Laku Suluk Gus Dur
Judul Buku : Suluk Gus Dur; Bilik-Bilik Spiritual Sang Guru Bangsa
Penulis
: Nur Khalik Ridwan
Editor
: Aziz Safa
Penerbit
: Ar-Ruzz Media Jogjakarta
Cetakan
I : 2013
Tebal
Buku : 275 halaman
Peresensi
: Muhamad Rifai, tinggal di Temanggung
Identitasnya plural. Ada yang menyebutnya
sebagai politisi, kiai, budayawan, pelawak, penulis atau pemikir. Itulah Gus
Dur.
Hebatnya, dalam setiap gelar yang disematkan padanya, memiliki keunikan tersendiri. Sebagai politisi jujur. Sebagai kiai tidak disiplin pakai peci dan sarung. Sebagai budayawan sering berpolitik. Sebagai pelawak tak jarang marahnya keras. Sebagai penulis dan pemikir tidak pernah menuliskan sebuah karya utuh dengan satu tema.
Dari sini tak salah jika tidak sedikit kalangan menyebutnya sebagai orang tak setia, tak konsisten dalam jalurnya. Atau, jangan-jangan kita salah baca, sehingga kita tidak tahu sesungguhnya dilakukan dan dikehendaki Gus Dur selama hidupnya.
Nur Khalik melalui buku ini sebenarnya mencoba menjawab situasi problematis tersebut. Nur Khalik ingin menunjukkan bahwa Gus Dur bukanlah politisi, kiai, budayawan, pelawak, penulis, pemikir, melainkan sufi. Inilah buku mendalami sisi tasawuf, suluk Gus Dur menjadi pusat lakunya memancar dalam wujudnya sebagai politisi, kiai budayawan, pelawak, penulis, pemikir.
Suluk dalam Islam adalah jalan menuju Allah sumber kebenaran. Gus Dur menurut Nur Khalik dalam buku ini adalah seorang salik, pencari dan pencinta Allah. Apa buktinya Gus Dur melakukan suluk, padahal dirinya tidak terdaftar sebagai anggota tarekat?
Ada dua hal utama dijadikan Nur Khalik
menunjukan Gus Dur seorang salik meskipun dirinya tidak terdaftar anggota
tarekat tertentu. Dua hal tersebut adalah suluknya dalam hal urusan ibadah
personal, berhubungan dirinya dengan Allah dan ibadah sosial, menyebarkan
rahmat di dunia.
Pertama suluk Gus Dur berkaitan dengan dunia ukhrawi. Itu terlihat dari bagaimana Gus Dur disiplin melakukan wirid, dzikir atau amalan yang biasanya dilakukan kalangan tarekat, seperti dzikir taubat, shalawat, istighashah, ziarah. Gus Dur disiplin mengamalkan dzikir taubat, rutin mengamalkan amalan Al-Fatihah, rutin bershalawat atas Nabi Muhamad SAW.
Gus Dur juga aktivis kuburan. Gus Dur rutin berziarah di Tebuireng, Tambak Beras, makam Ki Ageng Mangir, makam Surya Memesa di Tasikmalaya, makam Kiai Mojo dan masih banyak lagi. Di luar negeri, selain berziarah ke makam Nabi Muhamad, Gus Dur bercerita sering menziarahi makam Syaikh Ali al-Humaidi dan Imam Ghazali.
Gus Dur melakoni ziarah ini dengan sungguh-sungguh. Gus Dur misalnya harus berjalan 3 kilometer, yaitu ke makam Syaikh Abdullah Qutbuddin di Candirejo, dekat puncak Dieng. Dengan kondisi kesehatan fisik yang tidak seperti mereka yang prima, Gus Dur menyempatkan untuk berjalan sejauh itu, yang tentunya tidak di dataran rendah. Dengan melihat ini saja, sudah bisa dibayangkan bahwa keseriusan dan kegigihan Gus Dur untuk berziarah. (153)
Laku suluk Gus Dur itu dikuatkan dasar ibadahnya melaksanakan ibadah syari’at dengan disiplin, seperti ibadah sholat lima waktu. Choirul Anam memberikan kesaksian bagaimana dirinya bersama Gus Dur dan Haji Masnuh berpergian jauh, Gus Dur memperhatikan dan menjalankan shalat, bahkan dalam perjalanan dan kondisi terjadi hujan deras. Ini menjelaskan bahwa dalam kondisi sulit secara manusiawi, di tengah dia sendiri sudah mengalami sakit yang dideritanya, shalat tetap dan harus dijalankan.
Kedua laku suluk Gus Dur di dunia dengan menyebarkan rahmat Allah untuk sesamanya, seperti membantu orang lain, sabar. Tentang laku suka membantu orang yang membutuhkan, Anita Hayatunnufus, salah satu anak Gus Dur, menuturkan, “Saya masih ingat dulu, Bapak itu kan sering kedatangan tamu. Mereka minta bantuan finansial, padahal mereka mampu. Dan kalau saya bilang sama Bapak, “Pak itu ada orang kayaknya mampu kok minta-minta?” jawaban Bapak, “ya biarin aja, itu urusan dia dengan Gusti Allah. Tugas Bapak cuma bantu. Kalaupun dia bohong, ya syukurlah, berarti dia nggak perlu nipu orang lain”.
Gus Dur adalah orang yang sabar dalam menghadapi segala kesulitan dan cacian. Seperti cacian Riziq Syihab kepada Gus Dur yang menyebutnya sebagai “buta mata buta hatinya”.
Menyangkut sabar jenis ini, Gus Dur tidak membalas dengan kekerasan, meskipun itu bisa dilakukan dengan memerintahkan para pengikutnya. Gus Dur malah tersenyum dan mengkampanyekan arti pentingnya dialog, musyawarah, menempuh jalur hukum, dan saling menghargai sebagai akhlak utama seorang Muslim, sebagaimana dicontohkan nabi Muhamad. (174-5)
Gus Dur sebagai seorang salik yang dikemukakan Nur Khalik dalam buku ini dengan berbagai bentuk perilaku, pemikiran dan ibadah ukhrawinya, tidaklah memaksakan khalayak untuk mempercayai bahwa Gus Dur melakukan suluk selama hidupnya. Karena masalah tersebut sulit diukur dengan panca indera, nalar. Masalah suluk hanya bisa dialami, dilakoni, dipercayai.
Persoalannya kemudian apa yang membedakan buku ini dengan buku lainnya yang temanya sejenis, yaitu ke-suluk-an Gus Dur? Mungkin hal itu bisa dijawab dengan latar biografis penulisnya, Nur Khalik Ridwan, bukanlah kiai, hanya santri kultural, beda dengan penulis buku dengan tema sejenis, yang merupakan tokoh spiritual, kiai ataupun rohaniawan. Kemudian Nur Khalik adalah seorang aktivis, pemikir, penulis buku, yang kebanyakan temanya mengenai perjuangan kemanusiaan, keberpihakan pada rakyat kecil, dus, dunia spiritualnya sejauh mana kita tidak mengetahui, walaupun dirinya lulusan Fakultas Syari’at IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jadi adalah tidak relevan pertanyaan apakah Nur Khalik Ridwan representatif menulis tema ke-suluk-an Gus Dur hanya berdasar cinta dan hormatnya pada sosok Gus Dur, terlepas Nur Khalik itu aktivis, penulis, atau bahkan petani, pedagang, penangkar burung.
Terlepas dari itu semua, dari sinilah buku ini memiliki perspektif sendiri dalam memahami sosok Gus Dur, yang tidak terombang-ambing dalam batasan akademis mengenai ketokohannya, entah itu sebagai politisi, budayawan, penulis-pemikir, kiai. Buku ini menunjukan Gus Dur adalah sosok salik, dimana seorang yang melakukan suluk dalam kehidupan dunia bisa menjadi apa saja, entah itu petani, penangkar burung, politisi, budayawan, pemikir, kiai, intinya ia melakukan semua urusan di dunia hanyalah bergantung dan berharap cinta Allah. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar