Biasakan Diri dengan
Muhasabah
Oleh: Zainuddin Rusdy
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS: al-Hasyr [59]: 18)
Surat al-Hasyr di atas cukup untuk dijadikan
dalil terhadap pentingnya melakukan muhasabah setelah beramal. Imam Ibnu Kasir
dalam tafsirnya menjelaskan maksud ayat di atas, “Hisablah diri kalian semua
sebelum kalian dihisab. Lihatlah, amal baik apa yang kalian simpan untuk bekal
di hari kembali pada Tuhan kalian.” Muhasabah atau introspeksi diri oleh ulama
diartikan sebagai proses perenungan terhadap segala amal perbuatan yang telah
atau akan dilakukan. Sebab, jiwa manusia kerap dipenuhi dengan hal-hal yang
dapat membelokkan dirinya dari tujuan hidup yang sebenarnya. Sehingga
diperlukan adanya waktu tertentu yang digunakan untuk bermuhasabah terhadap apa
yang selama ini dikerjakan.
Imam Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulûmud-Dîn
menyamakan muhasabah diri dengan pedagang yang menghitung kerugian dan laba
yang dihasilkan dalam satu rentang waktu tertentu. Ketika keuntungan yang
didapat, ia mensyukuri dan berusaha meningkatkannya, pun juga ketika rugi yang
didapat ia akan mencari penyebab dan berusaha untuk tidak mengulanginya pada
masa yang akan datang. Mukmin yang berakal seharusnya melakukan hal yang sama
terhadap amal perbuatannya di dunia. Rasulullah bersabda, “Orang berakal adalah
yang mengekang hawa nafsunya dan beramal untuk bekal mati, orang lemah adalah
yang menuruti hawa nafsunya dan mengharap-harap kepada Allah.” (HR. Tirmidzi).
Pembagian Muhasabah
Ibnu Qayyim dalam kitab Ighâsatul-Lahfân
membagi muhasabah menjadi dua:
Pertama, muhasabah sebelum beramal. Yakni,
seorang hamba tidak segera mengerjakan sesuatu sebelum mempertimbangkan sebab
akibatnya. Hingga jelas baginya dampak positif dan negatif dari tindakan
tersebut. Imam Hasan berkata, “Allah merahmati hamba yang berpikir sebelum
bertindak. Apabila karena Allah dilanjutkan dan apabila karena yang lain
mengurungkannya.” Ibnu Qayyim melanjutkan setidaknya orang mukmin bertanya
kepada dirinya sebelum melangkah mengerjakan sesuatu, apa kebaikan yang akan
didapat dari perbuatannya? Apa keburukan yang akan didapat ketika tidak
mengerjakannya? Ketika semuanya sudah jelas hendaknya ia mengambil keputusan
yang terbaik.
Kedua, muhasabah setelah beramal. Bagian ini
dibagi menjadi tiga. Pertama muhasabah terhadap ketaatan yang sudah dikerjakan.
Apakah sudah sesuai dengan syariat atau belum. Kedua, muhasabah terhadap
pekerjaan yang telah ditinggalkan dan waktu yang disia-siakan. Ketiga,
muhasabah terhadap kebiasaan-kebiasaan mubah kenapa hal itu dikerjakan?
Tindakan terpenting setelah bermuhasabah
adalah adanya kesadaran dalam diri manusia terhadap kualitas amal perbuatannya.
Ketika dirinya menganggap telah banyak mengerjakan kebaikan, maka ia bersyukur
dan memohon semua amalnya diterima oleh Allah. Sebaliknya, ketika dirinya
menganggap telah banyak mengerjakan dosa dapat bersegera bertaubat dan
mengikrarkan dalam dirinya untuk mengerjakan kebaikan pada masa selanjutnya.
Faedah Muhasabah
Ibnu Qayyim menjelaskan setidaknya ada tiga
faedah dari muhasabah:
Pertama, mengetahui hak-hak Allah yang harus
dipenuhi. Dengan muhasabah kita menjadi sadar terhadap kelalaian yang dilakukan
dan kewajiban yang ditinggalkan, sehingga ada tekad dalam diri untuk
memperbaikinya. Kalaupun hak itu sudah terpenuhi, tetap ada hasrat untuk
meningkatkannya pada masa selanjutnya. Imam Atha’illah as-Sakandari berkata,
“Usahamu untuk mengenali berbagai kekurangan yang tersembunyi dalam dirimu
adalah lebih baik ketimbang usahamu mengetahui bermacam perkara gaib yang
terhalang darimu.”
Kedua, mengetahui aib diri. Ketika aib diri
sudah diketahui akan ada usaha untuk memperbaikinya. Hal ini sulit terlaksana
apabila tidak ada kesadaran terhadap kekurangan diri itu. Sayidina Umar bin
Khattab t pernah berkata, “Semoga Allah memberikan rahmat kepada seseorang yang
menunjukkan kepadaku aib-aibku.” Imam Atha’illah as-Sakandari dalam kalam
hikmahnya berkata, “Di antara tanda matinya hati adalah tidak adanya perasaan
sedih atas kesempatan beramal yang engkau lewatkan dan tidak adanya penyesalan
atas kesalahan yang engkau lakukan.”
Ketiga, terbukanya tipu daya setan pada
dirinya. Musuh abadi umat manusia adalah setan, sehingga berbagai cara
dilakukan untuk menggoda dan menipu umat manusia agar menjadi temannya di
neraka. Dengan muhasabah, kita sadar bahwa selama ini kita terperangkap dalam
jaring-jaring tipu dayanya.
Waktu Muhasabah
Tidak ada ketentuan waktu khusus untuk
bermuhasabah. Seorang mukmin lebih mengetahui terhadap kondisi dirinya
dibanding orang lain. Sehingga ia bisa bertindak kapan saja untuk bermuhasabah.
Tetapi ulama menganjurkan untuk bermuhasabah pada malam hari ketika hendak
tidur. Karena pada waktu tersebut yang paling pas untuk menghitung amal yang
dilakukan pada hari itu.
Imam Mawardi dalam kitab Adâbad-Dunyâ wad-Dîn
berkata, “Seorang mukmin hendaknya bermuhasabah pada malam hari terhadap
pekerjaan yang dikerjakan pada siang hari. Karena waktu malam lebih menenangkan
pikiran.” []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar