Hasan Gipo: Sudagar-Aktivis, Ketua
Tanfidziyah PBNU Pertama
Tokoh yang satu ini sangat terkenal, karena
dialah orang yang pertama kali medampingi Kiai Hasyim Asy’ari dalam mengurus
NU. Walaupun tokoh itu terkenal, tetapi sangat sedikit diketahui, sehingga
kehadirannya masih sangat misterius.
Ia lahir dari lingkungan keliuarga santri yang kaya, yang bertempat tinggal di kawasan perdagangan elite di Ngampel yang bersebelahan dengan pusat perdagangan di Pabean, sebuah pelabuhan sungai yang berada di tengah kota Surabaya yang berdempetan dengan Jembatan Merah. Dinasti Gipo ini didirikan oleh Abdul Latif Sagipoddin (Tsaqifuddin) yang disingkat dengan Gipo.
Mereka ini adalah masih santri bahkan kerabat dari Sunan Ampel, karena itu keislamannya sangat mendalam, sebagai pemuda yang hidup dikawasan bisnis yang berkembang sejak zaman Majapahit itu, Sagipoddin memiliki etos kewiraswastaan yang tinggi.
Prosesi bisnisnya ditekuni mulai dari pedagang beras eceran, dengan cara itu ia memiliki kepandaian tersendiri dalam menaksir kualitas beras. Keahliannya itu semakin hari semakin tenar, sehingga para pedagang dan terutama importir beras banyak yang menggunakan jasanya sebagai konsultan kualitas beras. Dengan profesinya itu ia mulai mendapat banyak rekanan bisnis dengan modal keahlian bukan uang.
Ketika usinya sudah menjelang dewasa, ia diambil menantu oleh seorang saudagar Cina. Engan modal besar dari mertuanya itulah ia bisa melakukan impor beras sendiri dari Siam, sehingga keuntungannya semakin besar dan semakin kaya. Perjalannya ke luar negeri semakin memperbesar rekanan bisnisnya, beberapa pengusaha dari Pakistan, Arab Persia dan India digandeng, sehingga semakin memperbesar volume ekspornya.
Selain itu juga mulai melakukan diversifikasi usaha dengan mengimpor tekstil dari India. Karena itu ia menjadi pengusaha besar di kawasan perdagaangan Pabean, sehingga tanah-tanah di situ dikuasai.
Tetapi ketika perkembangan bisnisnya terlalu ekspansif, maka akhirnya ia kebobolan juga, karena beras yang diimpor dari Siam itu dipalsu oleh rekanan bisnisnya dari Pakistan ditukar dengan wijen, yang waktu itu harga wijin sangat rendah dibanding harga beras. Selain itu wijen tidak dibutuhkan dlam skala besar. Dengan penipuan itu bisnisnya sempat limbung selama beberapa bulan. Modal mandek, uang tidak bisa diputar karena tertimbun menjadi wijen yang tidak laku dijual, paling laku satu dua kilo untuk penyedap makanan. Sebagai anak muda yang baru bangkit, sangat terpukul dengan penipuan itu.
Namun mertuanya yang pengusaha kawakan itu tidak menyalahkan malah menyabarkan, karena kerugian merupakan risiko setiap bisnis. Ini sebuah cobaan dari Allah yang harsu diterima. Dengan sabar, syukur dan tawakkal serta usaha keras Insyaallah suatu ketika keuntungan akan diperoleh kembali, demikian nasehatnya. Sebagai seorang santri yang taat ia hanya bisa pasrah dan berdoa serta tetap berusaha.
Di tengah kelesuan bisnisnya itu tiba-tiba pemerintah Belanda membutuhkan wijen dalam jumlah besar. Tentu saja tidak ada pengusaha yang memiliki dagangan yang aneh itu, setelah dicari kesana kemari akhirnya Belanda tahu bahwa Sagipoddin memiliki segudang wijen. Belanda sangat senang dengan ketersediaan wijen yang tak terduga itu, karena itu berani membeli dengan harga mahal.
Bak pucuk dicinta ulam tiba, maka minat Belanda itu tidak disia-siakan. Karena wijen itu dulunya dibeli seharga beras, maka Sagipoddin minta sekarang dibeli dengan seharga beras. Belanda yang lagi butuh tidak keberatan dengan harga mahal yang ditentukan itu, lalu dibelilah seluruh wijen Sagipoddin, maka keuntungan yang diperoleh berlipat ganda, sehingga perdaganannya juga semakin besar.
Keuntungan itu dipergunakan untuk mempercepat ekspansi bisnisnya, dan kawasan perdagangan yang strategis mulai dibelinya, yang kemudian dijadikan pertokoan dan pergudangan. Akhirnya ia juga bisnis persewaan toko, penginapan dan pergudangan. Sebagai seorang santri taat ia banyak pergunakan hartanya untuk sedekah membangun pesantren dan masjid.
Banyak kiai besar yang diundang kerumahnya, Sagipoddin sangat senang bila kia yang berkunjung mau menginap di rumahnya, maka pulangnya mereka diberi berbagai macam sumbangan untuk pembangunan sarana pendidikan dan ibadah, sehingga dalam waktu singkat Sagipoddin sangat terkenal di Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya. Walaupun ia bukan ulama tetapi karena masih keturunan ulama, maka ia sangat hormat dan mencintai ulama.
Abdul Latif Sagipuddin ini menikah dengan Tasirah mempunyai 12 orang anak, salah satunya bernama H. Turmudzi, yang kawin dengan Darsiyah, mempunyai anak yang bernama H. Alwi, kemudian Alwi mempunyai sepuluh orang anak yang salah satunya bernama Marzuki. Dari H Marzuki itulah kemudian lahir seorang anak yang bernama Hasan, yang lahir pada 1896 di Ampel pusat kota Surabaya yang kemudian dikenal dengan Hasan Gipo. Jadi ia merupakan generasi kelima dari dinasti Gipo.
Sebagai seorang yang mampu secara ekonomi Hasan Gipo juga mendapatkan pendidikan cukup memadai selain belajar di beberapa pesantren di sekitar surabaya, juga sekolah di pendidikan umum ala Belanda. Meskipun mendapatkan pendidikan model Belanda tetapi jiwa kesantriannya masih sangat kental dan semangat kewiraswastaannya sangat tinggi, sehingga kepemimpinan ekonomi di kawasan bisnis Pabean masih dipegang oleh keluarga itu, hingga masa Hasan Gipo.
Karena hampir seluruh kiai Jawa Timur merasa sebagai santri dan pengikut Sunan Ampel, maka setiap saat mereka berziarah ke makam keramat di kota Surabaya itu. Kunjungan mereka itu banyak disambut oleh keluarga Gipo di Ampel. Persahabatan Hassan Gipo dengan para ulama yang telah dirintis kakeknya terus dilanjutkan, sehingga ia sangat dikenal oleh kalangan ulama, sebagai saudagar, aktivis pergerakan أ¯آ؟آ½dan administratur yang cerdik. Tidak sedikit pertemuan para ulama baik untuk bahsul masail maupun untuk membahas perkembangan politik yang dibeayai dan difasilitasi oleh Hasan Gipo. Sebagai sesama penerus Sunan Ampel dan sesama sudagar membuat Hasan Gipo sering bertemu dengan KH Wahab Hasbullah dalam dunia pergerakan.
Sebagai seorang pedagang dan sekaligus aktivis pergerakan yang tinggal di kawasan elite Surabaya, hal itu sangat membantu pergerakan Kiai Wahab. Dialah yang selalu mengantar Kiai Wahab menemui para aktivis pergerakan yang ada di Surabaya, seperti HOS Cokroaminoto, Dr. Soetomo dan lain sebagainya. Di situlah Kiai Wahab dan Hasan Gipo berkenalan dengan para murid HOS Cokroaminoto seperti Soekarno, Kartosuwiryo, Muso, SK Trimurti dan masih banyak lagi. Di situlah para aktivis pergerakan nasional baik dari kalangan nasionais dan santri bertemu merencanakan kemerdekaan Indonesia.
Pertemuan antara Hasan Gipo dengan Kiai Wahab
serta kiai lainnya makin intensif. Ia kemudian terlibat aktif dalam pendirian
Nahdlatul Wathan (1914), walaupun tidak tercatat sebagai pengurus. Selanjutnya
ia juga menjadi peserta diskusi dalam forum Taswirul Afkar (1916).
Karena itu pengetahuannya sangat teruji, dan
kemapuan berargumentasinya sangat memukau. Selain itu ia juga telah aktif
terlibat dalam Nahdlatut Tujjar (1918) yang memang bidangnya. Dalam forum
semacam itu ia berkenalan dengan ulama lainnya makin intensif seperti Kiai
Hasyim Asy’ari dan beberapa kiai besar lainnya di Jawa yang telah lama menjadin
pershabatan dengan keluarga Ampel itu.
Bahkan ketika para ulama membentuk Komite
Hejaz dan akan mengirimkan utusan ke Makah, sumbangan Hasan Gipo juga sangat
besar, karena dialah yang mempelopori penghimpunan dana dan ia sendiri pun
menyumbang sangat besar. Atas prestasinya yang banyak memberikan sumbangan, dan
memiliki kecakapan teknis dalam menangani administrasi organisasi serta
penggalangan dana masyarakat.
Karena itu ketika Nahdlatul Ulama berdiri,
dalam sebuah pertemuan terbatas yang dipimpin Kiai Wahab Hasbullah di kawasan
Bubutan Surabaya itu ia langsung ditunjuk sebagai Hoftbestoor (Pengurus Besar) NU sebagai Ketua
Tanfidziyah dan usul itu langsung disetujui oleh Kiai Hasyim Asy’ari yang
sebelumnya sudah sangat mengenal Hasan Gipo serta latar belakang keluarganya.
Walau sebagai pengurus NU bisnisnya tetap
berkembang, bahkan kemudian juga dikembangkan ke sektor properti, ia banyak
memiliki perumahan, pertokoan dan pergudangan yang ini kemudian disewakan, saat
itu kebutuhan terhadap sarana bisnis tinggi, karena itu tingkat hunian propertinya
juga tinggi, sehingga keuntungan yang diperoleh dari sini juga tinggi, sehingga
ia bisa menyumbang banyak ke NU, baik ketika Muktamar maupun untuk sosialisasi
dan pengembangan NU ke daerah-daerah lain, sehingga bisa dilihat NU berkembang
sangat cepat dari Surabaya, pada tahun kedua telah menyebar di Jawa Tengah,
bahkan pada tahun kelima telah menyebar ke Jawa Barat, bahkan ke Kalimantan dan
Singapura.
Seperti dilukiskan Saifuddin Zuhri, yang
menggabarkan Hasan Gipo sebagai sosok yang tidak hanya cerdas secara
intelektual, tetapi juga gagah secara fisik, karena itu ketika terjadi
perdebatan tentang masalah teologi antara Kiai Wahab Hasbullah dengan Muso yang
ateis itu bisa mengganti kedudukan Kiai Wahab yang bosan menghadapi Muso yang
hanya bisa debat kusir tanpa nalar dan tanpa hujjah yang benar. Maka dengan
gagah berani ia melakukan debat dengan Muso tokoh PKI yang dikenal sebagai
Singa podium itu ditaklukkan. Setiap argeumennya bisa dipatahkan, sehingga
alumni Moskwo dan anak didik Lenin itu keteteran. Tidak hanya itu Arek Suroboyo
ini juga berani menantang Muso berkelahi secara fisik. Anehnya Muso yang
biasanya brangasan itu tidak berani menghadapi tantangan Hasan Gipo.
Selain menguasai ilmu agama, setiap orang
pesantren selalu menguasai ilmu kanuragan, sebab ini bagian dari tradisi
pesantren, dan tampaknya Hasan Gipo juga memiliki ilmu ini, itu yang membuat
Muso ngeri menghadapi. Hasan Gipo. Jabatan ketua Tanfidziyah itu dipegang Hasan
Gipo selama dua masa jabatan, baru pada Muktamar NU Ketiga 1929 di Semarang ia
digantikan oleh KH. Noor sebagai ketua Tanfidziyah yang baru juga berasal dari
Surabaya. Selanjutnya pada Muktamar NU ke 12 tahun 1937 di Malang kemudian KH
Noor digantikan oleh KH Mahfud Shiddiq, kakak kandung KH Ahmad Shiddiq.
Pada periode awal ini, NU memang banyak
diikuti oleh para pengusaha, selain Hasan Gipo ada beberapa pengusaha besar
yang masuk ke NU yaitu Haji Burhan Gresik. Ia memiliki pabrik kulit dan
persewaan rumah dan gudang. Kemudian adalagi pengusaha besar Haji Abdul Kahar Kawatan
Surabaya, yang menguasai perdagangan pertanian di Jawa Timur. Kemudian ada H.
Jassin, seorang pemilik pabrik garmen yang khusus diekspor ke India dan
Pakistan. Mereka semuanya pernah aktif terlibat aktif dalam Nahdlatut Tujjar,
maka ketika NU berdiri secara otomatis mereka bergabung ke NU. Dengan demikian
NU bisa berdiri mandiri tanpa bantuan dari kolonial, sehingga bebas menentukan
gerak organisasinya dan mengatur pendidikan pesantren yang diselenggarakannya.
Pada periode awal ini selain menggiatkan
bidang pendidikan, maka NU sangat peduli dengan usaha pengembangan ekonomi
dengan membentuk berbagai syirkah. Usaha impor sepeda dari Eropa dirintis sejak
tahun 1935, karena untuk mencukupi kebutuhan pasar dalam negeri, dan tentunya
sangat dibutuhkan sebagai sarana transportasi warga NU dalam mengembangkan
jamiyah.
Selain itu juga dibentuk badan pengimpor
gerabah dan barang kebutuhan lainnya dari Jepang. Usaha itu terus dikembangkan,
kemudian NU juga mulai masuk lebih serius dalam bidang industri percetakan dan
lain sebaginya. Atas inisiatif para kiai dan para tujjar yang ada dalam tubuh
NU itu pergerakan NU semakin gencar, sehingga dalam waku singkat menjadi
organisasi besar.
Selain bisnis yang bersifat kolektif para
pengurus NU sejak dari Kiai Hasyim Asy’ari, termasuk Kiai Wahab Hasbullah. Kiai
As’ad Syamsul Arifin, Kiai Bisri, Kiai Muslih Purwokerto, semuanya mempunyai
usaha sendiri-sendiri. Usaha itu dibangun selain untuk memenuhi ekonomi
keluarga yang terpenting bisa menjadi kemandirian agar tidak minta bantuan pada
pemerintah kolonial Belanda. Jajaran pimpinan NU terdiri dari orang-orang
independen, tidak ada yang menggantungkan ekonominya pada birokrasi kolonial.
Karena itu sejak masa kemerdekaan kemandirian
kiai dan NU tetap terjaga, karena memiliki kemandirian secara ekonomi.
Pembangunan ekonomi di sini ditempatkan sebagai strategi politik untuk menjaga
kemandirian dan kebebasan warga dari ketergantungan dan tekanan dari penjajah.
Setelah tidak lagi menjadi Ketua Tanfidziyah
PBNU, Hasan Gipo kembali mengembangkan bisnisnya, hingga semakin besar.
Sebagian hasil keuntungannya tetap disumbangkan pada NU dan pesantren. Sebab
pada masa rintisan NU membutuhkan banyak dana, apalagi saat itu Muktamar
dilaksanakan setiap tahun, maka sudah pasti Hasan Gipo tergerak untuk membantu
pendanan Muktamar NU setiap kali diselenggarakan, baik di Surabaya maupun di
luar Jawa.
Aktivitas Hasan Gipo terus dilanjutkan hingga
menjelang wafatnya pada tahun 1934, kemudian dimakamkan di kompleks pemakaman
Sunan Ampel dalam pemakaman khusus keluarga Sagipoddin. Ia mempunyai tiga orang
anak, yang kemudian melanjutkan usaha bisnisnya dan sekaligus sebagai penerus
dinasti Gipo yang masih terus aktif hingga saat ini. []
Abdul Munim DZ,
(Disadur dari beberapa sumber dan hasil wawancara
dengan H. Musa Jassin, salah seorang anggota Bani Gipo, yang tinggal di Kawatan
Surabaya. Foto: Koleksi Museum NU di Surabaya)
salam jaya bwt NU
BalasHapusAminnn....
HapusMatur nuwun poro muassis n muharrik....lahumul fatihah
BalasHapusAl Faatihah...
HapusMaaf Itu Bukan Foto e KH Hasan Gipo melainkan KH. Mas Mansyur Muhammadiyah dan ada beberapa lagi dari tulisan ini yang perlu di cek kebenarannya.
BalasHapusMochammad Fuad Nadjib Staf II Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa Arab dan Dakwah Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya
Mas Nadjib,
HapusMatur nuwun teleh berkunjung ke blog saya. Mohon sudi kiranya memberikan foto KH. Hasan Gipo yang benar, nanti akan saya revisi di artikel ini. Foto bisa dikirim ke pratikno.ananto@gmail.com
Salam hangat.