Menghadapi Perbedaan dengan
Elegan
Oleh: Moh. Achyat Ahmad
Menghadapi perbedaan di antar-umat sesama
Muslim, sebagaimana ditunjukkan oleh perjalanan dan pengalaman umat ini
sepanjang sejarah, seringkali lebih rumit daripada menghadapi perbedaan
pandangan dengan umat yang berbeda agama. Hal ini, setidaknya, karena yang kita
hadapi dalam perbedaan di dalam internal umat adalah ancaman akan perpecaah
umat. Sedangkan jika kita berhadapan dengan perbedaan dengan umat yang berbeda agama,
maka itu justru bisa mempersatukan umat untuk menghadapi lawan yang sama.
Itulah sebabnya, perbedaan yang terjadi di
tengah-tengah umat (dalam hal ini perbedaan haluan politik dan akidah), bisa
menjadi salah satu faktor terkuat yang bisa melemahkan kekuatan umat dan
memecah belah kokohnya persatuan mereka. Tentu, ini adalah hal yang amat
merugikan. Jika saat ini faktanya kita ada dalam situasi yang ramai akan
perbedaan dan rentan akan perselisihan dalam perbedaan itu, maka betapa kita
tengah berada dalam situasi disintegrasi umat setiap waktu. Maka, di sini
diperlukan pemahaman yang benar akan perbedaan dan langkah yang benar bagaimana
menghadapi perbedaan itu.
Pada dasarnya, hal terpenting dalam
menghadapi perbedaan, dalam hal ini adalah perbedaan kita dengan aliran-aliran
sesat di luar Ahlusunah wal Jamaah, adalah tidak bertindak secara gegabah, yang
bisa mendatangkan bahaya yang lebih besar dan kerugian yang lebih luas.
Tindakan fisik secara tegas, seperti memenjarakan, menyegel fasilitas, dan semacamnya,
hanya bisa dilakukan oleh aparatur pemerintah dan tidak tidak diserahkan kepada
individu umat atau masyarakat sipil. Hal demikian agar upaya memberangus paham
sesat tidak justru berbuah petaka yang lebih berbahaya.
Hal demikianlah yang dilakukan oleh para
ulama Islam sepanjang sejarah, bahkan juga yang dilakukan oleh pemerintah
Islam. Sayyidina Ali t, misalnya, kendati menjabat sebagai Khalifah dan
berhadapan dengan kaum Khawarij yang tidak saja sesat, akan tetapi bertindak
brutal dengan merampok dan membunuh, dan itu telah memenuhi syarat-syarat untuk
diperangi, akan tetapi Sayyidina Ali t tidak serta merta memerangi mereka.
Sayyidina Ali t masih menasihati mereka, dan memberi kesempatan mereka untuk
bertobat, sedangkan yang diperangi adalah sisa-sisa dari kelompok itu yang
tidak mau berhenti berbuat kerusakan, tidak mau bertobat dan terus berkomitmen
melawan pemerintah.
Oleh sebab itu, ketika al-Imam Hasan
al-Bashri mendapatkan laporan tentang orang yang berpandangan seperti pandangan
kelompok Khawarij, beliau juga tidak menginstruksikan untuk menyerang orang
itu. Al-Imam Hasan al-Bashri malah menjawab: “Amal perbuatan lebih memberikan
pengaruh kepada melebihi pandangan dan pemikiran. Allah akan memberikan balasan
kepada manusia disebabkan amal perbuatan mereka.”
Barangkali pandangan semacam ini bisa lebih
kita mengerti dengan memahami kebijakan Khalifah Umar bin Abdul-Aziz terkait
dengan aliran sesat. Pada tahun 100 H., di Madinah muncul sekelompok aliran
sesat yang dipimpin oleh Syaudzab. Maka Umar bin Abdul-Aziz menginstruksikan
kepada gubernurnya di Madinah untuk membiarkan mereka meyakini apapun,
sepanjang keyakinan mereka tidak mendorong mereka pada tindakan berbuat
kerusakan dan menumpahkan darah.
Bahkan dalam hal ini, Umar bin Abdul-Aziz
berdakwah kepada Syaudzab melalui jalur debat ilmiah. Umar bin Abdul-Aziz
meminta Syaudzab untuk mengirimkan orang terbaiknya guna berdebat dengannya
mengenai akidahnya. Akhirnya Syaudzab mengirim dua orang terbaiknya dan
berdebat dengan Umar bin Abdul-Aziz, dan akhirnya salah satu dari utusan
Syaudzab itu meninggalkan keyakinannya, sedangkan yang lain tetap pada
keyakinannya. (Durusut-Târîkh al-Islâmî, 2/66)
Jadi dengan demikian, Umar bin Abdul-Aziz
sebagai pemimpin pemerintahan Islam, tidak melakukan serangan apapun kepada
aliran sesat yang tidak melakukan tindakan-tindakan yang merugikan orang lain.
Ada banyak jalur lain yang masih bisa dilakukan untuk berdakwah kepada
orang-orang yang berbeda faham agar kembali ke jalan yang benar. Menghadapi
aliran sesat dengan kekerasan kadang membuat kelompok sesat itu semakin
militan, sekaligus bisa mengundang simpati dari pihak lain untuk membantu
aliran sasat itu, yang tentu bisa merugikan kepada umat Islam sendiri.
Dalam konteks ini, barangkali kita bisa
merujuk pada alasan mengapa Nabi tidak memerangi orang-orang munafik.
Orang-orang munafik jelas merupakan musuh-musuh Islam yang berada di dalam
lingkungan umat Islam, berkumpul dan berbaur bersama mereka. Para sahabat jelas
tidak tahu siapa saja orang-orang munafik yang berkumpul bersama mereka, namun
Nabi e mengetahui identitas mereka satu persatu.
Lalu kenapa Rasul e tidak memerintahkan para
sahabat beliau untuk memerangi orang-orang munafik itu, padahal beliau
mengetahui identitas masing-masing dari mereka. Ketika ditanya mengenai hal
ini, Rasul e menjawab: “Aku tidak ingin orang-orang berkata bahwa Muhammad itu
mengajak kaum untuk berperang, tapi setelah dia menang, dia malah memerangi
orang-orang yang telah membantunya itu.” (Subulul-Hudâ war-Rasyâd, 5/467).
Dalam riwayat lain Rasul e menjawab: “Aku tidak ingin ada orang mengatakan
bahwa Muhammad telah memerangi para sahabatnya sendiri.” (Al-Bidâyah wan
Nihâyah, 5/25).
Jika Sunah ini kita kontekskan pada situasi
kita pada saat ini, maka alasan kita tidak memerangi umat Islam yang memiliki
faham berbeda dengan Ahlusunah wal Jamaah, dan karena itu mereka tergolong
aliran sesat, adalah karena mereka masih tergolong Muslim sekaligus hidup di
dalam lingkungan kita, umat Islam. Sehingga jika kita bertindak gegabah dengan
cara memerangi mereka, merusak properti dan menimpakan kerugian fisik dan
materi kepada mereka, maka setidaknya yang akan kita tuai adalah salah satu
atau akumulasi dari hal-hal berikut:
Pertama, umat Islam Ahlusunah wal Jamaah
Indonesia dinilai oleh dunia sebagai kelompok separatis, tidak toleran, dan
memerangi teman-teman mereka sendiri sesama Muslim. Ini adalah kesan yang
sangat merugikan bagi kita.
Kedua, akan ada simpati yang luar biasa
mengalir deras kepada aliran sesat yang kita serang, dan itu bisa sangat memperkuat
mereka secara mental, materi, sekaligus pengikut. Karena bisa jadi
saudara-saudara Ahlusunah kita yang masih memiliki ikatan pertemanan atau
persaudaraan dengan pengikut aliran sesat yang kit serang itu lantas bersimpati
dan ikut masuk kedalamnya.
Ketiga, akan menumbuhkan perseteruan yang
berkepanjangan dari generasi ke generasi. Boleh jadi saat ini, ketika kita
berseteru dengan penganut aliran sesat bisa menyudahi perseteruan beberapa
waktu. Akan tetapi kelak, generasi berikutnya mungkin tidak akan mudah
menyudahi perseteruan serupa jika sudah terlanjur meletus, karena sejak kecil
mereka telah mendapati peristiwa ini menyatu dengan riwayat hidup mereka. Dalam
bawah sadar mereka telah terekam dengan kuat bahwa dia adalah musuh saya dan
ayah saya pernah diserang oleh ayahnya. Akibat dari permusuhan seperti ini
sungguh sangat mengerikan.
Maka, yang hendaknya kita lakukan adalah
berdakwah secara elegan. Yaitu dengan mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh
para ulama salaf saleh dan khalaf saleh. Semisal para imam mazhab yang empat,
sekalipun di era mereka banyak aliran sesat, seperti Syiah dan Muktazilah,
mereka tidak pernah terlibat peperangan dengan aliran-aliran sesat itu. Yang
mereka lakukan ialah mendidik umat dan terus menyeru pada kebenaran. Gambaran
dakwah kultural Wali Songo yang sangat “ramah lingkungan” itu barangkali juga
penting untuk kita adaptasi untuk menghadapi persoalan kita hari ini. Wallâhu
a‘lam bish-shawâb.
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar