Ibu adalah Sekolahmu yang
Pertama
Oleh: Ahmad Dairobi
Selalu ada dilema antara karir dan keluarga,
khususnya untuk kaum wanita. Hal itu tidak terlepas dari kodrat alamiah dan
kodrat sosial kaum hawa itu sendiri. Secara alamiah, mereka cenderung memiliki
naluri ‘seni’ mengasuh anak, melebihi kaum lelaki. Dan, secara otomatis, naluri
alamiah ini diikuti oleh kecenderungan sosial yang terjadi pada masyarakat
secara umum.
Sebenarnya ini merupakan konfigurasi sosial
yang ideal. Itu pula yang menjadi gambaran umum kaum Muslimah dari generasi
pertama umat ini. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu sebagai istri, ibu
rumah tangga dan inang pengasuh bagi anak-anak mereka.
Yang menjadi persoalan, pola tersebut mulai
bergeser seiring dengan arus perkembangan waktu. Naluri keibuan kaum hawa
sedikit demi sedikit mulai menjadi tumpul, barangkali sebagai akibat tidak
langsung dari misi kesetaraan gender yang terus menerus dihembuskan oleh Barat.
Sebenarnya, dalam Islam sendiri, tidak pernah
ada larangan bagi kaum hawa untuk menekuni karir, senyampang hal itu dijalani
sesuai dengan batas-batas yang ditentukan oleh syariat. Kalaupun kemudian cukup
sering terjadi polemik mengenai hal itu, fokus utamanya bukan tertuju pada boleh
tidaknya berkarir, akan tetapi mengenai apakah mereka bisa memenuhi tuntunan
agama selama menekuni karir tersebut.
Secara umum, munculnya polemik mengenai
wanita karir bersumber dari dua motivasi utama. Motivasi pertama, karena
besarnya harapan terhadap kaum hawa sebagai pilar pendidikan generasi. Mengenai
hal ini, Ahmad Syauqi, pujangga termasyhur dari Mesir, menyatakan:
الأُمُّ
مَدْرَسَةٌ إِذَا أَعْدَدْتَهَا … أَعْدَدْتَ جَيْلاً طَيِّبَ الأَعْرَاقِ
Ibu adalah sekolah. Jika engkau menyiapkannya
(dengan baik), maka engkau menyiapkan sebuah generasi yang berkualitas tinggi.
Syekh Musthafa al-Ghulayaini, jubir dan
motivator Dinasti Utsmani, menyatakan:
النِّسَاءُ
عِمَادُ البِلاَدِ
Kaum hawa adalah pilar (keberhasilan generasi
di) berbagai negeri.
Ibu berperan sebagai sekolah pertama bagi
anak-anaknya. Jika ibu menghabiskan waktu untuk menekuni karir, maka anak-anak
akan kehilangan sentuhan pendidikan dasar yang sangat menentukan perkembangan
psikologi mereka. Hilangnya sentuhan tersebut ditengarai menjadi salah satu
penyebab utama maraknya kenakalan remaja, khususnya di kalangan masyarakat
perkotaan.
Motivasi kedua, kekhawatiran tidak bisa
mematuhi ajaran hijab, atau aturan interaksi antara lelaki-perempuan. Pada
umumnya wanita karir memang tidak terlalu memperhatikan aturan-aturan syariat
yang terkait dengan mereka. Di antara beberapa kebiasaan wanita karir yang
tidak sesuai dengan ajaran agama adalah: (1) Tampil menarik atau berhias di
hadapan lelaki yang bukan suami atau mahramnya; (2) Biasa terjadi ikhtilâth
(campur baur), khulwah (berduaan), dan saling bersentuhan dengan lelaki bukan
mahram; (3) bepergian tanpa disertai oleh mahram; (4) keluar rumah tanpa seizin
dari suami atau wali; (5) terbengkalainya tugas-tugas kerumahtanggaan; (6)
adanya kecenderungan dunia usaha untuk menjadikan pesona jasmaniah perempuan
sebagai daya tarik, khususnya dalam konteks pelayanan prima; (7) terjadinya
kepemimpinan perempuan atas lelaki yang selalu menjadi polemik hangat dalam
wacana hukum fikih; (8) dan lain sebagainya.
Secara umum, ajaran Islam memang meletakkan
batas ruang yang ketat antara lelaki dan perempuan. Batas inilah yang cukup
sulit untuk dipatuhi oleh wanita yang sedang menekuni karir. Apalagi, penerapan
pembatasan ini telah diopinikan sebagai tindakan konservatif, atau bahkan
dianggap sebagai pemasungan terhadap hak-hak perempuan.
Dalam kondisi seperti ini, muncullah banyak
dilema. Khususnya, dilema antara persoalan ekonomi dan isu kesetaraan gender di
satu sisi, melawan kepentingan rumah tangga, pendidikan anak, dan aturan agama
di sisi yang lain.
Maka, persoalan wanita karir harus dilihat
dengan sudut pandang yang jernih dan utuh. Terutama, mengenai apa tujuannya,
dengan senantiasa mempertimbangkan apa maslahat dan apa pula mudaratnya. Sangat
banyak kaum wanita yang terjun menekuni karir bukan karena didorong oleh
kebutuhan mendesak, akan tetapi hanya karena untuk mencari popularitas,
kepuasan, kesenangan, status sosial, kekayaan materi yang melimpah, dan
semacamnya. Sementara, untuk mengejar semua itu dia harus mengorbankan
pentingnya kerumahtanggaan dan kepengasuhan anak. Dengan begitu, dia
meninggalkan sesuatu yang sangat mendesak untuk mengejar sesuatu yang tidak
terlalu penting, atau bahkan tidak baik.
Dalam agama Islam sendiri, desakan ekonomi
merupakan pintu yang paling terbuka bagi wanita untuk menekuni sebuah
pekerjaan. Beberapa data sejarah menyebutkan bahwa Sayidah Fatimah bekerja
sebagai penjahit. Juga, tidak sedikit di antara perempuan di masa itu yang
bekerja sebagai pemintal atau penenun (industri tekstil). Siti Asma’ binti Abi
Bakar dikenal sebagai wanita yang bekerja keras untuk menghidupi
putra-putrinya, karena status beliau sebagai single parent.
Beberapa data sejarah juga menyebutkan bahwa
tidak sedikit perempuan pada masa Rasulullah r dan para Sahabat yang bekerja
sebagai inang pengasuh, ibu susu, dan pelayan. Hal ini tidak terlepas dari
kodrat alamiah perempuan sebagai pendidik ulung bagi anak-anak berusia dini.
Bidang-bidang profesi yang erat dengan urusan ‘dalam’ kaum perempuan, memang
sudah seharusnya diisi oleh kaum perempuan, semisal kebidanan dan pengasuhan
anak.
Jadi, izin berkarir bagi kaum wanita harus
diposisikan sebagai opsi kedua, yakni karena tuntutan kondisi yang cukup
mendesak. Bukannya dijadikan sebagai opsi utama, seperti yang sedang giat
dikampanyekan oleh pemerintah kita saat ini. Sepertinya, mereka hendak
‘memaksa’ kaum hawa untuk berkarir di politik dengan kebijakan persentase
keterwakilan perempuan di parlemen maupun kepengurusan partai. Dari satu sisi,
sepertinya langkah tersebut dianggap sebagai langkah maju untuk membela hak-hak
perempuan, padahal secara psikologis berpotensi besar memudarkan jiwa keibuan
dan keistrian.
Jika kita sering membaca berbagai analisis
mengenai kenakalan remaja, sebenarnya di Barat sendiri tidak jarang terdengar
keluhan mengenai pudarnya jiwa keibuan karena tingginya gairah kaum hawa untuk
menekuni karir. Hanya saja, keluhan-keluhan semacam ini lebih sering tertutupi
oleh arus opini yang tidak seimbang.
Maka, sebagai umat dan bangsa yang menjunjung
tinggi budaya ketimuran, kita harus berpikir lebih jernih mengenai hal itu,
bukannya terdesak oleh perkembangan yang terjadi di negara-negara maju. Sudah
ribuan tahun, kaum hawa kita berperan sebagai ibu dan istri, nyatanya roda
sosial masyarakat berjalan dengan baik-baik saja. Sama sekali tidak menjadi
beban sosial-ekonomi seperti yang banyak ditakutkan oleh generasi kita saat
ini. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar