pemerintahan Jokowi-Kalla berprestasi karena membangun dari pinggiran”. Dua peristiwa mutakhir yang memperlihatkan prestasi itu adalah harga bahan bakar minyak (BBM) di Papua sama dengan di Jawa dan kunjungan Jokowi ke wilayah perbatasan paling utara kita, Pulau Miangas.

Namun, di lain pihak, muncul pertanyaan, pemerintah seperti ”penyembah infrastruktur”. Seolah yang penting adalah jalan tol, bandara, pelabuhan, dan seterusnya? Advokat Todung Mulya Lubis menyindir, ”Mana pembangunan infrastruktur hukum?” Betul bahwa selama ini reformasi hukum dianaktirikan. Dari diskusi di Ruang Rembuk Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan ini muncul gugatan terhadap keseriusan pemerintah menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran HAM, terutama korban-korban peristiwa 1965 dan pembunuhan Munir.

Untuk masalah pertahanan terjadi diskusi menarik mengenai apa yang sudah dan akan kita lakukan terhadap ”poros maritim dunia”. Sudah tiga orang menduduki posisi Menko Maritim, tetapi sampai saat ini belum lagi jelas ramifikasi atas ”poros maritim dunia” tersebut. Pandangan kritis dikemukakan pengamat politik Indria Samego, yang mempertanyakan kepemimpinan Jokowi-Kalla dalam menghadapi begitu banyak hadangan. ”Apa mereka bisa, banyak yang skeptis. Sulit menduga apa yang akan terjadi,” katanya.

Semakin besar optimisme, akan semakin besar pula ekspektasi publik. Optimisme itu, yang terasa dalam Rembuk Nasional 2016 ini, tecermin dari tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi-Kalla yang rata-rata berada di atas 60 persen. Jokowi-Kalla tentu saja dapat berpegang pada tingkat kepuasan publik ini. Banyak pula masukan dari Rembuk Nasional 2016 yang dapat dijadikan sebagai referensi untuk melangkah sampai masa pemerintahan berakhir 2019.

Mengumpulkan lebih dari 1.000 orang dalam Rembuk Nasional bukan pekerjaan seperti membalikkan telapak tangan. Ada puluhan masukan yang dihasilkan yang setidaknya dapat dijadikan rujukan oleh semua kementerian serta lembaga. Sekali lagi, Rembuk Nasional layak dilanjutkan. Sebaiknya dibentuk dulu semacam forum untuk mengelola Rembuk Nasional tahunan yang bersifat independen, bekerja profesional, dan menghadirkan seluas-luasnya keterwakilan berbagai kalangan masyarakat yang sebanyak-banyaknya merepresentasikan kepentingan semua daerah.

Rembuk ajang ngobrol informal oleh, dari, dan untuk kita semua. Ini bagian dari tradisi lama dan bersejarah, yakni musyawarah, yang dulu sering dilakukan pendiri bangsa. Musyawarah atau konsensus berskala nasional selalu menjadi pilihan masuk akal bagi dua presiden, yakni Soekarno dan Soeharto. Meskipun tak jarang ”konsensus lonjong” alias tidak bulat, tetapi musyawarah lebih mujarab daripada saling marah.

Upaya mencapai konsensus atau musyawarah nasional juga dibutuhkan saat negeri kurang stabil. Itulah yang dilakukan Soekarno saat ingin merumuskan ”konsepsi” atau ketika Soeharto ingin memilih berapa jumlah partai yang layak untuk demokrasi ala Orde Baru.

Mungkin karena merasa sudah mencapai ”demokrasi” yang utuh ala Barat, tidak begitu tampak ada upaya untuk kembali ke asas musyawarah. Kita cukup merasa puas dengan konsolidasi demokrasi selama sistem politik berjalan sesuai teori dan stabilitas politik terjamin. Ternyata sistem dan stabilitas politik belum cukup bagi negeri yang kaya dan bineka ini. Rupanya kita merindukan kembali musyawarah, konsensus, rembuk, atau apalah namanya.

Kita mau sebanyak-banyaknya kalangan, profesi, ataupun rakyat berbicara apa adanya dalam rembuk nasional. Mungkin untuk selanjutnya, rembuk nasional juga menghadirkan lebih banyak menteri atau pejabat tinggi. Format Rembuk Nasional 2016 layak dipertahankan dengan perbaikan di sana-sini. Juga tak perlu menunggu stempel persetujuan pemerintah agar independensinya terjaga. Rembuk nasional semestinya menjadi obrolan yang memperbaiki nasib bangsa dan negara ini. []

KOMPAS, 29 Oktober 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan Senior KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar