Selasa, 03 Desember 2013

(Ngaji of the Day) Polwan Cantik dengan Berjilbab



Polwan Cantik dengan Berjilbab
Oleh: Moh. Safrudin*

Dengan mempelajari asbab nuzul ayat-ayat tentang perintah jilbab dapat disimpulkan bahwa jilbab lebih bernuansa ketentuan budaya ketimbang ajaran agama.

Sebab, jika jilbab memang ditetapkan untuk perlindungan, atau lebih jauh lagi, untuk meningkatkan prestise kaum perempuan beriman, maka dengan demikian dapatlah dianggap bahwa jilbab merupakan sesuatu yang lebih bernuansa budaya daripada bersifat religi.

Apapun pilihan perempuan, harus dihargai dan dihormati sehingga terbangun kedamaian di masyarakat. Dalam realitas sosiologis di masyarakat jilbab tidak menyimbolkan apa-apa; dianggap menjadi lambang kesalehan dan ketakwaan. Tidak ada jaminan bahwa pemakai jilbab adalah perempuan salehah, sebaliknya perempuan yang tidak memakai jilbab bukan perempuan shalehah. Jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketakwaan seseorang. Sesungguhnya perbedaan para pakar hukum dalam memahami hukum jilbab adalah sangat manusiawi.

Perbedaan pendapat muncul karena perbedaan dalam memahami makna ayat dan pertimbangan-pertimbangan nalar mereka. Dari sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah jilbab dan batas aurat perempuan merupakan masalah khilafiyah yang tidak harus menimbulkan tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan.

Seiring dengan itu apakah Polri bakal menghormati kebebasan beragama dengan mengizinkan polwan memakai jilbab. Alhamdulillah sikap Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman membolehkan polwan boleh berjilbab karena itu adalah hak asasi manusia. Menurut ketentuan sebelumnya, anggota polwan dilarang menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan ketentuan tata busana seragam polwan; mereka yang ngotot menggunakan jilbab sebagai akibatnya bisa diberhentikan atau mengundurkan diri atau minta "pensiun" dini.

Ketentuan lama itu jelas bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin kebebasan setiap warga negara Indonesia beragama dan berkeyakinan. Negara juga menjamin kebebasan setiap warga negara beribadah sesuai dengan keyakinan keagamaannya. Dan, salah satu bentuk ibadah itu adalah pemakaian jilbab atau hijab bagi Muslimah.

Pelarangan pemakaian jilbab bagi anggota polwan yang ingin memakai jilbab jelas pula bertentangan dengan Pancasila, baik sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Adalah wajar jika ada kalangan polwan yang berpendapat pemakaian jilbab selaras belaka dengan kedua sila tersebut. Sebaliknya, pelarangan tersebut bisa mengakibatkan dampak negatif pada sila ketiga, Persatuan Indonesia.

Tak kurang pentingnya, pelarangan jilbab itu juga bertentangan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip ini dalam wacana kontemporer sering disebut sebagai 'multikulturalisme', yang sederhananya adalah 'politics of recognition', politik pengakuan terhadap keragaman, termasuk dalam hal agama.

Karena itu, jika Kapolri menghormati HAM Universal tentang freedom of conscience, kebebasan beragama, dan UUD 1945 serta Bhinneka Tunggal Ika, pelarangan pemakaian jilbab itu harus segera dicabut. Tidak sepatutnya Polri yang seharusnya menghormati dan menegakkan semua ketentuan dan prinsip tersebut justru memiliki ketentuan bertentangan.

Jika Kapolri mau becermin dari realitas, banyak negara yang menganut sekularisme, semacam Amerika Serikat, juga mengizinkan pemakaian jilbab bagi Muslimah. Begitu pula negara seperti Inggris, yang dengan prinsip multikulturalisme mengizinkan Muslimah yang bekerja sebagai polisi atau aparat pemerintah lainnya untuk memakai jilbab.

Kapolri juga tidak perlu jauh-jauh melihat kebijakan pemerintah negara-negara semacam ini. Orang dengan mudah bisa menemukan Muslimah berjilbab di Kedutaan Besar AS, Inggris, Jepang, dan banyak lagi. Saya pernah dikonsultasi seorang duta besar negara sahabat beberapa tahun lalu, yang kaget dan nervous ketika satu pagi menemukan sekretaris pribadinya memakai jilbab. Saya menenangkan sang dubes agar tidak usah nervous karena jilbab tidak ada hubungannya dengan radikalisme, fundamentalisme, atau domestifikasi terhadap kaum perempuan Muslimah. Jadi, biarkan saja yang bersangkutan memakainya.

Memang ada juga negara yang menganut religiously unfriendly secularism, sekularisme tidak bersahabat pada agama, semacam Prancis atau Turki yang melarang PNS perempuan memakai simbol-simbol agama, termasuk jilbab. Tetapi, pelarangan ini terus mendapat perlawanan, bukan hanya dari kaum Muslimin-Muslimat, tetapi juga dari pemikir, aktivis, dan LSM advokasi HAM dan kebebasan beragama.

Indonesia jelas tidak menganut sekularisme, meski juga tidak berdasar agama tertentu, khususnya Islam yang merupakan agama yang dipeluk mayoritas absolut penduduknya. Meski, di kalangan jumhur ulama--ulama arus utama--masih terdapat khilafiyah, perbedaan pendapat tentang apakah rambut perempuan itu 'aurat'. Banyak ulama memandang rambut sebagai aurat sehingga perlu ditutup, tapi banyak pula yang berpendapat rambut bukan aurat sehingga tak perlu ditutupi. Sebab itu, menjadi pilihan pribadi masing-masing Muslimah mengikuti salah satu pendapat jumhur ulama--memakai atau tidak memakai jilbab.

Bagaimanapun, pemakaian jilbab oleh Muslimah yang mengikuti pendapat pertama mestilah diapresiasi dan dihargai. Apalagi, jilbab yang mereka pakai adalah jilbab yang modest, sederhana, dan tidak berlebihan, yang mencerminkan sikap washatiyah seperti umumnya Muslimah dan Muslimin Indonesia.

Atas dasar sikap washatiyah itu pula, pemakaian burqa dan niqab, cadar penuh (full-veiled) di Indonesia tidaklah tepat. Lagi pula, cadar mengandung masalah "sekuriti" dan lebih merupakan budaya masyarakat Arab dibandingkan Indonesia. Sebab itu, perlu penyadaran bagi para segelintir pemakai burqa dan niqab di Indonesia tentang masalah-masalah pokok yang terkandung dalam penutup rambut dan muka seperti itu.

Namun, sekali lagi, jilbab atau hijab jelas tidak sama dengan burqa dan niqab. Karena itu, biarlah Muslimah yang ingin tampil dengan jilbab atau hijab sederhana dan bahkan fashionable untuk mengenakannya polwan akan lebih cantik dan anggun ketika berjilbab. Tidak perlu ada ketentuan pelarangan, seperti juga tidak perlu adanya ketentuan yang mewajibkan pemakaiannya. Biarlah masing-masing Muslimah mengikuti salah satu dari ijtihad ulama arus utama tadi dan juga kata hatinya. []

* Ketua Lembaga Rijalul Ansor Sultra, pengasuh acara Sinar RRI Kendari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar