Menyelami Risalah Islam dalam Kehidupan
Judul : Islam; Risalah Cinta dan Kebahagiaan
Pengarang
: Haidar Bagir
Cetakan
: I, Februari 2013
Tebal
: xvii + 213 hlm
Penerbit
: PT Mizan Publika
ISBN
: 978-979-433-758-5
Peresensi
: Muhamad Zainal Mawahib, Mengabdi di Pondok Pesantren Taqwal Illah Semarang
Fenomena tindak intolenasi hingga era sekarang ini masih selalu menjadi sajian yang menghiasi media cetak maupun media elektronik, khususnya intoleransi yang berpangkal pada perbedaan dalam hal keyakinan. Tindak intoleransi ini tidak lain mengakibatkan ketidakharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini dikarenakan kemajemukan yang ada di Indonesia dengan berbagai suku, agama, ras dan etnis yang belum disadari. Sehingga kemajemukan ini harus diakui oleh semua elemen agar terwujud kesejahteraan.
Namun kemajemukan di Bumi Nusantara ini sepertinya belum sepenuhnya diakui dan disadari oleh sebagian masyarakat. Belum adanya kesadaran yang demikian lahir karena adanya pemahaman yang mereka yakini. Salah satunya pemahaman keagamaan yang berorientasi hukum (law oriented religion).
Deskripsi pangkal intoleransi yang demikian merupakan hasil renungan Haidar Bagir. Melalui buku “Islam; Risalah Cinta dan Kebahagiaan” ini, Bagir mengajak para pembaca agar dalam memahami agama tidak hanya berorientasi hukum. Sebab pandangan yang demikian dapat berujung pada hal saling menyalahkan. Maka, bagi Bagir, penting sekali untuk melakukan sebuah pergeseran paradigma. Paradigma keagamaan Islam sebagai agama yang berorientasi hukum ke agama yang berorientasi cinta (eros oriented religion) yang berujung kebahagiaan bersama.
Mengapa demikian? Bagir mengajukan sebuah argumentasi, bahwa cinta tidak lain adalah suatu sumber dari keinginan untuk memberikan kebaikan yang dapat mendatangkan kebahagiaan kepada orang yang dicintai (hal. 4). Dalam kata lain, prinsip ini menempatkan kebutuhan dan kepentingan kita di bawah kebutuhan dan kepentingan orang yang dicintai. Sehingga benar apabila cinta identik dengan dorongan untuk memberi, bukan menuntut. Apabila setiap individu memiliki prinsip demikian dengan sesama individu yang lain, maka umat manusia akan saling melengkapi. Pada akhirnya berujung pada kebahagiaan dalam tatanan bersosial.
Silaturrahim atau komunikasi yang baik tidak lain merupakan tali cinta manusia dengan manusia yang lain. Namun makna silaturrahim tidak sekadar saling mengunjungi atau berkomunikasi dengan berbagai macam cara. Sebenarnya makna silaturrahim lebih dari itu, yakni upaya untuk melakukan perbuatan yang baik kepada orang lain. Khususnya membantu melepaskan beban-beban yang menyengsarakan mereka (hal. 75).
Pada gilirannya, menjalin tali cinta sesama manusia ini dalam wujud perbuatan yang baik yang dapat membantu dan memecahkan polemik. Hal ini justru akan memperkuat jalinan kasih sayang antar umat manusia, tanpa memandang latar belakangnya.
Pola pikir seperti ini menjadi sangat penting, sebab tak banyak yang menyadarinya bahwa kehidupan manusia sesungguhnya adalah suatu perjalanan untuk pergi dan pulang. Berangkat dari suatu tempat berangkat menuju suatu tempat kembali. Pemahaman yang seperti ini tidak lain adalah tempat berangkatnya, baik manusia bersumber dan berawal dari Tuhan untuk berjalan kembali ke pada Tuhan yang Maha Pencipta (hal. 34). Sehingga manusia harus saling bergotong-royong, agar dapat menghadapi segala rintangan yang datang menghadang.
Walhasil, menarik sekali buku ini untuk dibaca semua kalangan. Sebab buku yang sederhana ini akan dapat membantu para pembaca yang budiman untuk merenungkan lebih jauh tentang makna kehidupan. Kehidupan yang memberikan kebahagiaan sejati yang merupakan dambaan kita semua, tanpa disertai dengan tindak intoleransi dengan sesama. Buku ini semakin lengkap isinya dengan dibumbui kisah-kisah bijak. Selain itu, dicantumkannya beberapa tulisan asli beberapa filsuf dan sufi yang menambah buku ini semakin mendalam dalam menyelami makna kehidupan. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar