Selasa, 08 November 2016

Kang Sobary: Politik Gerakan Massa



Politik Gerakan Massa
Oleh: Mohamad Sobary

MASSA-sekadar sebutan massa-pun sudah memiliki arti politik yang membawa getaran psikologis tertentu. Memang tak jarang kata massa itu betul-betul digunakan untuk menggertak atau meneror pihak lain. Apakah pihak lain tadi merasa terteror atau tidak, gentar dan ketakutan atau tetap tenang dan siap menghadapi segenap kemungkinan yang bakal terjadi, itu soal lain.

Mungkin pihak lain tersebut membuat kalkulasi rasional, apakah massa itu relevan untuk dibawa-bawa ke dalam suatu persoalan yang sebenarnya tidak ada sama sekali urusannya dengan massa? Apakah kekuatan politik massa tadi bisa dijadikan pertimbangan untuk menentukan kebenaran? Apakah suara massa dianggap suara Tuhan? Bagaimana membuktikan kebenaran anggapan itu? Bagaimana kalau ada anggapan lain bahwa suara massa selalu tercampur aduk dengan suara nafsu, ambisi, dan kemarahan yang bertentangan dengan ke-murahan dan keadilan Tuhan?

Di dalam kehidupan demokratis, politik punya aturan dan etika yang menggariskan apa yang boleh dan tak boleh dilakukan. Apa yang boleh itu kita anggap hak, yang tak boleh dianggap batil. Dan apa yang batil harus dijauhi agar rentetan panjang tindakan demi tindakan politik menjadi cerminan apa yang hak dan bisa dijadikan suri teladan umat. Di sini kata umat itu bukan terbatas dalam pengertian umat suatu kelompok agama atau politik tertentu, melainkan umat manusia pada umumnya. Jika kita menghendaki ketepatan, umat di sini boleh saja diganti dengan warga negara, tanpa pengecualian apa pun.

Kita merasakan betapa tak mudahnya menempatkan kebenaran dan keadilan di pusat aturan politik yang menjadi pedoman hidup dalam segenap tindakan kita. Sejak dahulu kala hingga hari ini kesukaran itu seperti tak pernah berubah: kesukaran tetap kesukaran. Ada suatu contoh di dalam sebuah perang besar yang disebut ”Bharatayudha”. Perang besar ini diatur secara ketat apa yang boleh apa yang tidak, dan apa yang mulia serta apa yang nista.

Menyerang musuh secara diam-diam dianggap nista. Bersikap sabar dan hanya menanti tanda dimulainya perang, jadi tidak melakukan tindakan yang dianggap sebagai provokasi, atau memancing kemarahan pihak lain, dianggap keluhuran budi. Tapi, Pangeran Dursasana, pihak Kurawa, melanggar telak aturan dan etika perang.

Diam-diam, sembunyi-sembunyi, dengan sikap culas dia melempar Bima yang sedang berdiskusi untuk memikirkan tindakan lebih lanjut di dalam kemahnya dengan tombak runcing dan tajam. Tombak sang pangeran meluncur dengan kecepatan tinggi dan tepat mengenai dada Bima, yang membuatnya roboh seketika. Kemah-sebutannya pakuwon-Randu Kumbala gempar. Bima yang roboh digotong. Tapi dia berkata: jangan gugup. Tapi orang-orang, para senapati pendamping di dalam pakuwon itu, tetap gugup.

Bima bilang: menangislah. Menangis keras, dan tunjukkan kecemasan yang dalam supaya musuh yang menyerang secara gelap-gelapan atau sembunyi-sembunyi itu merasa puas telah menjatuhkan aku. Dan pakuwon Randu Kumbala pun seperti sungguh-sungguh memancarkan hawa kematian. Sedih-biarpun buatan-dan tangis-juga buatan- memperkuat suasana bahwa di sana betul-betul ada kematian. Maka, Pangeran Dursasana pun dengan girang hati muncul dari persembunyian dan mendatangi pakuwon yang sedang dirundung duka itu dengan dada tengadah.  Dia puas telah berhasil membunuh musuh terbesarnya dengan begitu sederhana, mudah dan tak meneteskan setitik pun keringat.

Tapi alangkah kaget, dan kecewanya pangeran itu ketika Bima menyambutnya di depan pakuwon, dalam keadaan segar-bugar, tegak seperti tugu raksasa. Bima, gambaran seorang ksatria sejati, menyesali keculasan itu. Dia tidak kalap, tidak mengamuk. Sebaliknya, dengan tenang disuruhnya pangeran Kurawa itu kembali ke pasukannya, dan mengenakan tanda senapati, kalau memang siap melawan Bima dalam suatu perang tanding yang diatur dengan aturan nyata dan etika perang yang jujur.

Bima, kita tahu, juga seorang pangeran. Mereka itu bersaudara. Mungkin karena sudah terlanjur malu, Dursasana justru mulai kalap. Dia menyerang lagi Bima. Dan Bima yang perkasa menepisnya. Perang berlanjut. Dan intinya, Dursasana gugur. Sebenarnya dia takut pada Bima. Takut kalah, takut mati. Tapi, dia malah menjemput kekalahan dan kematian sekaligus. Di sini jelas, ketakutan membuatnya kalap. Sikap kalap, gelap mata, gelap hati, gelap pikiran, membuatnya nekat.

Ini contoh seorang satria yang tak bersikap ksatria. Dia mengerti hukum-hukum dan etika perang tetapi melanggar semuanya. Kita tahu sebenarnya dia merasa tak sepadan dalam berbagai hal untuk menghadapi Bima. Pangeran Pandawa ini terlalu kuat, terlalu mulia, dan tak terkalahkan. Otomatis dia tak yakin bakal bisa menang bila harus berhadapan dengan Bima secara jujur.

Serangan secara diam-diam itu merupakan pameran watak nista, dan sikap culas yang memalukan. Tapi malu, dalam suatu situasi tertentu, tak perlu diingat, tak perlu menjadi kiblat moral yang penting.

Di dalam budaya politik kita, sebagaimana tercermin di dalam tingkah laku politik kita sehari-hari, mungkin banyak jenis Pangeran Dursasana. Mungkin kita juga sadar bahwa kita tak bisa mengalahkan lawan politik kita. Kita begitu yakin musuh politik kita tak bakal tergoyahkan.

Berbagai macam strategi harus dibuat untuk menggertaknya. Tak peduli orang menyebutnya gertak sambal. Biarpun sambal, gertak adalah gertak juga. Mungkin kita juga meneror. Supaya teror itu agak terasa halus, mungkin bisa diberi embel-embel demi apa, demi apa, untuk menutupi wajah kita agar ketakutan itu tak terlalu tampak.

Mungkin inilah kecanggihan permainan politik kita. Kasus demi kasus pilkades, pilkada dan pilpres tiap saat, di mana pun, penuh warna-warni trik, akal, strategi, yang tak mengindahkan sopan santun dan etika politik. Di dunia sepak bola dunia, orang mengejek tim Brasilia yang selalu bermain indah, dengan pernyataan bahwa keindahan tak penting karena yang terpenting menang. Tim yang keras dan culas mengembangkan sikap itu. Dan di dunia politik kita pun mungkin sama. Calon yang lemah berusaha kuat dalam permainan taktik, strategi, dan tipu muslihat. Kita tak lupa, fitnah-fitnah dan segenap cara melumpuhkan lawan, tampil dalam pemilihan presiden yang belum lama berselang. Berbagai pihak, yang masih memiliki kepentingan politik,  ikut bermain untuk menyerang lawan yang kuat.

Fitnah politik tak begitu manjur. Pemilihan ya pemilihan. Fitnah tak mungkin dipercaya semua pihak. Bahkan, fitnah tak mungkin dipercaya mayoritas. Jadi, sederas apapun hujan fitnah itu, yang kuat akan tetap kuat, calon juara akan tampil sebagai juara. Dalil politik bisa disusun dengan ratusan variasi. Tapi hukum-hukum alam, yang paham akan siapa yang kuat dan siapa yang pura-pura kuat, yang tulus dan yang pura-pura tulus, atau yang jujur dan yang pura-pura jujur, tak dapat ditipu.

Begitu juga strategi politik untuk menang dengan menggerakkan massa. Kita sudah belajar dari berbagai kasus pilkades, pilkada dan pilpres, bahwa massa bisa membikin kita agak keder. Massa bisa  menggertak. Tapi jangan lupa, massa yang kelihatan banyak itu tak semuanya memegang hak pilih, dan dengan sendirinya tak semua memilih. Massa tak bisa menentukan sebuah pemilihan yang bakal dilakukan di tempat lain, pada waktu yang lain.

Dalam berbagai kasus, massa bisa menggertak dan membikin lawan merasa keder, tapi massa tak bisa menentukan kebenaran. Massa pun tak pernah menentukan kemenangan dalam suatu pemilihan-termasuk dalam pilkada-karena massa dibariskan di suatu lapangan, sedangkan pemilihan dilakukan di ruang tertutup yang bebas dengan landasan kejujuran dan hati nurani yang sukar dinodai oleh teriakan massa. Gerakan massa bukan obat segala luka. Gerakan massa tak punya janji yang mengikat kita. []

Koran SINDO, 5 November 2016
Mohamad Sobary | Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar