Polwan Cantik dengan
Berjilbab
Oleh: Moh. Safrudin*
Dengan mempelajari asbab nuzul ayat-ayat
tentang perintah jilbab dapat disimpulkan bahwa jilbab lebih bernuansa
ketentuan budaya ketimbang ajaran agama.
Sebab, jika jilbab memang ditetapkan untuk
perlindungan, atau lebih jauh lagi, untuk meningkatkan prestise kaum perempuan
beriman, maka dengan demikian dapatlah dianggap bahwa jilbab merupakan sesuatu
yang lebih bernuansa budaya daripada bersifat religi.
Apapun pilihan perempuan, harus dihargai dan
dihormati sehingga terbangun kedamaian di masyarakat. Dalam realitas sosiologis
di masyarakat jilbab tidak menyimbolkan apa-apa; dianggap menjadi lambang
kesalehan dan ketakwaan. Tidak ada jaminan bahwa pemakai jilbab adalah
perempuan salehah, sebaliknya perempuan yang tidak memakai jilbab bukan
perempuan shalehah. Jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketakwaan
seseorang. Sesungguhnya perbedaan para pakar hukum dalam memahami hukum jilbab
adalah sangat manusiawi.
Perbedaan pendapat muncul karena perbedaan
dalam memahami makna ayat dan pertimbangan-pertimbangan nalar mereka. Dari
sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah jilbab dan batas aurat
perempuan merupakan masalah khilafiyah yang tidak harus menimbulkan tuduh
menuduh apalagi kafir mengkafirkan.
Seiring dengan itu apakah Polri bakal
menghormati kebebasan beragama dengan mengizinkan polwan memakai jilbab.
Alhamdulillah sikap Kapolri Jenderal (Pol) Sutarman membolehkan polwan boleh
berjilbab karena itu adalah hak asasi manusia. Menurut ketentuan sebelumnya,
anggota polwan dilarang menggunakan pakaian yang tidak sesuai dengan ketentuan
tata busana seragam polwan; mereka yang ngotot menggunakan jilbab sebagai
akibatnya bisa diberhentikan atau mengundurkan diri atau minta
"pensiun" dini.
Ketentuan lama itu jelas bertentangan dengan
UUD 1945 yang menjamin kebebasan setiap warga negara Indonesia beragama dan
berkeyakinan. Negara juga menjamin kebebasan setiap warga negara beribadah
sesuai dengan keyakinan keagamaannya. Dan, salah satu bentuk ibadah itu adalah
pemakaian jilbab atau hijab bagi Muslimah.
Pelarangan pemakaian jilbab bagi anggota
polwan yang ingin memakai jilbab jelas pula bertentangan dengan Pancasila, baik
sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab. Adalah wajar jika ada kalangan polwan yang berpendapat pemakaian
jilbab selaras belaka dengan kedua sila tersebut. Sebaliknya, pelarangan
tersebut bisa mengakibatkan dampak negatif pada sila ketiga, Persatuan
Indonesia.
Tak kurang pentingnya, pelarangan jilbab itu
juga bertentangan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Prinsip ini dalam wacana
kontemporer sering disebut sebagai 'multikulturalisme', yang sederhananya
adalah 'politics of recognition', politik pengakuan terhadap keragaman,
termasuk dalam hal agama.
Karena itu, jika Kapolri menghormati HAM
Universal tentang freedom of conscience, kebebasan beragama, dan UUD 1945 serta
Bhinneka Tunggal Ika, pelarangan pemakaian jilbab itu harus segera dicabut.
Tidak sepatutnya Polri yang seharusnya menghormati dan menegakkan semua
ketentuan dan prinsip tersebut justru memiliki ketentuan bertentangan.
Jika Kapolri mau becermin dari realitas,
banyak negara yang menganut sekularisme, semacam Amerika Serikat, juga
mengizinkan pemakaian jilbab bagi Muslimah. Begitu pula negara seperti Inggris,
yang dengan prinsip multikulturalisme mengizinkan Muslimah yang bekerja sebagai
polisi atau aparat pemerintah lainnya untuk memakai jilbab.
Kapolri juga tidak perlu jauh-jauh melihat
kebijakan pemerintah negara-negara semacam ini. Orang dengan mudah bisa
menemukan Muslimah berjilbab di Kedutaan Besar AS, Inggris, Jepang, dan banyak
lagi. Saya pernah dikonsultasi seorang duta besar negara sahabat beberapa tahun
lalu, yang kaget dan nervous ketika satu pagi menemukan sekretaris pribadinya
memakai jilbab. Saya menenangkan sang dubes agar tidak usah nervous karena
jilbab tidak ada hubungannya dengan radikalisme, fundamentalisme, atau
domestifikasi terhadap kaum perempuan Muslimah. Jadi, biarkan saja yang
bersangkutan memakainya.
Memang ada juga negara yang menganut
religiously unfriendly secularism, sekularisme tidak bersahabat pada agama,
semacam Prancis atau Turki yang melarang PNS perempuan memakai simbol-simbol
agama, termasuk jilbab. Tetapi, pelarangan ini terus mendapat perlawanan, bukan
hanya dari kaum Muslimin-Muslimat, tetapi juga dari pemikir, aktivis, dan LSM
advokasi HAM dan kebebasan beragama.
Indonesia jelas tidak menganut sekularisme,
meski juga tidak berdasar agama tertentu, khususnya Islam yang merupakan agama
yang dipeluk mayoritas absolut penduduknya. Meski, di kalangan jumhur
ulama--ulama arus utama--masih terdapat khilafiyah, perbedaan pendapat tentang
apakah rambut perempuan itu 'aurat'. Banyak ulama memandang rambut sebagai
aurat sehingga perlu ditutup, tapi banyak pula yang berpendapat rambut bukan
aurat sehingga tak perlu ditutupi. Sebab itu, menjadi pilihan pribadi
masing-masing Muslimah mengikuti salah satu pendapat jumhur ulama--memakai atau
tidak memakai jilbab.
Bagaimanapun, pemakaian jilbab oleh Muslimah
yang mengikuti pendapat pertama mestilah diapresiasi dan dihargai. Apalagi,
jilbab yang mereka pakai adalah jilbab yang modest, sederhana, dan tidak
berlebihan, yang mencerminkan sikap washatiyah seperti umumnya Muslimah dan
Muslimin Indonesia.
Atas dasar sikap washatiyah itu pula,
pemakaian burqa dan niqab, cadar penuh (full-veiled) di Indonesia tidaklah
tepat. Lagi pula, cadar mengandung masalah "sekuriti" dan lebih
merupakan budaya masyarakat Arab dibandingkan Indonesia. Sebab itu, perlu
penyadaran bagi para segelintir pemakai burqa dan niqab di Indonesia tentang
masalah-masalah pokok yang terkandung dalam penutup rambut dan muka seperti
itu.
Namun, sekali lagi, jilbab atau hijab jelas
tidak sama dengan burqa dan niqab. Karena itu, biarlah Muslimah yang ingin
tampil dengan jilbab atau hijab sederhana dan bahkan fashionable untuk
mengenakannya polwan akan lebih cantik dan anggun ketika berjilbab. Tidak perlu
ada ketentuan pelarangan, seperti juga tidak perlu adanya ketentuan yang
mewajibkan pemakaiannya. Biarlah masing-masing Muslimah mengikuti salah satu
dari ijtihad ulama arus utama tadi dan juga kata hatinya. []
* Ketua Lembaga Rijalul Ansor Sultra, pengasuh
acara Sinar RRI Kendari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar