Selasa, 29 November 2016

Helmy Faishal Zaini: Matinya Kemanusiaan di Rohingya



Matinya Kemanusiaan di Rohingya
Oleh: A Helmy Faishal Zaini

Setahun lampau kita masih ingat, ratusan orang terombang-ambing di perairan Asia Tenggara. Hari ini, setidaknya sejak sepekan lalu, Rohingya kembali bergolak. Kawasan yang terletak di Myanmar bagian barat tersebut kembali memanas.

Pasukan militer Myanmar bentrok dengan sekelompok Muslim Rohingya di sebelah utara Negara Bagian Rakhine. Sebagaimana dikabarkan banyak media massa, bentrokan tersebut menewaskan setidaknya 28 warga Muslim.

Bentrokan ini sebagaimana banyak dikutip media massa, berawal dari operasi pembersihan yang dilakukan oleh militer Myanmar. Dari sanalah awal mula tercetusnya bentrokan yang pada giliranya menyebabkan jautuhkan korban jiwa. Dan penting untuk dicatat bahwa kejadian seperti ini bukan yang pertama kali. Selalu berulang dan berulang.

Human Rights Watch (HRW) dalam laporannya mengatakan, terdapat kerusakan parah di tiga desa yang berada di wilayah Rakhine akibat serangan yang dilancarkan oleh pasukan keamanan Myanmar. Nyawa dan harta dihargai sedemikian murah. Ini adalah cermin buruk dan alarm keras bagi komunitas internasional bahwa kejahatan kemanusiaan di Rohingya sangat mungkin bisa dikatakan sebagai kejahatan kemanusiaan terbesar di abad 21.

Dalam hemat saya, akar persoalan yang terjadi di Myanmar adalah tak kunjung diakuinya kewarganegaraan suku Rohingnya. Sejak Jenderal Ne Wing membuat keputusan pada 1982, warga Rohingnya terdiskriminasi.

Keputusan itu berisi tentang 'politik kesukuan' yang membuat kategori mereka yang diakui sebagai warga negara Myanmar. Sebanyak 135 suku atau komunitas tercantum dalam keputusan tersebut.

Namun sayangnya suku Rohingya tidak termasuk di dalamnya. Suku Rohingya dianggap sebagai pendatang haram dari Bangladesh. Meskipun pada kenyatannya mereka telah lama menetap dan beranak pinak di Myanmar, bahkan turun-temurun bergenerasi.

Bagai buah simalakama, status manusia yang tak berwarga negara tersebut menjadikan suku Rohingya serbasalah. Satu sisi mereka terusir dari tanah kelahirnnya, di satu sisi lain jika ingin mencari suaka mereka harus berhadapan dengan sindikat internasional kejahatan perdagangan manusia.

Data UNCHR menyebutkan, tak kurang dari satu juta lebih warga Muslim Rohingya tidak memiliki status kewarganegaraan. Menyandang status manusia tak bernegara adalah beban yang sangat berat bagi mereka. Tak ada kepastian hidup. Bahaya selalu mengancam. Represi pemerintah melalui 'operasi pembersihan' atau di sisi lain 'perdagangan manusia'.

Data berbicara bahwa pada 2016 saja tercatat tidak kurang dari 150 ribu suku Rohingya mencari suaka. Mereka semua sesungguhnya sadar akan bahaya di depan mata: perdagangan manusia. Namun, bagaimanapun juga hidup barangkali adalah soal pilihan. Bertahan atau beranjak sama-sama bertaruh nyawa dan kehilangan kehidupan. Tak ada pilihan yang manusiawi bagi mereka.

Dalam pndangan saya, PBB belum hadir dalam kasus kejahatan kemanusiaan di Rohingya ini. Tidak ada langkah konkret yang diambil sebagai solusi untuk menghentikan pembantaian ini.

Saya masih ingat ketika Sekjen PBB berbicara di depan forum pertemuan dengan para wakil "Group of Friends on Myanmar" yang terdiri dari Australia, Cina, Prancis, India, Indonesia, Jepang, Norwegia, Rusia, Singapura, Thailand, Inggris, Amerika Serikat, Vietnam, dan Lithuania pada 2013. Sekjen PBB mengatakan, "Adalah penting bagi Pemerintah Myanmar untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk menanggapi keluhan sah dari warga minoritas, termasuk tuntutan kewarganegaraan Rohingya."

Namun yang patut disayangkan sampai saat ini nyatanya tidak ada langkah konkret sebagai bantuk upaya untuk menanggulangi konflik di Rohingya. Kantor Komisi Tinggi Hak Asasi Manusia (OTHR) juga mencatat, sampai saat ini masih terjadi banyak kasus kemanusiaan seperti diskriminasi, pembakaran, penyiksaan, dan lain sebagainya. Ini adalah fakta yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Saat berhadapan dengan kecamuk yang demikian dahsyat, di saat yang bersamaan pula kita disuguhkan ironi yang sangat dahsyat: nobel Aung San Suu Kyi. Perempuan yang digadang-gadang bisa menjadi 'obor demokrasi' tersebut nyatanya sampai saat ini terkesan bungkam dan berdiam diri.

Sesungguhnya jika kita jeli, memang sikap yang demikian tidak begitu mengagetkan. Sebab, sebagimana yang kita tahu, setelah dinobatkan sebagai peraih Nobel Perdamaian pada 2012, sebuah ucapan bernada kesal telontar dari bibirnya.

"Tak ada yang memberi tahu bahwa saya akan diwawancarai oleh seorang Muslim," kata Suu Kyi setelah melakukan wawancara dengan Mishal Husain Today Programme. Ia sangat kesal dan terpojok saat ditanyai mengenai penderitaan yang dialami oleh umat Islam di Myanmar.

Atas dasar itu, dalam pendangan saya, Komite Nobel harus mencabut penghargaan Nobel Perdamaian yang pernah diberikan kepada Suu Kyi. Tindakan menutup mata adalah pembiaran yang melanggar hak asasi manusia yang telah merenggut ribuan nyawa.

Kini dunia bertanya, di manakah nurani kemanusiaan sosok Aung San Suu Kyi yang dulu berjuang di luar sistem kekuasaan. Pantaskah Suu Kyi memeroleh Nobel Perdamaiaan, padahal dalam tampuk kekuasaannya sekarang justru terjadi pembersihan etnis yang tindakan tersebut jelas-jelas merupakan kejahatan kemanusiaan? []

REPUBLIKA, 25 November 2016
A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar