Selasa, 22 November 2016

BamSoet: Ada Duri Dalam Daging NKRI



Ada Duri Dalam Daging NKRI
Oleh: Bambang Soesatyo

Kita tidak tahu harus menyalahkan siapa. Tapi sejak Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dituding melakukan penistaan agama, kehidupan berbangsa dan bernegara sontak gonjang-ganjing.

Masing-masing pihak merasa benar dan unjuk kekuatan. Presiden Jokowi pun dibuat pusing tujuh keliling. Tanpa disadari, terasa ada duri dalam daging NKRI kita. Hoax tentang instruksi Kapolri, hoax tentang hasil rapat BIN hingga hoax tentang rush money besar-besaran yang ditebar hingga pekan kedua November 2016 merupakan upaya pihak tertentu mengeskalasi ketidak pastian dan merusak kondusivitas.

Negara memang tidak boleh lagi menoleransi penebar semua informasi sesat itu, karena jelas-jelas sudah mengarah pada upaya merusak stabilitas keamanan, ketertiban umum dan merusak kondusivitas. Sebagaimana dicatat bersama, ragam hoax itu di munculkan diruang publik, dengan menunggangi aksi damai sejumlah elemen masyarakat yang mengecam kasus dugaan penistaan agama yang melibatkan gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Semua hoax itu tak hanya diarahkan untuk mengacaukan persepsi masyarakat tentang situasi terkini, tetapi juga merupa-kan upaya untuk mengeskalasi atau memperlebar persoalan. Persoalannya harus diseriusi oleh negara, karena pelaku penyebaran informasi sesat itu sudah berani cobacoba merangsek ke institusi Kapolri dengan tujuan mengacaukan pola dan sistem komando; memanipulasiinformasi BIN (Badan Intelijen Negara), hingga upaya menimbulkan kecemasan, kepanikan dan mendorong masyarakat atau nasabah bank menarik dana besar-besaran (rush).

Dalam konteks keamanan, kredibilitas dan urgensi rahasia negara, beberapa hoax itu mestinya dikategorikan sebagai masalah yang sensitif, karena bertujuan merusak kredibilitas Kapolri, institusi BIN hingga upaya membuat panik nasabah bank.

Para pelakunya harus diganjar dengan sanksi keras, karena penyebaran informasi sesat berpotensi menimbulkan kekacauan serta kerugian bagi negara dan masyarakat. Dalam situasi pascademo 4.11, masyarakat mungkin bisa memilah-milah informasi, serta menyimpulkan sendiri mana informasi yang benar dan mana info yang menyesatkan. Akan tetapi, hoax serupa bisa dimunculkan lagi ketika suasana sedang kondusif.

Dalam situasi yang kondusif, publik bisa dengan mudah terperangkap oleh informasi sesat. Maka agar kasus serupa tak berulang di kemudian hari, para pelaku yang menebarkan hoax tentang instruksi Kapolri, hoax tentang hasil rapat BIN hingga hoax tentang rush money besar-besaran itu patut diganjar dengan sanksi yang keras. Seperti diketahui, pascademo 14 Oktober 2016, Mabes Polri harus membuat bantahan atas beredarnya hoax tentang instruksi Kapolri.

Hoax itu menginformasikan bahwa Kapolri Jenderal Tito Karnavian menginstruksikan Bareskrim Polri memeriksa mantan Ketua MPR Amien Rais. Selain itu, diedarkan slide berisi instruksi Kapolri untuk meredam gejolak menjelang pilkada. Disebutkan bahwa instruksi Kapolri itu antara lain mengerahkan imam Masjid Istiqlal, tokoh NU, tokoh Muhammadiyah, serta menggalang tokoh-tokoh pro Ahok untuk membela dan menyuarakan dukungannya.

Pasca demo 4.11, giliran BIN yang diganggu. Melalui media sosial (medsos), pelaku hoax menebar informasi tentang hasil Rapat Koordinasi (Rakor) Komite Intelijen Pusat (Kominpus) di Jakarta, terkait perkembangan situasi dan kondisi nasional. BIN pun buru-buru membuat bantahan. “Setiap informasi dari BIN harus melalui satu pintu, yakni dari Deputi VI BIN selaku penanggung jawab bidang komunikasi dan informasi BIN. Berita atau informasi di luar mekanisme tersebut bukan berasal dari BIN,” demikian rilis resmi BIN pada Kamis (17/11).

Setelah itu, baik Kapolri, Menteri Keuangan, maupun Gubernur Bank Indonesia harus membuat pernyataan resmi untuk menenangkan masyarakat, sekaligus membantah informasi tentang rush besar-besaran. Isu tentang bakal adanya rush dikaitkan dengan rencana demonstrasi pada 25 November atau 2 Desember 2016, oleh sejumlah elemen masyarakat yang menyuarakan aspirasinya mengenai kelanjutan proses hukum terhadap Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama.

Karena sangat provokatif dan berpotensi mengganggu stabilitas negara, Kapolri minta masyarakat tidak terpengaruh oleh informasi gerakan penarikan uang secara besar-besaran atau rush money yang diedarkan melalui medsos itu. Tidak tinggal diam, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun mengingatkan bahwa informasi gerakan penarikan uang secara besarbesaran itu akan merusak pasar uang.

Adapun Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo berpendapat rush yang diisukan terjadi pada 25 November 2016 tidak akan terjadi karena tidak berdasar, sebab sistem keuangan Indonesia saat ini sangat baik. Dia mengaku telah menggelar rapat komite stabilisasi sistem keuangan.

Mengacu pada tiga hoax itu saja, setiap orang bisa menduga adanya pihak yang ingin membuat kerusakan, dengan menunggangi gerakan damai dan aspirasi masyarakat yang ingin agar proses hukum kasus Ahok segera dituntaskan. Skala kerusakan yang ditargetkan pun bisa dikalkulasi; dari sebaran kebencian, adu domba antarelemen masyarakat hingga kerusakan di sektor ekonomi.

Mencegah Kerusakan

Bisa dipastikan bahwa semua elemen masyarakat tidak menginginkan kerusakankerusakan itu terjadi. Maka, kini, menjadi kewajiban semua elemen masyarakat untuk memulihkan kembali kondusivitas dan kepastian. Wujudkan kenyamanan pada semua ruang publik agar masyarakat tidak ragu ketika melaksanakan kegiatannya.

Tidak lagi menebar hoax yang dapat menimbulkan kekacauan, kepanikan, apalagi ketakutan. Terkait dengan proses hukum terhadap Ahok, masyarakat hendaknya memberi kepercayaankepada Polri. Semuapihak perlu bersabar dan menahan diri, sebab proses hukum itu harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang berlaku. Polri telah memberi tanggapan atas rencana demo pada 2 Desember 2016.

Polri pada dasarnya hanya ingin mengimbau agar demo di jalan-jalan tidak lagi dilakukan. Tanggapan Polri itu tentunya tidak terpisah dari informasi intelijen, maupun konsolidasi yang dilakukan Presiden Joko Widodo ketika melakukan pertemuan dengan prajurit TNI dari ketiga angkatan dan juga prajurit Polri. Tanggapan Polri atas rencana demo 2 Desember plus Informasi intelijen dan konsolidasi Presiden dengan TNI dan Polri merupakan pesan kepada semua elemen masyarakat bahwa negara sedang berusaha mencegah terjadinya hal-hal buruk yang bisa menimbulkan kerusakan besar.

Pesan lainnya adalah bahwa Presiden, Polri dan TNI terus berusaha untuk mewujudkan kembali kondusivitas dan kepastian. D u a pesan penting yang sangat strategis itu tampaknya telah dikomunikasikan oleh Presiden kepada semua elemen besar di dalam masyarakat, khususnya kepada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan PP Muhammadiyah. Kapolri Jenderal Tito pun telah bersilaturahmi dengan pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Sementara Panglima TNI juga telah memberi pesan sejuk kepada ribuan mahasiswa. Dari rangkaian pertemuan itu, sudah muncul semacam kesepakatan bahwa demo besarbesaran pada 2 Desember 2016 tidak diperlukan. Imbauan untuk tidak menggelar demo lanjutan sudah disuarakan PBNU. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj telah menyerukan kepada seluruh warga Nahdlatul Ulama agar tidak melakukan aksi unjuk rasa terkait persoalan Ahok.

Imbauan senada juga disuarakan Ketua Umum PP Muhammadiyah KH Haedar Nashir. PP Muhammadiyah meminta masyarakat untuk berlapang hati menerima hasil proses hukum kasus Ahok. Sementara itu, MUI sendiri tidak mau terlibat dengan rencana demo itu. Bahkan, Polda Metro Jaya telah menggelar apel besar “Kebhinekaan Cinta Damai” di Lapangan Ditlantas Polda Metro Jaya pada Sabtu (19/11).

Apel besar yang dipimpin Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Mochamad Iriawan itu diikuti Pangdam Jaya Mayjen Tedy Lhaksamana, Plt Gubernur DKI Jakarta Soemarsono, para tokoh agama, organisasi masyarakat, dan elemen masyarakat lainnya. Dalam apel itu, juga ditandatangani deklarasi kebinekaan oleh para tokoh, kiai, pendeta, romo, biksu, tokoh organisasi masyarakat, pengamanan swakarsa, Polri, TNI, dan perwakilan dari Pramuka.

Untuk memastikan proses hukum terhadap Ahok berjalan dengan benar, semua elemen masyarakat memang wajib mengawal dan memantau. Akan tetapi, proses pengawalan dan pemantauan itu hendaknya tidak merusak kondusivitas dan kepastian. Menjadi kewajiban semua pihak untuk menjaga ketertiban umum, termasuk membuang duri yang kini ada dalam daging NKRI kita. []

KORAN SINDO, 21 November 2016
Bambang Soesatyo | Ketua Komisi III DPR RI, Fraksi Partai Golkar/ Presidium Nasional KAHMI 2012 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar