Senin, 09 Desember 2013

(Ngaji of the Day) Dusta dan Ketentuannya



Dusta dan Ketentuannya

Massa memiliki kecenderungan perilaku primitif. Tentu saja benar. Tetapi tentu juga keliru. Bagaimana benarnya? Begini. Massa itu senang main keroyok dan main bakar. Disebut “keroyok” tentu karena mereka itu sudah merupakan massa. Kalau sendirian, lain lagi sebutannya.

Massa senang bakar. Ini benar. Mereka membakar bukan rokok atau sampah karena tindakan ini ada larangannya baik oleh pemerintah, aktivis antirokok, maupun aktivis lingkungan hidup lewat sosialisasi yang getol.

Tidak tanggung-tanggung, massa membakar manusia; anak dari jenis mereka sendiri. Alasannya tentu macam-macam. Manusia yang dibakar bisa jadi melakukan kesalahan fatal seperti meruntuhkan rumah tangga orang, menipu hingga membuat orang rugi besar, atau sekadar mencopet dompet berisi pecahan dua puluh ribu beberapa lembar semata.

Bahkan massa kadang membakar anak manusia lantaran beda kepentingan politik, dendam persaingan usaha, atau karena hanya melihat orang berkerumun tengah membakar segala apa termasuk manusia karena persaingan kelas. Anehnya massa juga pernah membakar manusia hanya karena korban bermata sipit.

Dalam keadaan masyarakat telah menjadi massa, umat Islam diwajibkan menyelamatkan jiwa pencopet, penipu, atau korban yang tidak tahu-menahu. Maksudnya, mereka yang menjadi sasaran massa mesti diselamatkan terlebih dahulu untuk selanjutnya diproses secara hukum bagi yang salah.

Untuk penyelamatan dalam kondisi darurat seperti ini, umat Islam berkewajiban untuk itu kalau perlu berbohong atau bersumpah. Ini dikatakan jelas oleh Imam Ghazali yang dikutip Imam Nawawi dalam kitab Al-Azkar.

“Kata Imam Ghazali, ‘Ucapan merupakan perantara bagi sejumlah maksud hati. Ketika maksud terpuji (secara syari‘at) yang dapat dicapai dengan kejujuran dan kebohongan, tentu kebohongan yang ditempuh hukumnya haram karena tidak ada hajat untuk melakukan kebohongan. Namun ketika tujuan terpuji tidak bisa dicapai dengan kejujuran, maka hukum kebohongan yang ditempuh sesuai dengan tujuannya. Kalau tujuan mulia itu hukumnya mubah, maka kebohongan untuk itu juga mubah. Dan wajib bohong jika tujuan mulia itu wajib (secara syari‘at)’,” kutip Imam Nawawi.

Ketentuan ini berlaku bagi mereka yang ada di luar pengadilan. Sedangkan kejujuran menjadi wajib hukumnya bagi siapa saja ketika berada di tengah pengadilan atau proses hukum demi keadilan. Apapun risikonya.

Ketentuan di atas tidak hanya berlaku untuk mencegah massa saja. umat Islam juga wajib menyelamatkan nyawa dan harta seseorang dari tuntutan seorang warga atau penguasa yang sedang kalap. Keterangan ini merupakan lanjutan uraian Imam Nawawi dalam kitab dan bab yang sama.

Kalau menghadapi orang kalap, jangan ragu membuang kejujuran. Karena, keselamatan nyawa dan harta seseorang bukan barang murah.

Bagaimana kelirunya? Orang-orang berkumpul menjadi massa untuk melakukan sembahyang jamaah, sembahyang Juma‘at, istighotsah, tahlilan, olahraga, sekolah, berangkat ngantor atau segala bentuk yang positif. []

(Alhafiz Kurniawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar