Lima Sendok Listrik untuk Bintuni
dan Sebatik
Senin, 23 Desember 2013
Bintuni minggu ini sudah akan
berbeda dengan Bintuni minggu lalu. Berbeda pula dengan Bintuni dua tahun
silam, saat saya masih menjabat Dirut PLN. Minggu ini Bintuni adalah Bintuni
yang berlistrik.
Bukan
lagi Bintuni yang gelap gulita, yang dari kegelapannya itu bisa melihat
gemerlap cahaya listrik LNG Tangguh di seberang laut sana.
Waktu itu
saya bersafari keliling Papua dan bermalam di beberapa kota seperti Sorong,
Manokwari, Kaimana, dan Bintuni. Kota Bintuni terletak di tepi pantai utara
Teluk Bintuni. Kota ini gelap gulita karena memang tidak berlistrik. Di
sepanjang jalan yang terdengar adalah bunyi bising genset-genset kecil milik
masing-masing toko atau rumah.
Padahal
kota ini adalah kota terbesar di kawasan Teluk Bintuni. Padahal kawasan ini
kaya akan minyak dan gas. Padahal di jarak 70 km dari Bintuni berdiri proyek
LNG Tangguh yang gasnya menerangi kota-kota besar di pantai timur Tiongkok.
Dari kota
Bintuni malam itu saya bisa melihat begitu terangnya gemerlap lampu di komplek
LNG Tangguh. Saya langsung berpikir bahwa ini tidak adil. Saya pun terpikir
untuk mengetuk hati Tangguh agar bisa mengalokasikan sedikit gasnya untuk
Bintuni.
Lima sendok
pun sudah cukup. Begitu istilah saya waktu itu. Untuk menggambarkan tidak
berartinya jumlah gas yang diperlukan Bintuni dibanding dengan jumlah gas yang
dijadikan LNG di Tangguh.
Kalau
saja permintaan “lima sendok gas” itu dikabulkan, saya bermaksud mengalirkannya
ke Bintuni melalui pipa kecil bawah laut melintasi Teluk Bintuni. Atau
menjadikannya listrik di dekat proyek LNG. Listriknya yang diseberangkan dengan
kabel listrik bawah laut. Kebetulan waktu itu PLN lagi menggalakkan pemasangan
kabel bawah laut di berbagai pulau.
Begitu
kembali ke Jakarta saya langsung menghubungi pimpinan tertinggi LNG Tangguh
yang berkantor di Jakarta. Saya kemukakan ide itu. Ternyata langsung disambut
dengan baik. Pimpinan LNG Tangguh langsung menyanggupi. Boleh dalam bentuk gas
maupun listrik. Toh memang ada sedikit kelebihan listrik di Tangguh.
Kami
langsung pilih dalam bentuk listrik saja. Tinggal bangun jaringan kabel bawah
laut sejauh 70 km. PLN sudah punya pengalaman membangunnya. Ketika proyek ini
akan dilaksanakan saya harus meninggalkan PLN. Tapi direksi PLN yang
menggantikan saya meneruskan proyek itu.
Dan
minggu ini proyek itu sudah jadi. Listrik sudah bisa mengalir ke Bintuni.
Saya
membayangkan alangkah senangnya Pemkab dan rakyat Bintuni. Dari gelap gulita
menjadi yang paling terang di kawasan itu. Semoga uji coba kabel yang sudah
selesai dipasang ini tidak banyak masalah. Agar listrik sudah bisa mengalir
minggu ini.
Agar
inilah Natal pertama dengan listrik. Agar inilah Old and New pertama dengan gembira.
Kelak,
bayangan saya, jaringan kabel ini bisa diteruskan ke arah Manokwari. Semoga
cita-cita ini juga bisa diteruskan oleh direksi PLN sekarang. Dengan demikian
kota-kota kecil yang dilewati jaringan dari Bintuni ke Manokwari ini bisa ikut
berlistrik.
Kabel
bawah laut yang juga dilanjutkan pembangunannya adalah kabel dari Sembakung di
daratan Kalimantan Utara menuju Pulau Nunukan dan terus ke Pulau Sebatik.
Sebelum tahun baru juga sudah selesai dipasang. Maka tidak perlu lagi genset di
Nunukan dan di Sebatik.
Bahkan
Pulau Sebatik yang separonya adalah wilayah Malaysia itu tidak perlu lagi
minder di mata negara tetangga. Saya minta justru kita harus menawarkan
kelebihan listrik di Sebatik nanti untuk melistriki Sebatiknya Malaysia.
Di
Sembakung itu memang sudah lama ditemukan sumber gas. Tapi kecil sekali. Hanya
2 mmbtud. Tidak bisa diapa-apakan. Tidak bisa juga dikirim ke mana-mana. Maka
ketika ide membawa listrik lewat kabel bawah laut itu saya kemukakan, pemilik
gasnya bersuka ria.
Sudah lama
perusahaan itu kesulitan menjual gas. Tidak ada yang mau beli. Tidak bisa
dimanfaatkan. Terlalu kecil dan terlalu jauh. Padahal biaya untuk menemukan dan
menggali gas itu sangat besar. Kini biaya itu bisa diharapkan kembali.
Pelan-pelan.
Kabar
baik juga datang dari Sumatera Utara. Bukan saja krisis listrik di wilayah itu
sudah berakhir, tapi tower-tower listrik menuju pembangkit listrik besar di
Pangkalan Susu juga bisa berdiri semua.
Inilah
salah satu proyek yang paling sulit untuk mengatasi krisis listrik di Sumut.
Begitu sulitnya mendirikan tiang-tiang listrik di sepanjang jalur itu.
Setidaknya
ada sembilan tower yang sulit berdiri karena selalu digergaji orang. Ada yang
sampai roboh. Ada yang harus dirobohkan karena bahaya.
Saya jadi
ingin ke Bintuni. Juga ke Nunukan. Juga ingin melihat sendiri tower-tower yang
berhasil berdiri di Pangkalan Susu itu.
Waktu di
PLN saya pernah canangkan motto “jangan mau jadi ban belakang”. Nanti cepat
gundul. Mengapa ban belakang cepat gundul? Secara bergurau saya mengemukakan,
ban belakang itu cepat gundul karena mikir terus bagaimana cara bisa mengejar
ban depan!
Intinya
PLN harus jadi ban depan! Jangan sampai kesibukan utamanya terus-menerus
memikirkan krisis listrik. Jadilah ban depan. Listrik harus terus ditambah.
Mengimbangi naiknya permintaan listrik dari masyarakat.
Jangan
telat menambah listrik di suatu daerah. Jangan sempat krisis lagi dan krisis
lagi. Jangan berhenti menambah listrik. Tiap hari, tiap daerah!
Dahlan
Iskan, Menteri BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar