Senin, 21 November 2016

Nasaruddin Umar: Deradikalisasi Pemahaman Ajaran Agama



Deradikalisasi Pemahaman Ajaran Agama
Oleh: Nasaruddin Umar

PEMAHAMAN ajaran agama di dalam media-media sosial pada dekade terakhir cenderung memprihatinkan. Radikalisasi pemahaman makna ajaran agama yang kita yakin pasti di-posting orang-orang yang belum memahami hakikat dan kedalaman makna holistis ajaran agama. Ironisnya, isu radikalisasi pemahaman ajaran agama tidak diimbangi dengan deradikalisasi pemahaman ajaran agama.

Keprihatinan kita bukan hanya terjadi di dalam agama Islam, melainkan juga pada agama-agama lain. Tidak tertutup kemungkinan ketegangan antara umat beragama akan semakin dipicu dalil-dalil agama yang sudah dikemas sedemikian rupa.

Bagaimana mungkin kitab suci yang bersumber dari Tuhan yang sama bisa dipahami berhadap-hadapan satu sama lain. Kelompok-kelompok moderat atau religious scholars tiap-tiap agama seolah tidak berdaya mengungkapkan apa adanya tentang kitab suci karena sudah disandera kelompok minoritas. Kita sangat menyayangkan.

Mestinya agama tampil sebagai spiritual oase yang menawarkan pencerahan, tetapi bisa berbalik menjadi pemicu konflik. Nilai-nilai agama yang seharusnya tampil sebagai faktor sentripetal yang menyatukan, tetapi bakal menjadi faktor sentrifugal yang memecah belah umat dan warga bangsa.

Meluruskan makna jihad

Jihad sering kali diperkenalkan sebagai perjuangan yang harus melahirkan korban, kalau perlu melayangkan nyawa. Padahal, jihad sesungguhnya bertujuan menghidupkan orang, bukan untuk mematikan.

Jihad ialah kosa kata yang amat mulia dan luhur. Jihad berasal dari bahasa Arab dari akar kata jahada, berarti bersungguh-sungguh. Akar kata itu membentuk tiga kata kunci, yakni jihad (perjuangan dengan fisik), ijtihad (perjuangan dengan nalar), dan mujahadah (perjuangan dengan kekuatan rohani). Ketiga kata tersebut mengantarkan manusia untuk meraih kemuliaan.

Jihad yang sebenarnya tidak pernah terpisah dengan ijtihad dan mujahadah. Jihad harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan kekuatan ijtihad dan mujahadah. Jihad tanpa perhitungan matang, apalagi mendatangkan mudarat lebih besar daripada manfaat, sesungguhnya tidak tepat disebut jihad. Boleh jadi hanya tindakan nekat yang dilegitimasi dengan ayat atau hadis atau lebih tepat disebut perbuatan sia-sia, atau bahkan keonaran (al-fasad).

Jihad bertujuan mempertahankan kehidupan manusia yang bermartabat, bukannya menyengsarakan, apalagi menyebabkan kematian orang-orang yang tak berdosa. Sinergi antara jihad, ijtihad, dan mujahadah inilah yang selalu dicontohkan Rasulullah. Jihad Rasulullah selalu berhasil dengan mengesankan. Di medan perang dan di medan perundingan ia selalu menang, disegani, dan diperhitungkan kawan dan lawan.

Jihad Rasulullah lebih mengedepankan pendekatan soft of power. Ia lebih banyak menyelesaikan persoalan dan tantangan dengan pendekatan nonmiliteristis. Ia selalu mengedepankan cara-cara damai dan manusiawi.
Bentrok fisik selalu menjadi alternatif terakhir. Itu pun sebatas pembelaan diri. Kalau terpaksa harus melalui perang fisik terbuka, Nabi selalu mengingatkan pasukannya agar tidak melakukan tiga hal, yaitu tidak membunuh anak-anak dan perempuan, tidak merusak tanaman, dan tidak menghancurkan rumah-rumah ibadah musuh.

Kalau musuh sudah angkat tangan, apalagi kalau sudah bersyahadat, mereka tidak boleh lagi diganggu. Rasulullah pernah marah kepada panglima angkatan perangnya, Usamah, lantaran Usamah membunuh musuh yang terperangkap lalu mengucapkan syahadat. Nabi bersabda: "Kita hanya menghukum apa yang tampak dan Allah yang menghukum apa yang tak tampak (akidah)". Akhlaqul karimah tidak pernah ia tinggalkan, sekali pun di medan pertempuran.

Keluhuran dan kemuliaan jihad tak perlu diragukan. "Seseorang yang gugur di medan jihad akan langsung masuk surga, bahkan kalau terpaksa, tidak perlu dikafani, cukup dengan pakaian yang melekat di badannya, karena bagaimana pun yang bersangkutan akan langsung masuk surga", kata Rasulullah SAW.

Namun, kekuatan ijtihad tidak kalah pentingnya dengan jihad secara fisik.
Nabi secara arif pernah menyatakan, "Goresan tinta pena ulama lebih mulia daripada percikan darah para syuhada."

Demikian pula kekuatan mujahadah, Nabi pernah menyatakan seusai dengan sebuah peperangan hebat, "Kita baru saja kembali dari medan perang kecil ke medan perang yang lebih besar, yaitu melawan hawa nafsu." Menaklukkan hawa nafsu bagian dari fungsi mujahadah.

Di antara contoh kegiatan mujahadah ialah amalan-amalan rohaniah (riyadlah), pembersihan jiwa (tadzkiyah al-nafs), kontemplasi, atau meditasi (halwat), perenungan terhadap alam ciptaan Tuhan (tadabur alam), dan memperbanyak frekuensi ibadah mahdlah, seperti salat, puasa, doa, dan zikir.

Di antara upaya untuk mencegah konflik keagamaan ialah memahamkan kepada masyarakat luas bahwa jihad yang merupakan kewajiban agama tidak mesti harus menerjunkan diri dalam perjuangan fisik. Jihad bisa dilakukan melalui pemikiran dan harta atau usaha lain yang bertujuan mencapai tujuan jihad itu sendiri.

Deliberalisasi untuk deradikalisasi

Dalam kenyataan, tidak sedikit kelompok garis keras atau sering disebut radikal melakukan aksi mereka sebagai reaksi dari kecemasan mereka terhadap gerakan liberalisasi di dalam berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun kelompok liberal juga beralasan sama, gerakan liberal yang dilakukan ialah antitesis terhadap maraknya gerakan radikalisme di dalam masyarakat. Kedua kelompok itu sama-sama melibatkan agama sebagai salah satu sasaran dan sekaligus dasar gerakan dan aksi.

Termasuk kategori liberal membiarkan para pelanggar dan penista agama berkeliaran seolah tampil kebal hukum. Kelompok garis keras khawatir akan terjadi pendangkalan akidah umat dengan semakin meluasnya gerakan liberal. Kekhawatiran mereka terlalu jauh membayangkan akan terjadi deislamisasi jika tidak dilakukan proteksi dalam bentuk gerakan.

Seiring dengan itu, kelompok-kelompok garis keras juga diduga dipicu dengan maraknya ideologi transnasional. Terlepas ada atau tidak adanya hubungan ideologi transnasional, perkembangan sains dan teknologi memungkinkan kelompok garis keras lokal mengidentifikasikan diri dengan kelompok yang sama yang ada di luar negeri.

Semakin kuat gerakan liberal semakin kuat pula respons kelompok garis keras melancarkan proteksi. Karena itu, salah satu upaya untuk meredam semangat dan kekuatan garis keras atau radikal ialah mengatur laju perkembangan masyarakat tanpa kesan kuat terjadinya liberalisasi. Dengan kata lain, deliberalisasi bisa menjadi salah satu upaya menekan dan mengeliminasi kelompok garis keras atau radikalisme di dalam masyarakat.

Bagi bangsa Indonesia, kedua kelompok ini lebih membebani kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia karena keduanya bukan merupakan watak dasar bangsa Indonesia. Bahkan, watak dasar budaya Indonesia ialah menganut sistem kekerabatan dan kekeluargaan. Segala sesuatu dapat diselesaikan dengan prinsip musyawarah dan mufakat.
Adat-istiadat lokal bangsa Indonesia tidak pernah menoleransi cara-cara kekerasan di dalam menyelesaikan persoalan. Pada saat bersamaan, watak dasar bangsa Indonesia yang dikenal menjunjung tinggi etika ketimuran dalam arti mengedepankan kesantunan publik dan kesantunan sosial.

Liberalisasi gaya hidup dan tidak sejalan dengan watak dan budaya bangsa. Namun, tidak berarti Indonesia antiperkembangan dan kemodernan. Indonesia berkembang di antara kedua aliran yang sering berhadap-hadapan ini.

Radikalisme ialah sebuah paham yang berusaha memahami dalil-dalil dan ajaran agama lebih ketat sehingga melahirkan pandangan dan perilaku keagamaan yang tegas dan keras (radikal). Sementara itu, liberalisme ialah sebuah paham yang bersusah memahami dalil-dalil dan ajaran agama lebih longgar sehingga melahirkan pandangan dan perilaku keagamaan yang sangat moderat (liberal).

Kedua aliran itu mempunyai kelompok pendukung di dalam masyarakat.
Bahkan, keduanya memiliki kelompok fanatik yang mengklaim aliran merekalah yang paling benar dan berusaha merumuskan logika untuk memperkuat pendapatnya sambil mencari kelemahan kelompok selainnya.

Kelompok radikal, yang biasa juga disebut garis keras atau fundamentalis, selalu berusaha dan berjuang membentengi umat dengan berbagai jargon, seperti kembali kepada Quran dan sunah, kelompok pembela Islam, amar makruf nahi munkar, fisabilillah, kelompok mujahidin, pembela Islam, dan berbagai jargon keagamaan lainnya. Yel-yelnya juga menggunakan kalimat-kalimat suci seperti Allahu Akbar, dan yel-yel lainnya.

Sementara itu, kelompok liberal selalu berusaha memperkenalkan ide-ide di dalam masyarakat bahwa Islam ialah agama kemanusiaan. Islam ialah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai logika dan kemanusiaan. Jika seandainya ada dali-dalil agama yang bertentangan atau tidak sejalan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, yang harus dimenangkan ialah pemahaman yang prokemanusiaan.

Sebagai bangsa dan negara religius, Indonesia membutuhkan pola manajemen tersendiri di dalam mengatasi kemungkinan timbulnya ketegangan konseptual antara kedua aliran tersebut. Diperlukan peraturan dan perundang-undangan yang tepat guna mengatasi hubungan antaraliran di dalam kehidupan bermasyarakat.

Demaskulinisasi wajah agama

Bagaikan sebuah mata uang, agama memiliki dua sisi yang berbeda, yaitu wajah maskulin dan wajah feminin. Wajah agama seperti ini mengikuti 'wajah' Tuhan yang juga memiliki dua wajah, oleh kaum spiritual disebut dengan wajah ketegaran (jamaliyah/yang) dan wajah kelembutan (jamaliyah/yin). Tidak mengherankan jika umat beragama menampilkan dua wajah, yaitu wajah keras dan wajah lembut. Idealnya kedua komponen ini sama dan sebangun.

Dalam Islam, keutuhan kedua komponen ini ditampilkan Nabi Muhammad SAW, yang dilukiskan di dalam Alquran: Asyidda' 'ala al-kuffari ruhamaau bainahum (Bersikap tegas terhadap kaum kafir dan bersikap lembut kepada sesama mereka).

Dualitas kualitas Tuhan mempunyai makna yang sangat mendasar dalam dunia kemanusiaan. Seseorang tidak boleh sembrono di dalam menjalani kehidupannya karena meskipun Tuhan Mahapengasih lagi Mahapenyayang, tetapi dalam kualitas-Nya yang lain Tuhan juga Mahapemaksa (al-Qahhar) dan Mahapendendam (al-Muntaqim).

Wajah dan kualitas maskulin dan feminin pada diri Tuhan ternyata juga ikut menghiasi kualitas manusia. Secara personal manusia memiliki dualitas di dalam dirinya, paralel dengan dua wajah Tuhan dan dua wajah agama tadi. Manusia memiliki kualitas kejantanan dan ketegaran (masculinity/struggling) dan kualitas kelembutan dan kepengasihan (femininity/nurturing).

Nama-nama indah Allah SWT yang dikenal dengan al-Asma' al-Husna yang berjumlah 99, dapat dikategorikan dalam dua kategori, yaitu jalaliyyah dan jamaliyyah. Hanya, nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang diperkenalkan dalam Alquran lebih menonjolkan sifat-sifat jamaliyyah.
Tuhan bukan hanya memiliki sifat-sifat maskulin (The Father of God), melainkan juga memiliki, bahkan lebih dominan dengan sifat-sifat feminin (The Mother of God).

Dalam sebuah masyarakat fiqih oriented seperti sering diatributkan kepada umat Islam Indonesia, sifat-sifat maskulinitas Tuhan lebih ditonjolkan, seperti Tuhan Mahabesar (al-Kabir), Mahaperkasa (al-'Aziz), dan Mahapembalas/Pendendam (al-Muntaqim). Bukannya menonjolkan sifat-sifat feminitas-Nya, seperti Tuhan Mahapenyayang (al-Rahman), Mahalembut (al-Lathif), dan Mahapemaaf (al-'Afuw), sehingga Tuhan lebih menonjol untuk ditakuti daripada dicintai.

Efek psikologis yang muncul karenanya, manusia menyembah dan sekaligus mengidealkan identifikasi diri dengan The Father of God, yang mengambil ciri dominan, kuasa, jauh, dan strugling, bukannya dengan The Mother of God, yang mengambil ciri berserah diri, kasih, dekat, dan nurturing.

Idealnya, komposisi kualitas maskulin dan feminin menyatu di dalam diri manusia, sebagaimana halnya keutuhan kedua kualitas itu menyatu di dalam diri Tuhan, seperti tecermin di dalam al-asmaul husna dan sebagaimana juga dipraktikkan Rasulullah SAW. Idealnya, manusia yang memiliki kapasitas sebagai hamba dan khalifah mengadopsi kedua kualitas tersebut secara proporsional.

Sebagai hamba manusia tidak sepantasnya merasa dan menonjolkan sifat-sifat maskulin dan kejantanan di hadapan Tuhan Yang Mahakuasa.
Manusia harus menonjolkan sikap feminin dan kelembutan di hadapan Tuhan.

Sebagai khalifah, manusia tentu harus memiliki sikap maskulin dan ketegaran. Sebab bagaimana manusia bisa sukses mengatur alam semesta tanpa ketegaran.

Dosis penampilan kualitas maskulin tidak pernah boleh meninggalkan kualitas feminin, sebagaimana Tuhan sendiri mencontohkannya. Dalam QS Al-fatihah, Tuhan sebagai pribadi ialah Mahapengasih dan Penyayang (Bi ism Allah al-rahman al-rahim) dan kapasitas diri-Nya sebagai Tuhan juga Mahapengasih dan Mahapenyayang (Rab al-'alamin, al-rahman al-rahim). Karena itu, kita harus mencontoh sifat dan karakter Tuhan, lebih dominan menampakkan wajah feminin ketimbang wajah maskulin-Nya.

Mengkritisi pola pendidikan agama

Setiap negara menerapkan pola deradikalisasi, tapi tema dan objek deradikalisasi memiliki persamaan dan perbedaan satu sama lain. Pada umumnya, tema deradikalisasi berkisar pada pemahaman kembali ajaran-ajaran dasar agama yang bersifat universal. Di dalam Islam, diupayakan untuk memahami kembali ayat-ayat dan hadis yang dipahami secara tekstual dan memutuskan historical background dan maqashid al-syari'ah.

Sasaran deradikalisasi biasanya kurikulum dan bahan ajar seperti buku-buku, jurnal, materi-materi ceramah. Tidak terkecuali orang dan lembaga juga sering menjadi sasaran deradikalisasi seperti yang kita lihat di dalam sejumlah negara.

Penetapan kurikulum dan bahan bacaan hampir semua negara melakukan persiapan dengan baik, termasuk Indonesia. Hanya, cara masuknya berbeda-beda. Ada negara yang menyisir kurikulum dan silabus dengan mendrop seluruh materi yang berpotensi bisa menimbulkan pemahaman keras. Ada juga cara-cara memberikan perbandingan pendapat atau pandangan lain meskipun dalilnya sama. Cara-cara seperti umum dilakukan, termasuk di Indonesia. Materi perbandingan mazhab (muqaranah al-madzahib) menjadi materi penting di dalam pembelajaran agama.

Materi pengenalan dasar agama-agama lain juga diperkenalkan atau diajarkan di dalam jenjang pendidikan tertentu agar peserta didik tidak hanya mengenal kebaikan agamanya sendiri, tetapi pada agama lain terdapat juga ajaran kebaikan.

Sumber-sumber bacaan dan terbitan juga dikendalikan dengan cara menyeleksi bahan-bahan bacaan peserta didik. Tentu dengan cara ini tidak mudah karena bahan bacaan sekarang tidak hanya dalam bentuk buku yang gampang diatur pendistribusiannya. Lebih berat ialah dalam bentuk buku elektronik atau internet, yang bisa menyuguhkan apa pun, termasuk bagaimana cara merakit bom.

Terbukti sejumlah kasus kejadian bom pelakunya mengaku belajarnya dari internet. Orang yang berbakat dan memiliki keinginan dan motivasi kuat bisa saja menemukan ide-ide cerdas melalui internet. Sementara itu, internet sekarang sudah sangat personal karena melekat di dalam ponsel yang diakses kapan saja dan di mana saja.

Semua serbamudah dan murah bahkan gratis. Target lain yang sering dijadikan sasaran ialah orang-orang atau kelompok, yayasan, lembaga yang dicurigai memiliki jaringan khusus yang berpotensi menggalang kekuatan untuk menciptakan keresahan dengan melakukan serangkaian kekerasan atau ancaman kekerasan di dalam masyarakat. Target mereka ialah menimbulkan kepanikan dan ketakutan publik. Dengan begitu, mereka menganggap separuh target sudah tercapai.

Karena itu, peran media juga sangat penting. Media bisa menemukan sarang teroris atau kelompok-kelompok mengkhawatirkan, tetapi dengan media juga kelompok-kelompok itu menjadi besar karena selalu dibesar-besarkan dan didramatisasi.

Hal lain yang sering menjadi tema ialah masalah pencegahan, penindakan, rehabilitasi, dan reintegrasi. Keempat persoalan ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pihak keamanan atau pemerintah, melainkan juga semua pihak, termasuk lingkup keluarga sebagai unit masyarakat terkecil.

Pencegahan, penindakan, dan rehabilitasi bisa saja diemban pemerintah bersama segenap aparat hukum dan keamanan, tetapi masalah reintegrasi harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat luas.

Di sini sering muncul masalah penting dan amat mendesak karena rata-rata pelaku teroris itu masih mudah usia sehingga kalau mereka dipenjara lima tahun, misalnya, mereka masih memiliki usia yang cukup panjang. Jika masyarakat menolak kehadiran mereka, tidak mustahil mereka akan mencari kembali jaringan lama. Bagaimana pun mereka manusia biasa yang membutuhkan hak-hak hidup yang standar seperti makan, minum, berkeluarga, dan bersosialisasi. Jika mereka ditolak masyarakat, mereka mau ke mana? []

MEDIA INDONESIA, 18 November 2016
Nasaruddin Umar  ;   Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar