Boediono Makin Mulia Jika Datang
Bambang Soesatyo
Anggota Timwas Century DPR RI
BELUM satu institusi pun bisa mempertanggungjawabkan atau menjelaskan sebab musabab gelembung dana talangan Bank Century. Dalam konteks itulah Tim Pengawas (Timwas) DPR untuk kasus Bank Century memanggil mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono, kini Wakil Presiden. Dia yang bersikukuh menolong Bank Century, maka dia pula yang mestinya wajib menjelaskan siapa saja penilkmat dana talangan itu.
Boediono sudah menegaskan kepada rakyat Indonesia bahwa keputusan BI dan Komite Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK) menyelamatkan Bank Century sebagai tindakan mulia. Kalau yakin benar dengan klaim kemuliaan tindakan itu, Boediono mestinya ksatria merespons panggilan Timwas DPR. Sekretaris Kabinet Dipo Alam pun mestinya mendorong Boediono bersikap ksatria, bukannya berperilaku layaknya preman jalanan mengajak anggota DPR berkelahi.
Dipo harus belajar memahami masalah. Inisiatif Timwas DPR memanggil Boediono masih dalam konteks mempertanyakan tatalaksana atau manajemen pemerintahan dan bank sentral. Dalam kasus ini, ada peran dan sinergi antara KSSK dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di satu sisi dan BI di sisi lain. Ketiga institusi ini menggunakan triliunan rupiah dana publik yang dikelola LPS. Dana itu raib. Dan, baik KSSK, LPS maupun BI, tak mau memikul tanggungjawab. Alih-alih bertanggungjawab, memberi penjelasan pun tak ada keberanian. Rakyat hanya disuguhi saling tuding di antara ketiga institusi itu.
Kalau kewajiban pertanggungjawaban ini dibiarkan menjadi misteri, manajemen pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono tercatat paling bobrok. Sebagai sekretaris kabinet, Dipo patut dinilai tidak kapabel karena tak mampu mendorong penyelesaian masalah ini. Kalau dia kapabel dan cerdas, dia harus berani memberi rekomendasi kepada presiden dan wakil presiden, karena berlarut-larutnya penyelesaian masalah ini akan mencoreng reputasi dan kredibilitas Kabinet Indonesia Bersatu-II. Sayang, Dipo tak punya niat baik karena dia justru menyarankan Boediono tidak memenuhi panggilan DPR.
Selain menjabat Gubernur BI saat peristiwa itu terjadi, Boediono juga menjabat anggota KSSK yang diketuai Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan saat itu. Sri Mulyani, Boediono dan Ketua Dewan Komisioner LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) Heru Budiargo, sudah menjalani pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketiganya menolak bertanggungjawab.
Sri Mulyani dan Boediono mengklaim hanya bertanggujawab atas FPJP (fasilitas pendanaan jangka pendek) Rp 632 miliar. Lalu, siapa yang bertanggungjawab atas sisa dana talangan enam triliun rupiah itu? Boediono langsung menunjuk LPS.
Dalam keterangan pers usai diperiksa penyidik KPK, jelang akhir November 2013, Boediono menuturkan, setelah Bank Century diambilalih LPS, mandatnya diserahkan kepada KSSK. Maka LPS menjadi pemilik sekaligus pengawas Bank Century. Karena itu, menurut Boediono, pertanyaan mengenai pembengkakan dana talangan dapat dikonfirmasi kepada LPS. "Perhitungan validasi yang digunakan untuk menyelamatkan bank ini setelah diambilalih oleh LPS, dan disitulah ada perubahan. Yang mengawal adalah LPS, jadi saya tidak menangani hal itu," ujarnya.
LPS langsung membantah Boediono. "LPS, berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004, harus melaksanakan mandat yang ditetapkan oleh KSSK maupun komite koordinasi. Tidak ada opsi lain dalam melaksanakan mandat itu karena diatur dalam undang undang," kata Heru budiargo usai menjalani pemeriksaan KPK, belum lama ini. Mandat KSSK berarti mandat dari Sri Mulyani dan Boediono. Logikanya, di dalam mandat yang diterima LPS itu, tercantum angka atau besaran dana talangan. Sebab, tidak mungkin LPS berani menghambur-hamburkan dana tanpa mandat KSSK.
Bertolakbelakang
Kalau semua pihak terkait menolak bertanggungjawab atas gelembung dana talangan itu, bukankah sudah cukup alasan bagi DPR cq Timwas kasus Bank Century memanggil Boediono? Akan tercatat dalam sejarah sebagai dosa politik yang besar jika DPR tidak merespons langsung persoalan ini. Jangan lupa bahwa pertanggungjawaban kasus ini memasuki dimensi baru karena penjelasan pers Boediono cenderung mengaburkan masalah. Apalagi, tudingan Boediono pun sudah dibantah langsung oleh LPS.
Benar bahwa proses hukum kasus Bank Century sedang berjalan dibawah kendali KPK. Namun, tidak berarti Timwas DPR harus pasif dan menunggu. Proses hukum itu tidak boleh dijadikan alasan untuk melarang DPR melaksanakan fungsi pengawasan yang melekat padanya.
Pemanggilan Boediono kali ini pun jangan semata-mata dilihat sebagai proses politik. Menjadi kewajiban DPR untuk mengetahui apa yang sesungguhnya sudah terjadi, sehingga tak satu pun institusi terkait siap mempertanggungjawabkan penggunaan dana trliunan rupiah yang dikelola LPS itu. DPR ingin bertanya, dan karena itu pemanggilan Boediono amat jelas relevansinya, mengingat saat itu dia menjabat gubernur BI merangkap anggota KSSK. Lebih dari itu, sejumlah dokumen resmi memperlihatkan bahwa Boediono pula yang sangat berkepentingan menyelamatkan Bank Century.
Selasa (10/12), DPR sudah memanggil Boediono. Landasan hukumnya jelas; UU No. 27/2009 yang menetapkan bahwa DPR memiliki tugas dan kewenangan meminta pejabat negara, pemerintah, badan hukum maupun masyarakat untuk dimintai keterangannya demi kepentingan bangsa dan negara. Dan, setiap pejabat negara, badan hukum dan masyarakat wajib memenuhi panggilan DPR.
Seperti apa pun reaksi kantor Wapres, kesediaan Boediono memenuhi Undangan Timwas DPR sangat diharapkan. Pemanggilan itu ibarat perahu layar yang sudah terlanjur berada ditengah laut dengan layar terkembang. Artinya, saat ini, pemanggilan itu sudah masuk mekanisme pemanggilan resmi oleh DPR sebagai lembaga tingggi negara. Sebuah inisiatif yang tidak serta merta dapat dibatalkan.
Lebih dari itu, kesediaan Boediono sangat penting untuk beberapa alasan berikut ini. Pertama, dia wajib menjelaskan dengan rinci mengapa keterangannya terdahulu kepada Panitia Khusus DPR bertolak belakang dengan keterangan yang disampaikannya kepada pers usai menjalani pemeriksaan KPK di Istana Wapres, belum lama ini. Utamanya soal mekanisme penyelamatan Bank Century; bailout atau pengambilalihan. Mana yang benar? Ini soal kejujuran seorang pemimpin yang harus dijelaskan secara politik di DPR. Bukan soal hukum yang menjadi ranah KPK.
Kedua, mengapa baru sekarang Boediono menuding LPS – institusi yang bertanggungjawab kepada Presiden -- sebagai pihak yg paling bertanggung jawab atas membengkaknya dana penyelamatan Bank Century, dari Rp. 632 miliar menjadi Rp.6,7 triliun? Apakah Itu berarti Boediono tidak ingin disalahkan atau dikorbankan sendiri? Lagi-lagi, ini soal persepsi yang harus dijelaskan secara politik dan terbuka di DPR.
Mengapa Boediono tiba-tiba ingin menarik Presiden dalam pusaran kasus Bank Century? Sebab, dalam pembahasan formal di Pansus DPR, tidak disinggung sama sekali adanya keterkaitan atau peran Presiden dalam kasus ini.
Ada beberapa dimensi persoalan dalam kasus ini. Dimensi persoalan yang sedang ditangani KPK dari aspek hukum adalah dugaan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang, serta dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pemberian FPJP dan bailout, setelah Bank Century dinyatakan sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Pada akhirnya, penjelasan Boediono yang bertolakbelakang itu menjadi persoalan baru yang harus dijelaskan dalam ranah politik yang terbuka bagi publik. Termasuk tudingan kepada LPS sebagai pihak yang paling bertanggungjawab. Penjelasan di ranah politik itu harus diterima sebagai sebuah konsekuensi logis. Sebab, ranah hukum adalah ranah tertutup bagi kepentingan penyidikan yang terpaut pada bukti-bukti materil.
Perlu ditegaskan bahwa pemanggilan Boediono bukanlah keinginan orang perorang. Pemanggilan itu merupakan keputusan rapat DPR, sesuai tata tertib, peraturan dan UU No.27/2009. []
Bambang Soesatyo
Anggota Timwas Century DPR RI
BELUM satu institusi pun bisa mempertanggungjawabkan atau menjelaskan sebab musabab gelembung dana talangan Bank Century. Dalam konteks itulah Tim Pengawas (Timwas) DPR untuk kasus Bank Century memanggil mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono, kini Wakil Presiden. Dia yang bersikukuh menolong Bank Century, maka dia pula yang mestinya wajib menjelaskan siapa saja penilkmat dana talangan itu.
Boediono sudah menegaskan kepada rakyat Indonesia bahwa keputusan BI dan Komite Stabilisasi Sistem Keuangan (KSSK) menyelamatkan Bank Century sebagai tindakan mulia. Kalau yakin benar dengan klaim kemuliaan tindakan itu, Boediono mestinya ksatria merespons panggilan Timwas DPR. Sekretaris Kabinet Dipo Alam pun mestinya mendorong Boediono bersikap ksatria, bukannya berperilaku layaknya preman jalanan mengajak anggota DPR berkelahi.
Dipo harus belajar memahami masalah. Inisiatif Timwas DPR memanggil Boediono masih dalam konteks mempertanyakan tatalaksana atau manajemen pemerintahan dan bank sentral. Dalam kasus ini, ada peran dan sinergi antara KSSK dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di satu sisi dan BI di sisi lain. Ketiga institusi ini menggunakan triliunan rupiah dana publik yang dikelola LPS. Dana itu raib. Dan, baik KSSK, LPS maupun BI, tak mau memikul tanggungjawab. Alih-alih bertanggungjawab, memberi penjelasan pun tak ada keberanian. Rakyat hanya disuguhi saling tuding di antara ketiga institusi itu.
Kalau kewajiban pertanggungjawaban ini dibiarkan menjadi misteri, manajemen pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono tercatat paling bobrok. Sebagai sekretaris kabinet, Dipo patut dinilai tidak kapabel karena tak mampu mendorong penyelesaian masalah ini. Kalau dia kapabel dan cerdas, dia harus berani memberi rekomendasi kepada presiden dan wakil presiden, karena berlarut-larutnya penyelesaian masalah ini akan mencoreng reputasi dan kredibilitas Kabinet Indonesia Bersatu-II. Sayang, Dipo tak punya niat baik karena dia justru menyarankan Boediono tidak memenuhi panggilan DPR.
Selain menjabat Gubernur BI saat peristiwa itu terjadi, Boediono juga menjabat anggota KSSK yang diketuai Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan saat itu. Sri Mulyani, Boediono dan Ketua Dewan Komisioner LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) Heru Budiargo, sudah menjalani pemeriksaan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketiganya menolak bertanggungjawab.
Sri Mulyani dan Boediono mengklaim hanya bertanggujawab atas FPJP (fasilitas pendanaan jangka pendek) Rp 632 miliar. Lalu, siapa yang bertanggungjawab atas sisa dana talangan enam triliun rupiah itu? Boediono langsung menunjuk LPS.
Dalam keterangan pers usai diperiksa penyidik KPK, jelang akhir November 2013, Boediono menuturkan, setelah Bank Century diambilalih LPS, mandatnya diserahkan kepada KSSK. Maka LPS menjadi pemilik sekaligus pengawas Bank Century. Karena itu, menurut Boediono, pertanyaan mengenai pembengkakan dana talangan dapat dikonfirmasi kepada LPS. "Perhitungan validasi yang digunakan untuk menyelamatkan bank ini setelah diambilalih oleh LPS, dan disitulah ada perubahan. Yang mengawal adalah LPS, jadi saya tidak menangani hal itu," ujarnya.
LPS langsung membantah Boediono. "LPS, berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004, harus melaksanakan mandat yang ditetapkan oleh KSSK maupun komite koordinasi. Tidak ada opsi lain dalam melaksanakan mandat itu karena diatur dalam undang undang," kata Heru budiargo usai menjalani pemeriksaan KPK, belum lama ini. Mandat KSSK berarti mandat dari Sri Mulyani dan Boediono. Logikanya, di dalam mandat yang diterima LPS itu, tercantum angka atau besaran dana talangan. Sebab, tidak mungkin LPS berani menghambur-hamburkan dana tanpa mandat KSSK.
Bertolakbelakang
Kalau semua pihak terkait menolak bertanggungjawab atas gelembung dana talangan itu, bukankah sudah cukup alasan bagi DPR cq Timwas kasus Bank Century memanggil Boediono? Akan tercatat dalam sejarah sebagai dosa politik yang besar jika DPR tidak merespons langsung persoalan ini. Jangan lupa bahwa pertanggungjawaban kasus ini memasuki dimensi baru karena penjelasan pers Boediono cenderung mengaburkan masalah. Apalagi, tudingan Boediono pun sudah dibantah langsung oleh LPS.
Benar bahwa proses hukum kasus Bank Century sedang berjalan dibawah kendali KPK. Namun, tidak berarti Timwas DPR harus pasif dan menunggu. Proses hukum itu tidak boleh dijadikan alasan untuk melarang DPR melaksanakan fungsi pengawasan yang melekat padanya.
Pemanggilan Boediono kali ini pun jangan semata-mata dilihat sebagai proses politik. Menjadi kewajiban DPR untuk mengetahui apa yang sesungguhnya sudah terjadi, sehingga tak satu pun institusi terkait siap mempertanggungjawabkan penggunaan dana trliunan rupiah yang dikelola LPS itu. DPR ingin bertanya, dan karena itu pemanggilan Boediono amat jelas relevansinya, mengingat saat itu dia menjabat gubernur BI merangkap anggota KSSK. Lebih dari itu, sejumlah dokumen resmi memperlihatkan bahwa Boediono pula yang sangat berkepentingan menyelamatkan Bank Century.
Selasa (10/12), DPR sudah memanggil Boediono. Landasan hukumnya jelas; UU No. 27/2009 yang menetapkan bahwa DPR memiliki tugas dan kewenangan meminta pejabat negara, pemerintah, badan hukum maupun masyarakat untuk dimintai keterangannya demi kepentingan bangsa dan negara. Dan, setiap pejabat negara, badan hukum dan masyarakat wajib memenuhi panggilan DPR.
Seperti apa pun reaksi kantor Wapres, kesediaan Boediono memenuhi Undangan Timwas DPR sangat diharapkan. Pemanggilan itu ibarat perahu layar yang sudah terlanjur berada ditengah laut dengan layar terkembang. Artinya, saat ini, pemanggilan itu sudah masuk mekanisme pemanggilan resmi oleh DPR sebagai lembaga tingggi negara. Sebuah inisiatif yang tidak serta merta dapat dibatalkan.
Lebih dari itu, kesediaan Boediono sangat penting untuk beberapa alasan berikut ini. Pertama, dia wajib menjelaskan dengan rinci mengapa keterangannya terdahulu kepada Panitia Khusus DPR bertolak belakang dengan keterangan yang disampaikannya kepada pers usai menjalani pemeriksaan KPK di Istana Wapres, belum lama ini. Utamanya soal mekanisme penyelamatan Bank Century; bailout atau pengambilalihan. Mana yang benar? Ini soal kejujuran seorang pemimpin yang harus dijelaskan secara politik di DPR. Bukan soal hukum yang menjadi ranah KPK.
Kedua, mengapa baru sekarang Boediono menuding LPS – institusi yang bertanggungjawab kepada Presiden -- sebagai pihak yg paling bertanggung jawab atas membengkaknya dana penyelamatan Bank Century, dari Rp. 632 miliar menjadi Rp.6,7 triliun? Apakah Itu berarti Boediono tidak ingin disalahkan atau dikorbankan sendiri? Lagi-lagi, ini soal persepsi yang harus dijelaskan secara politik dan terbuka di DPR.
Mengapa Boediono tiba-tiba ingin menarik Presiden dalam pusaran kasus Bank Century? Sebab, dalam pembahasan formal di Pansus DPR, tidak disinggung sama sekali adanya keterkaitan atau peran Presiden dalam kasus ini.
Ada beberapa dimensi persoalan dalam kasus ini. Dimensi persoalan yang sedang ditangani KPK dari aspek hukum adalah dugaan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang, serta dugaan tindak pidana korupsi dalam proses pemberian FPJP dan bailout, setelah Bank Century dinyatakan sebagai bank gagal berdampak sistemik.
Pada akhirnya, penjelasan Boediono yang bertolakbelakang itu menjadi persoalan baru yang harus dijelaskan dalam ranah politik yang terbuka bagi publik. Termasuk tudingan kepada LPS sebagai pihak yang paling bertanggungjawab. Penjelasan di ranah politik itu harus diterima sebagai sebuah konsekuensi logis. Sebab, ranah hukum adalah ranah tertutup bagi kepentingan penyidikan yang terpaut pada bukti-bukti materil.
Perlu ditegaskan bahwa pemanggilan Boediono bukanlah keinginan orang perorang. Pemanggilan itu merupakan keputusan rapat DPR, sesuai tata tertib, peraturan dan UU No.27/2009. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar