Senin, 02 Desember 2013

(Ngaji of the Day) Pengamalan Hadis Dhaif


Pengamalan Hadis Dhaif

 

Amal ibadah secara lahir maupun batin haruslah didasarkan pada sumber-sumber keagamaan seperti Al-Quran, Sunah, Ijmak, Qiyas. Umat Islam setidaknya pengikut Ahlussunnah wal Jama‘ah yang besar itu sepakat dalam hal ini.


Sekali saja ibadah tidak didasarkan pada sumber-sumber itu, gempa bumi akan terjadi. Ini bisa dimaklum karena mereka tidak mau agama mereka rusak karenanya. Selain itu mereka ingin ibadah yang bersumber pada tuntunan agama itu diterima baik di sisi Allah.


Namun demikian umat Islam sering dihantui keraguan ketika mengamalkan ibadah berdasarkan hadis. Mereka takut mengamalkan ibadah yang didorong oleh hadis palsu. Pandangan ini benar. Karena, barang palsu entah itu emas, hadis, atau bisnis sekalipun, tetaplah palsu. Singkat kata, hadis palsu bukanlah hadis.


Lantaran kewaspadaannya ini masyarakat terjangkit rasa takut keterlaluan. Bahkan sebagian dari mereka mulai alergi terhadap hadis dhaif. Dhaif artinya lemah. Lemah ditinjau dari segi orang yang meriwayatkan hadis atau isi hadis itu sendiri.


Sikap alergi diiiringi dengan rasa cemas terhadap hadis dhaif semacam ini sudah keluar dari kewaspadaan yang dianjurkan agama. Imam Nawawi dalam kitab al-Azkar memberi komentar perihal ini.


فصل قال العلماء من المحدثين والفقهاء وغيرهم يجوز ويستحب العمل فى الفضائل والترغيب والترهيب بالحديث الضعيف ما لم يكن موضوعا وأما الأحكام كالحلال والحرام والبيع والنكاح والطلاق وغير ذلك فلا يعمل فيها إلا بالحديث الصحيح أو الحسن إلا أن يكون فى احتياط فى شئ من ذلك


“Ulama dari kalangan ahli hadis, ahli fiqih, dan ahli lainnya mengatakan, ‘(Umat) boleh dan dianjurkan mengamalkan sesuatu ibadah untuk mendapatkan keutamaan, menyemangati dan menjauhkan umat dari sesuatu berdasarkan hadis dhaif. Sejauh hadis itu tidak palsu.’


‘Sedangkan untuk kepentingan hukum seperti menentukan halal, haram, jual-beli, nikah, talaq, dan lainnya, (umat) harus mendasarkannya pada hanya hadis shahih atau hasan. Boleh juga dengan hadis dhaif dengan catatan harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian.’”


Karenanya, untuk menghindari kecemasan yang tidak perlu, patut kiranya umat Islam kembali mengingat pedoman dari Imam Nawawi seperti dikutip di atas. []

 

(Alhafiz Kurniawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar