Kiai Ali Maksum dan Dinamisasi Teks-teks
Klasik
Ketika bersantai bersama teman-teman guru
dalam suatu obrolan seputar peran ulama, salah seorang dari mereka menyodorkan
buku berjudul “Seratus Tokoh Islam Indonesia yang Paling Berpengaruh”.
Penulisnya menempatkan KH Hasyim Asy’ari para posisi pertama, disusul kemudian
berturut-turut tokoh pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dan proklamator
kemerdekaan Ir Soekarno. Yang menarik ketika membuka daftar isi buku itu adalah
tercantumnya nama Kiai Haji Ali Maksum pengasuh pondok pesantren Krapyak
Jogjakarta.
Beliau adalah menantu KH Muhammad Moenawwir ,
pendiri pondok tersebut, seorang ulama Al-Qur’an yang memiliki reputasi hebat,
yang mana dari tangan beliau lahir ulama’-ulama’ sekaliber KH Arwani Amin
Kudus, KH Muntaha.
Sebagai salah satu lulusan krapyak tentunya
secara pribadi bangga mana kala pengasuhnya “dianggap” sebagai sosok yang
memiliki pengaruh. Tidak main-main pengaruh itu dalam skala nasional. Namun
sesaat kemudian terlintas pikiran “nakal” yaitu pertanyaan” apakah betul bahwa
kiai Ali Maksum ini benar-benar termasuk tokoh yang berpengaruh di
Indonesia?
Apakah penulis buku ini benar-benar telah
melakukan penilitian serius untuk sampai pada kesimpulan bahwa tokoh Kiai
Krapyak ini layak menjadi salah satu dari seratus orang yang berpengaruh!! Apa
parameter yang dipakai penulis itu dan apa pula bidang yang telah dipengaruhi
oleh kiai Ali ini, sehingga pembaca haqqul yakin bahwa Kiai Ali Maksum ini
layak mendapat tempat sebagai tokoh paling berpengaruh.
KH Ali Maksum adalah generasi kedua selevel
dengan KH Wahid Hasyim. Beliau seorang putra dari ulama utara jawa tepatnya kota
lasem Rembang jawa tengah yaitu KH Maksum. KH Maksum sendiri juga tercatat
sebagai pendiri NU bersama para kiai Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah dan
lainnya.
KH Ali beberapa tahun mondok di pesantren
termas pacitan setelah sebelumnya belajar pada ayahnya sendiri. Studi beliau
berlanjut ke makkah belajar dibawa asuhan ayah ataupun kakek sayyid Muahammad
Al-Maliki. Menurut riwayat, Kiai Ali Maksum belajar dimakkah kurang
lebih 2 tahun saja.
Selama menjadi pengasuh di Pesantren Krapyak,
Kiai Ali juga dipercaya mengajar di IAIN Sunan Kalijaga. Beliau pernah
dipercaya menjadi team Lajnah Pentafsir Al-Qur’an. Adapun karir oraganisasi
kiai Ali adalah menjabat Rais Aam NU periode 80an setelah Rais Aam KH Bisri
Sansuri Jombang wafat. Pengukuhan kepemimpinan Kiai Ali ini ketika
generasi pendiri NU wafat, padahal pada saat itu tokoh-tokoh NU yang
kharismatik( bahkan) secara usia lebih senior dari beliau masih banyak,
misalnya KH As’ad Samsul Arifin situbondo, dan KH Ali Mahrus Kediri.
Kiai Ali Maksum tidak diragukan tingkat
keilmuannya. Beliau termasuk jenis ulama’ yang berangkat tidak dari bangku
sekolah formal layaknya ulama’ sekarang. Justru intelektualitasnya beliau
bangun dari pesantren.
Kiai Ali sudah kesohor sebagai calon ulama’
handal ketika belajar di Pesantren Termas. Saat itu beliau sudah mendapatkan
julukan “Munjid” berjalan, kamus arab karangan non muslim. Beliau juga sedikit
berbeda dari ulama’ kebanyakan. Beliau sangat gandrung terhadap logika dan ilmu
mantiq. Diantara karya penting yang menjadi petunjuk bahwa kedepan beliau
merupakan tokoh penting dan berpengaruh adalah bukunya yang berjudul “Mizanul
Uqul fi Ilmil Mantiq” pertimbangan akal dalam ilmu mantiq. Hal inilah tidak
mengherankan bila mana santrinya diajak membaca sebanyak-banyaknya kitab apapun
dari madzhab apapun, seperti yang pernah dituturkan oleh KH Masdar Farid.
Seorang peneliti Belanda Martin van Bruenesen mengklasifikasikan Kiai Ali
sebagai kiai alim, sedangkan Kiai As’ad sebagai kiai
kanuragan.
Dalam salah satu tulisan Gus Dur yang
berjudul “Baik Belum Tentu Manfaat”, beliau menceritakan satu saat bertanya
kepada Kiai Ali Maksum tentang belajar di pesantren sembari melakukan “puasa
ngrowot” , yaitu puasa meninggalkan makan nasi dan lauk bernyawa semisal ikan,
telur, digantikan sekedar makan ketela dan sejenis umbi-umbi lainnya selama
belajar. Gus Dur menyatakan bahwa makanan itu tentunya jauh dari gizi yang
diperlukan bagi pertumbuhan dan berakibat lemahnya kemampuan santri selama
mondok, namun mengapa dalam salah satu karya imam Al-Ghazali “laku” tersebut
justru direkomendasinya selama proses belajar?
Kiai Ali menjawab bahwa “pendapat
(Al-Ghazali) itu baik tapi belum tentu manfaat”. Di sini oleh Gus Dur, Kiai Ali
dianggap mampu melakukan dinamisasi yang diperlukan terhadap teks-teks klasik.
Kiai Ali memahami kebaikan pendapat tersebut namun belum tentu manfaatnya
khususnya untuk masa sekarang.
Hal yang tak kalah penting yang mendorong
pentingnya posisi beliau dalam pentas nasional adalah momentum estafet
kepemimpinan NU pasca wafatnya kiai Bisri Sansuri. Saat itu NU dalam tarikan
yang sangat kuat antara NU politik dan NU kultural. Munculnya kelompok Cipete
dan kelompok Situbondo menunjukkan indikasi tarik-menarik kepentingan yang
sangat kuat saat itu. Bilamana dulu NU salah memilih pucuk pimpinan pengganti
Kiai Bisri mungkin saja wajah NU tidak seperti sekarang. Nama-nama seperti KH
Ahmad Siddiq, Gus Dur mungkin saja tidak muncul.
Yang menarik, suara-suara pembaharuan dari
generasi ketiga NU yang moderat seperti KH Mustofa Bisri, KH Masdar Farid, Gus
Dur adalah santri beliau sendiri. Begitu pula suara-suara ulama’sepuh saat itu
kompak tertuju pada kiai Ali bahwa beliaulah yang paling cocok mengawal
pembaharuan dalam tubuh NU.
Sekarang NU sudah dikenal oleh semua termasuk
masyarakat luar. Penelitian tentang NU semakin banyak. Pemerintah nyaman
menjalankan roda pemerintahannnya karena dukungan NU terhadap NKRI. Memang
semua itu sumbangsih terbesar adalah Gus dur KH Ahmad Siddiq. Namun beliau
berdua bekerja mengangkat harkat NU karena back up Kiai Ali Maksum.
Muktamar Krapyak 89 menjadi saksi betapa
kuatnya dukungan Kiai Ali pada duet kepemimpinan KH Ahmad Siddiq-Gus Dur dari
suara ketidakpuasan sebagian kiai terhadap sepak terjang Gus Dur selama ini.
Beliau yang mula-mula meredakan situasi internal NU. Beliau yang memberi
ruang gerak bagi pikiran-pikiran segar bagi kebaikan NU. Pendek kata kiai Ali
Maksum merupakan peletak dasar pikiran moderat NU yang sekarang ini
merupakan mainstream NU secara umum. []
Mohammad Yahya,
Alumnus Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak
Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar