Rabu, 16 November 2016

Azyumardi: Menjaga Indonesia



Menjaga Indonesia
Oleh: Azyumardi Azra

Tensi politik Indonesia sesudah unjuk rasa pada 4 November 2016 tampak belum berakhir. Demonstrasi damai sampai waktu Isya (sekitar pukul 19.00) akhirnya diwarnai kericuhan antara die-hard demonstran dan aparat keamanan. Semestinya sejumlah pihak berusaha menurunkan suasana (cooling down). Tensi politik, sosial, dan agama bukan hanya sekadar bertahan, melainkan cenderung meningkat.

Peningkatan tensi disebabkan sejumlah faktor yang kait-berkait. Akumulasi beberapa faktor seperti disebutkan berikut, jika terus meningkat, dapat menimbulkan gejolak sosial politik yang bisa menimbulkan kekerasan dan anarki yang dapat berujung pada disintegrasi negara-bangsa Indonesia.
Faktor pertama, tindakan aparat kepolisian yang menangkap beberapa orang, seperti kalangan Himpunan Mahasiswa Islam yang dianggap provokator kericuhan. Dilihat dari mereka yang ditangkap polisi, tampaknya tak lebih dari aktor ”figuran”, ujung tombak yang berhadapan langsung dengan aparat.

Sementara itu, otak (mastermind) yang dikatakan Presiden Joko Widodo sudah dia ketahui belum tersentuh. Akibatnya, spekulasi dan rumor beredar kian banyak di kalangan elite politik, pimpinan ormas keagamaan, dan warga. Keadaan ini turut meningkatkan suasana saling curiga dan permusuhan di antara sejumlah elemen bangsa.

Faktor kedua, meningkatnya jumlah gugatan terhadap figur politik yang dianggap mencemarkan agama atau nama baik atau sebagai provokator. Mereka yang dilaporkan ke Polri bukan hanya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sumber awal kekisruhan, melainkan juga mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pernyataannya dalam konferensi pers sebelum aksi besar dianggap sumber provokasi kericuhan. Bahkan, Kapolda Metro Jaya Irjen Mochamad Iriawan juga dilaporkan ke Propam Polri.

Dalam satu segi, aksi gugatan atau pelaporan mengandung makna positif. Pihak pelapor lebih memilih jalan damai melalui jalur hukum daripada tindakan lain, misalnya kekerasan. Namun, pada segi lain tetap saja turut meningkatkan suasana politik yang kurang kondusif.

Faktor ketiga, meningkatnya polemik atau perbedaan pendapat di kalangan intra dan antaragama. Perbedaan intra-Islam meningkat tentang tafsir, pandangan dan sikap terhadap penistaan Al Quran Surat Al-Maidah Ayat 51. Aksi takfiri sesama Muslim juga meningkat. Pertikaian terbuka antarelite Muslim di media cetak dan elektronik meningkatkan tensi intra-Islam. Ketegangan mengimbas ke akar rumput umat Islam.

Tensi antaragama juga terlihat meningkat, khususnya antara kalangan umat Muslim dan Kristiani. Semula tensi itu tersembunyi di arus bawah, tetapi kini kian mencuat terbuka lewat media sosial atau kemunculan kelompok milisi semacam laskar atau brigade yang menuntut agar pimpinan aksi 4 November ditangkap.

Faktor keempat adalah safari Presiden Jokowi yang mengesankan keadaan ”gawat”. Safari dan pertemuan Presiden Jokowi dengan pimpinan NU, Muhammadiyah, ormas-ormas Islam lain, dan kelompok ulama yang diorganisasi parpol tertentu memberikan kesempatan bagi Jokowi menjelaskan beberapa hal, khususnya penanganan kasus Ahok dan situasi politik, sosial dan umat beragama setelah demo 4 November. Sebaliknya, elite ulama dan pemimpin ormas Islam juga menyampaikan aspirasi.

Namun, safari Presiden Jokowi ke pasukan elite, seperti Kopassus, Marinir, dan Brimob, pekan lalu, menimbulkan kesan di kalangan publik tentang ”situasi gawat” yang membuat aparat harus siap dengan loyalitas penuh kepada negara.

Berbagai faktor itu, tidak hanya meningkatkan tensi politik, sosial, dan agama, tetapi juga kecemasan tentang masa depan Indonesia yang bersatu. Tanpa harus membesar-besarkan masalah, jelas tantangan dewasa ini untuk menjaga kesatuan Indonesia terlihat kian tidak mudah.

Jelas bukan hanya kali ini Indonesia mengalami ujian yang dapat mengarah pada rusaknya kesatuan dan persatuan bangsa dan negara. JS Furnivall dalam Netherlands East Indies: A Study of Plural Economy (1944) memprediksi, begitu Belanda tidak lagi berkuasa di East Indies (Indonesia), kawasan sangat plural ini bakal hancur berkeping-keping. Doomsday scenario ini, menurut dia, tak lain karena absennya faktor pemersatu yang mampu mengintegrasikan kawasan ini menjadi negara-bangsa tunggal.

Skenario kelabu tentang Indonesia juga merebak ketika transisi demokrasi terjadi sejak 1998. Gelombang demokrasi membuat Uni Soviet dan Eropa Timur berkeping-keping. Disintegrasi yang juga disebut balkanisasi dengan segera diterapkan pakar asing tertentu kepada Indonesia bahwa negara ini juga segera mengalami balkanisasi dalam proses transisi demokrasi yang memunculkan sejumlah ekses disintegratif. Namun, Indonesia bertahan. Karena itulah Indonesia hingga sekarang ini disebut ahli asing sebagai ”mukjizat” atau ”keajaiban” (miracle).

Dalam perspektif orang dalam (from within), Indonesia sebagai keajaiban, terkait banyak dengan tradisi sosial-budaya dan keagamaan yang memberikan ruang untuk inklusivitas, akomodasi, kompromi, dan tole- ransi. Realitas inilah yang membuat Indonesia tetap bersatu di tengah gejolak politik, ekonomi, sosial-budaya, dan keagamaan.

Meskipun demikian, beberapa faktor disintegratif—terutama terkait kontestasi politik, kesenjangan ekonomi, dan isu SARA— juga bertahan. Isu-isu ini laten; dapat menyelinap ke bawah arus, tetapi juga bisa menyeruak ke permukaan, seperti terlihat dalam beberapa pekan terakhir.

Karena itu, adalah tugas suci (mission sacre) seluruh warga, khususnya elite kepemimpinan—politik, sosial budaya, dan keagamaan—untuk senantiasa menjaga dan merawat Indonesia. Salah satu cara terpenting adalah memperkuat kembali tradisi dan perilaku saling menghormati, tepa salira atau tenggang rasa, akomodasi, kompromi, dan toleransi. Semua itu mutlak dalam hal eksistensial menyangkut keutuhan dan kesatuan negara-bangsa Indonesia. []

KOMPAS, 15 November 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar