Dasar Teori Tentang Majnun
Oleh: Emha
Ainun Nadjib
Memang
bukan Saridin namanya kalau tidak gila. Dan bukan gilanya Saridin kalau
definisinya sama dengan definisi Anda tentang gila. Wong sama saya saja Saridin
sering bertengkar soal mana yang gila dan mana yang tidak kok. Padahal saya
juga agak gila. Apalagi sama Anda. Anda kan jelas-jelas waras.
Misalnya di jaman Demak bagian akhir-akhir itu saya menyatakan
bersyukur bahwa dakwah para Wali semakin produktif. Sunan Ampel yang berfungsi
sebagai semacam Ketua MPR, Sunan Kudus sebagai Menko Kesra, Sunan Bonang
sebagai Pangab, atau Sunan Kalijaga sebagai Mendikbud, benar-benar menjalankan
suatu manajemen sejarah dan strategi sosialisasi nilai dengan metoda-metoda
yang canggih dan efektif.
Bukan hanya komunitas-komunitas Islam semakin menyebar dan meluas,
tapi juga mutu kedalaman orang beribadah semakin menggembirakan. Tapi Saridin
menertawakan saya. Dan bagi saya sangat menyakitkan karena tertawanya dilambari
aji-aji kedigdayaan batin: begitu suara tertawanya lolos dari terowongan
tenggorokan Saridin, pepohonan bergetar-getar, burung-burung beterbangan
menjauh, awan-awan dan mega melarikan diri sehingga matahari gemetar tertinggal
sendirian di langit.
“Jangan sok kamu Din!” saya berteriak.
Saridin menghentikan tertawanya. Ia menjawab. “Bersyukur ya
bersyukur, tapi kalau saya, juga berprihatin.”
“Kenapa?” tanya saya.
“Diantara orang-orang yang beribadah kepada Tuhan itu banyak yang
majnun!”
“Gila?”
“Ya, Majnun itu artinya ya gila, Majnun!”
“Majnun gimana?”
“Pengertian kita tentang junun atau kegilaan kayaknya berbeda.
Bagi saya gitu itu gila, tapi bagi kamu tidak.”
“Gitu itu gimana yang kamu maksud?”
“Orang berdiri khusyuk dan bersedekap. Matanya konsentrasi ke
kiblat. Mulutnya mengucapkan hanya kepada-Mu aku menyembah, dan hanya kepada-Mu
aku memohon pertolongan….”, tiba-tiba tertawanya meledak lagi, sehingga tanah
yang saya pijak terguncang, padahal tidak demikian. “Orang itu tidak hanya
kepada Tuhan menyembah. Wong jelas tiap hari dia menyembah para priyayi, para
priyagung, para Tumenggung atau Adipati. Minta tolongnya juga kebanyakan tidak
kepada Tuhan. Ia lebih banyak tergantung pada atasannya dibanding kepada Tuhan.
Meskipun dia tidak menyatakan, tapi terbukti jelas dalam perilaku dia bahwa
yang nomor satu bagi hidupnya bukan Tuhan, melainkan penguasa-penguasa lokal
dalam hidupnya. Entah penguasa politik, atau penguasa ekonomi. Itu namanya
majnun. Tuhan kok dibohongi. Dan caranya membohongi Tuhan dengan kekhusyukan
lagi! Kalau otaknya sehat, hal begitu tidak terjadi. Hanya otak gila saja yang
memungkinkan hal itu terjadi….”
Saya melengos. “Ah, kamu ini terlalu idealis. Normal dong kalau
manusia punya kelemahan yang demikian. Mana ada manusia yang sempurna. Orang
kan boleh berproses. Orang berhak belajar secara bertahap. Pengabdiannya kepada
Tuhan diolah dari belum utuh menjadi utuh pada akhirnya. Konsistensi seseorang
atas kata-kata yang diucapkannya kan bertahap, tidak bisa langsung seratus
persen!”
Kesal betul saya.
Tiba-tiba tertawanya meletus lagi, sehingga saya terjengkang lima
depan kebelakang. “Lho, ini masalah simpel. Kalau bilang jagung ya jagung,
kalau kedelai ya kedelai. Kalau ya itu ya ya. Kalau tidak itu ya tidak. Gampang
saja kan? Kalau seorang Imam terlanjur mengungkapkan statemen kepada Tuhan
‘hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan’ —
maka ia harus bertanggung jawab atas kata kami disitu. Artinya, pertama, ia
terlanjur berjanji kepada Tuhan. Kedua, ia harus bertanggung jawab kolektif
atas seluruh persoalan jamaahnya. Tidak hanya imam dan takwanya, tapi juga
segala masalah kesehariannya, sampai soal nasi dan problem-problem sosialnya….”
Sekarang giliran saya yang tertawa. Saya mendatangi Saridin dan
berbisik di telinganya: “Din, jangan terlalu serius dong. Dialognya yang santai
saja!”
“Lho!”, Saridin terhenyak, “Justru karena ini untuk (buku) humor,
maka saya pilihkan tema-tema lawakan. Gimana sih Ente ini. Yang saya omongkan
ini kan orang-orang yang melawak kepada Tuhan. Orang-orang yang menyatakan
sesuatu tapi tidak sungguh-sungguh. Orang-orang yang ndagel di hadapan Tuhan,
karena mungkin dipikirnya Tuhan itu butuh dagelan dan disangkanya para Malaikat
bisa tertawa!”
Saya jadi agak takut-takut. “Din, Saridin, kamu jangan begitu ah.
Jangan omong yang enggak-enggak. Kalau sama Tuhan yang serius dong!”
“Justru saya sangat serius kepada Tuhan, sehingga saya ceritakan
mengenai orang-orang yang melawak dihadapan-Nya!”
“Orang beribadah kok melawak!” saya membantah lagi.
“Lho, gimana sih,” ia menjawab, “Orang tiap hari bersembahyang dan
mengajukan permintaan kepada Tuhan — ‘Ya Allah anugerahilah aku jalan yang
lurus!’ Dan Tuhan sudah selalu menganugerahkan apa yang orang minta. Orang itu
tidak pernah memakainya, tapi tiap hari ia memintanya lagi dan lagi kepada
Tuhan. Kalau saya jadi Tuhan, pasti kesel dong….”
“Husysy!!!” saya membentak.
“Husysy bagaimana!”
“Emangnya kamu Tuhan?”
“Siapa bilang saya Tuhan? Majnun kamu!”
“Emangnya Tuhan bisa kesel?”
“Maha Suci Allah dari kekesalan. Tapi apakah karena Tuhan mustahil
kesal maka menjadi alasan hamba-hamba-Nya untuk berbuat semaunya, untuk
mendustai Dia, untuk berbuat gila?”
“Wong gitu saja kok gila tho Din!”
“Lho! Orang sudah disuguhi kopi, tidak diminum, lha kok minta kopi
lagi, saya suguhi kopi lagi, lagi, lagi, lagi sampai meja penuh sesak oleh
gelas-gelas kopi, tapi lantas tidak diminum lagi, tapi dia minta lagi dan minta
lagi. Gila namanya kan?”
“Ah ya bukan gila. Itu paling-paling munafik namanya.”
“Ya gila dong. Majnun. Orang yang punya logika, tapi berlaku tidak
logis, itu penyakit junun namanya. Orang yang tak menggunakan pengertian
mengenai konteks, proporsi dan lokasi-lokasi persoalan, itu virus junun yang
menyebabkannya. Orang bilang keadilan sosial, tapi kerjanya tiap hari menata
ketimpangan, itu majnun. Orang bilang semua perjuangan ini untuk rakyat,
padahal prakteknya tidak — itu namanya virus junun, lebih parah dari HIV….”
Akhirnya saya kesal. Saya tinggalkan si Majnun ini! []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar