Pengabdian dan Penghargaan
Oleh: Mohamad Sobary*
(Bagaimana kalau orang tanpa
pengorbanan menerima dengan bangga penghargaan yang ditawarkan?)
Dosen sejarah sosial menjelaskan kepada para
mahasiswa bahwa sejarah bukan kisah kepahlawanan orang-orang besar, yaitu para
jenderal, atau para panglima, yang menang perang, yang kemudian menyusun
sejarahnya sendiri, sehingga makna sejarah ditentukan semata-mata oleh
orang-orang yang menang.
Sejarah juga bukan berarti panggung kemegahan
raja-raja, para pangeran, bala tentara, dan para pemimpin yang menggerakkan
peperangan.
Ini karena kalau begitu cara memandang
sejarah, maka para petani dan orang-orang biasa lainnya, yang sebenarnya juga
berhak mendapat sebutan sebagai aktor sejarah—yang gagah berani seperti para
jenderal—niscaya tidak akan pernah memiliki tempat di dalam sejarah, seperti
tampak jelas dalam orientasi sejarah yang bersifat Eropa sentris, atau kolonial
sentris.
Sebuah film koboi, The Magnificent Sevent,
bisa menjadi ilustrasi menarik. Di dalamnya ditampilkan “sejarah” perlawanan
petani—dibantu, atau dilindungi tujuh jagoan—melawan para perampok yang secara
permanen menjarah desa dan kehidupan mereka. Pada mulanya para petani yang
hidup sederhana, lugu, dan puas menerima apa yang mereka miliki itu tak berdaya
dan tak berani membela diri.
Berkat dorongan orang tertua, yang agaknya
juga pemimpin rohani di desa itu, para petani mencari perlindungan para jagoan
di kota, dan mereka pun berhasil membeli senjata-senjata yang terbukti sangat
berguna untuk mengusir para penjarah. Dipimpin tujuh jagoan tadi, para petani
bertempur. Bernard, dimainkan oleh Charles Bronson, yang dipanggil Bernardo, disukai
dan diidolakan anak-anak. Dalam pertempuran pun anak-anak mengikutinya.
Mereka bilang, ayah anak-anak itu bukan
pemberani seperti Bernardo. Kontan Bernard marah sekali. “Coba lihat, ayah-ayah
kalian bukan pengecut. Mereka juga pemberani seperti kami. Jangan sembarangan
bicara,” kata Bernard.
Tak diragukan, film ini mengesankan adanya
pandangan bahwa aktor sejarah hanya orang-orang terkemuka, seperti tujuh jagoan
itu, dan petani—ayah-ayah mereka—dianggap remeh. Tapi, sekali lagi, kesalahan
cara pandang itu dibetulkan oleh Bernard.
Kemudian dosen itu bertanya, “Kalau begitu
dengan apa kebesaran manusia ditentukan di dalam sejarah?”
“Dengan silsilahnya,” jawab seorang
mahasiswa.
“Tidak.”
“Dengan jabatannya,” jawab mahasiswa yang
lain.
“Tidak.”
“Dengan pangkatnya,” jawab mahasiswa yang
lain lagi.
“Tidak.”
Suasana ruang kuliah, yang diisi hanya oleh
12 mahasiswa semester empat jurusan sejarah itu, menjadi hiruk-pikuk oleh
perdebatan, dan sang dosen membiarkan mereka sedikit ribut untuk beberapa saat,
sampai akhirnya mereka tenang kembali. Tak lama sesudahnya salah seorang dari
mereka berbicara. “Dengan apa kalau begitu?” tanya mahasiswa tersebut.
“Dengan pengabdiannya, atau berdasarkan
jasa-jasanya,” jawab mahasiswa yang sejak tadi masih diam saja.
Sang dosen memberi tanda bahwa dia setuju
pada jawaban itu. “Semua mendengar baik-baik jawaban itu tadi?” tanyanya.
Layak Dihargai
Tujuh jagoan itu mengabdi kemanusiaan dengan
melindungi kelompok lemah, yang dijadikan “sapi perahan” oleh para
penjarah-rayah. Pengabdian, bisa juga disebut pengorbanan, yang mereka berikan
kepada para petani itu layak diberi penghargaan. Hanya sesudah melakukan
pengabdian dan pengorbanan yang nyata bagi kehidupan manusia seseorang layak
diberi penghargaan.
Orang yang mendapat penghargaan pasti merasa
senang. Tiap manusia memiliki watak dan sifat senang dihormati. Ada orang yang
selalu hormat kepada orang lain, semata karena dia berharap agar orang lain
juga menghormatinya. Sikapnya yang baik itu mengandung pamrih. Tapi tak
mengapa.
Ada juga orang yang bisa disebut penggemar
penghormatan, dan selalu mendambakan penghargaan. Belum tentu dia termasuk
kategori orang yang gila hormat. Dia hanya menjadi orang sangat bangga jika
hasratnya terpenuhi.
Dalam jejak hidupnya sudah banyak tanda bahwa
dia memang penggemar penghargaan tadi. Boleh jadi itu hanya sekadar untuk bisa
dibanggakan pada orang lain. Tapi bisa juga itu tanda bahwa yang bersangkutan
mengidap gejala tak sehat, untuk mengagungkan diri sendiri.
Kecenderungan seperti itu, di dalam pergaulan
yang tak sehat, yang penuh pamrih, penuh kepentingan, penuh sikap menjilat,
bisa semakin berkobar dan menjadi-jadi. Jika orang macam itu makin didorong dan
dipanas-panasi agar selalu berusaha memperoleh penghargaan demi penghargaan,
yang bersangkutan jelas akan menempuh cara apa pun agar penghargaan yang
dianggap membuatnya semakin besar itu bisa diraihnya.
Kalau dia memiliki jasa dalam pengabdian bagi
sesama manusia, yang menjamin hak-hak mereka, atau melindugi mereka dari
ancaman pihak lain, maka penghargaan itu ada alasannya untuk diterima. Tapi
bagaimana kalau orang tanpa pengorbanan, tanpa jasa, tapi menerima dengan
bangga penghargaan yang ditawarkan padanya?
Kita tahu penghargaan hanya diberikan kepada
mereka yang punya jasa, yang mengabdi, dan berkorban bagi sesama manusia. Di
luar itu kita tak berhak menerimanya.
Sumber: Sinar Harapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar