Selasa, 22 November 2016

Shambazy: Demokrasi Kita



Demokrasi Kita
Oleh: Budiarto Shambazy

Gubernur DKI non-aktif Basuki Tjahaja Purnama akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan penistaan agama akibat pidatonya di Kepulauan Seribu. Suka atau tidak, hasil gelar perkara 15 November lalu semestinya dihormati dan dikawal sampai kasus ini selesai 100 persen di meja hijau.

Dengan demikian, tidak ada dalih lagi untuk mengerahkan massa seperti yang terjadi pada aksi damai 4 November silam. Sementara beredar kabar akan terjadi lagi demonstrasi besar alias Aksi Bela Islam ke-3, pada 25 November atau 2 Desember mendatang.

Sekiranya benar sudah dirancang akan berlangsung lagi, demonstrasi seperti itu tak perlu kolosal. Cukup seperti unjuk rasa yang nyaris terjadi setiap hari di sekitar Monas yang melibatkan pendemo dalam jumlah terbatas.

Kepolisian telah bekerja secara profesional, begitu juga tentunya pengadilan kelak ketika Basuki diajukan ke meja hijau. Kita negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum, bukan mobokrasi yang mengandalkan pengerahan massa pemaksa kehendak.

Terbukti pula Basuki tidak pernah, juga tidak akan, dilindungi Presiden Joko Widodo ataupun oleh aparat keamanan. Bahwa Presiden Jokowi sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mendukung Basuki sebagai cagub yang didukung PDI-P juga, itu tentu benar.

Kita akan menyelenggarakan 101 pilkada serentak pada 15 Februari 2017, termasuk DKI. Kampanye sudah dimulai dan pengerahan massa, baik sengaja maupun tidak, telah terjadi hari-hari ini di hampir semua lokasi di Ibu Kota.

Betul, pilkada di daerah mana pun, ya, sama saja. Namun, pilgub Jakarta menjadi istimewa karena statusnya sebagai ibu kota negara yang vital, strategis, dan menjadi barometer republik ini. Ada tiga cagub/cawagub yang berkompetisi, termasuk duet Basuki-Djarot Saiful Hidayat.

Duet lainnya Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Mereka mempertarungkan gagasan dan program melalui kampanye yang mengandalkan kerumunan massal tanpa harus diganggu oleh perkara penistaan agama atau isu-isu SARA lainnya.

Juga jangan sampai kampanye Pilgub DKI menjadi gerakan "asal bukan" oleh kerumunan massal. Telah berkali-kali terjadi penolakan kerumunan massal terhadap kedatangan duet Basuki-Djarot untuk berkampanye di sejumlah tempat, sebuah kemunduran demokrasi kita yang dilakukan para pemaksa kehendak.

Kita selayaknya wajib menjaga "rekor nasional" tidak pernah terjadi kerusuhan saat kampanye pemilu, kecuali kerusuhan kecil di Lapangan Banteng dalam kampanye Pemilu 1982. Seperti terbukti pada kerusuhan Lapangan Banteng, selalu ada penunggang.

Makanya Presiden Jokowi juga menyebut penunggang atau aktor di belakangan kerusuhan kecil yang terjadi setelah aksi damai 4 November selesai. Polisi telah mengamankan beberapa tersangka yang diduga membuat rusuh.

Ketika saya berada di antara pendemo aksi damai 4 November, tidak begitu terasa ada suasana mencekam. Meskipun teriakan, tulisan spanduk/poster, dan orasi terasa lantang, toh para pendemo Aksi Bela Islam ke-2 itu berperilaku tertib. Oleh sebab itu, sayang aksi damai mereka dinodai kerusuhan kecil tersebut. Andai saja kerusuhan tidak pecah, semua orang akan mengacungkan jempol untuk aksi damai itu.

Akibat kerusuhan kecil itu, akhirnya kita semua ikut tegang, repot, dan curiga. Kita menjadi bangsa terbelah, terutama ketika mengikuti pro dan kontra tentang apa yang sesungguhnya terjadi pada kerusuhan kecil itu di media sosial.

Tentu saja Presiden Jokowi yang paling repot. Ia segera menggalang konsolidasi internal dengan mengunjungi berbagai kesatuan TNI-Polri dan ormas-ormas Islam setelah demo 4 November.

Presiden menggalang konsolidasi selaku panglima tertinggi dan sebagai Kepala Negara yang siap silaturahim dengan berbagai ormas ataupun tokoh nasional, ketimbang doing nothing. Kepemimpinan seorang presiden diuji bukan pada saat kondisi politik stabil, tetapi juga saat krisis.

Memang tak mudah menggalang konsolidasi di negara dengan sekitar 17.000 pulau dengan populasi beraneka etnis dan agama, dari Sabang sampai Merauke. Mustahil seorang presiden yang menjabat selama lima tahun mampu memuaskan keinginan semua golongan yang merasa paling benar dan memaksakan kehendak sendiri.

Presiden Soekarno mati-matian menggalang keindonesiaan dengan cara mengunjungi sebanyak-banyaknya rakyat di beberapa provinsi selama 10 tahun sejak Proklamasi. Presiden Soeharto pun menggalang konsensus nasional baru pasca-1965 selama era krisis tiga tahun sampai menjadi Kepala Negara yang sah tahun 1968.

Betapa pun, kita butuh kepemimpinan nasional yang tegas dan berani di kala menghadapi krisis sekecil apa pun. Secara konstitusional, konsolidasi yang dilakukan Presiden Jokowi dapat dipertanggungjawabkan.

Sekali lagi, apa yang terjadi pada malam setelah isya 4 November lalu adalah krisis yang segera ditangani Presiden Jokowi. Sempat terdengar spekulasi kerusuhan kecil itu direkayasa untuk memicu kerusuhan lebih besar yang dapat memicu instabilitas politik, dengan harapan semua kesalahan ditimpakan kepada Presiden Jokowi.

Ternyata sasaran itu tidak tercapai. Ini kegagalan yang kembali berulang karena kerap terjadi sejak era Reformasi, ketika setiap presiden dihadang berbagai upaya untuk didongkel baik konstitusional maupun tidak-termasuk pemakzulan terhadap Presiden Abdurrahman Wahid.

Semestinya demokrasi kita setelah era Reformasi melangkah ke depan alias tak lagi jalan di tempat. Apa boleh buat, demokrasi kita masih berbasis "demo" yang memancing mobokrasi, yang diintai mata-mata gelap yang bernafsu memicu kerusuhan massal sembari berjudi mengambil untung. []

KOMPAS, 19 November 2016
Budiarto Shambazy | Wartawan Senior KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar