Selasa, 17 Desember 2013

BamSoet: Menunggu Itikad Baik SBY-Boediono

Menunggu Itikad Baik SBY-Boediono

Bambang Soesatyo
Anggota Timwas Century DPR
Fraksi Partai Golkar
 
EKSES pencairan dana LPS untuk menalangi Bank Century sudah dikonfirmasi oleh Boediono, mantan Gubernur Bank Indonesia (BI), kini  Wakil Presiden RI.  Etikanya, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono menunjukan itikad baik. Caranya, all out memperjelas pertanggungjawaban atas gelembung dana talangan LPS itu. Jika terus minimalis seperti sekarang, pemerintahan SBY-Boediono akan dinilai dan dikenang sebagai rezim dengan manajemen pemerintahan paling bobrok dalam sejarah Indonesia modern.

Skandal ini terjadi dalam rentang waktu Oktober 2008 hingga usai pelaksanaan Pemilihan Presiden 2009. Pada periode itu, SBY menjabat Presiden RI, sementara Boediono sebagai Gubernur BI saat itu, justru pro aktif memperjuangkan FPJP (fasilitas pendanaan jangka pendek) untuk Bank Century. Maka, desakan kepada SBY-Boediono untuk menunjukan itikad baik mempertanggungjawabkan ekses penggunaan dana LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) menjadi amat relevan. Ini bukan lagi persoalan tekan-menekan atas nama interes politik.

Esensi  persoalannya harus diletakan pada dan dilihat dari aspek manajemen dan moral pemerintahan, aspek manajemen dan moral bank sentral, aspek prosedur dan mekanisme pertanggungjawaban para pejabat tinggi dan birokrat negara ketika bertindak atas nama kuasa dan wewenang mereka, serta aspek terpenting lainnya, yakni prinsip pemerintahan yang bersih. Itulah titip pijak desakan tadi, karena megaskandal Bank Century melibatkan penggunaan triliunan rupiah dana LPS. Dalam konteks ini, tidak penting lagi memperdebatkan apakah dana di brankas LPS itu uang negara atau akumulasi iuran bank-bank umum. Dana LPS itu milik publik. Maka, dari aspek moral, penggunaannya pun harus bisa dipertanggungjawabkan sejelas-jelasnya kepada publik pula, apa adanya, tanpa rerkayasa.

Konstruksi pemahaman publik terhadap skandal Bank Century sedikit bergeser menyusul penegasan Boediono mengenai misteri gelembung dana talangan. Melalui penjelasan pers usai menjalani pemeriksaan KPK belum lama ini, mantan Gubernur BI itu menegaskan, dana talangan awal yang direkomendasikan BI untuk Bank Century hanya Rp 632 miliar. Talangan membengkak jadi Rp 2,5 triliun, kemudian menggelembung sampai Rp 6,7 triliun saat berada di tangan LPS dan pengawas Bank Century yang kemudian diubah menjadi Bank Mutiara. Boediono kemudian menambah bobot kebingungan publik dengan mengatakan bahwa legalitas tindakan terhadap Bank Century adalah pengambilalihan, bukan bailout. “Setelah itu, yang terjadi adalah antara LPS dan pengawas bank. Saya kira di situ jawabannya,” kata Boediono.

Tak mau dikambinghitamkan begitu saja, Ketua Dewan Komisioner LPS, Heru, langsung membantah Boediono. "LPS, berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004, harus melaksankaan mandat yang ditetapkan oleh KSSK maupun komite koordinasi. Tidak ada opsi lain dalam melaksanakan mandat itu karena diatur dalam undang undang," kata Heru usai menjalani pemeriksaan KPK, belum lama ini.

Dengan silang pendirian antara mantan Gubernur BI/anggota KSSK Boediono dengan LPS ini, persoalan yang mengemuka adalah pertanyaan mengenai siapa yang sesungguhnya harus bertanggungjawab atas gelembung dana talangan sekitar Rp 6 trliun itu? Soalnya, ketika Boediono menunjuk LPS dan pengawas bank, LPS mengklaim apa yang dilakukannya berdasarkan mandat KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan). Di sinilah ketidakjelasan itu.

Bos besar LPS adalah Ketua KSSK/Menteri Keuangan yang sudah barang tentu atasannya adalah presiden. Dalam kerangka itu, yang muncul adalah nama Menteri keuangan (saat itu) Sri Mulyani, dan presiden SBY. Itulah alasan utama mengapa presiden SBY perlu menunjukan itikad baiknya untuk memperjelas persoalan ini. Sudah menjadi kenyataan bahwa ketidakjelasan pertanggungjawaban dana talangan dari LPS itu telah mencoreng reputasi pemerintahannya.

Sedangkan Boediono, sekali lagi, juga tidak bisa cuci tangan begitu saja karena dua alasan ini; pertama, fungsi pengawasan bank saat itu digenggam BI. Kalau pengawas BI saat itu tidak prudent, gubernur BI tak bisa begitu saja menghindari tanggungjawabnya. Kedua, dana talangan diserahkan kas, bukan transfer. Untuk jumlah dana kas sebesar itu, hanya bank sentral (BI) yang bisa menyediakannya. Semua bank umum dipastikan tidak mampu, apalagi jika hari penyerahannya Sabtu dan Minggu. Likuiditas sebuah bank umum akan berantakan kalau terjadi penarikan hingga ratusan miliar per harinya. Kalau hal ini yang terjadi, bank umum itu justru akan minta suntikan likuiditas dari BI.

Jadi, itikad baik SBY-Boediono diperlukan dan sangat relevan, karena proses pencairan dan penyerahan dana talangan itu kait mengait. Brankas LPS tak mungkin menyimpan dana kas trliunan rupiah. Artinya, dalam beberapa termin pencairan dan penyerahan dana kas ratusan miliar hingga mencapai akumulasi Rp 2,5 triliun – Rp 6,7 triliun itu, LPS harus berkoordinasi dengan BI yang memiliki jumlah dana kas sebesar itu. Kesimpulannya, ada komunikasi intens antara KSSK dan LPS di satu pihak, dengan BI di pihak lain. Dari komunikasi yang intens itu, tampak adanya kesamaan kepentingan antara KSSK, LPS dan BI, sehingga tiga institusi ini kompak untuk tetap bekerja pada hari Sabtu dan Minggu.
 
Gagap

Sejak awal, para pihak yang terlibat langsung dalam perhitungan, pencairan dan penyerahan dana talangan itu sudah terlihat gagap ketika adu argumentasi sampai pada tema pertanggungjawaban. Gagap pertama berkaitan dengan fakta bahwa semua proses hingga cairnya dana talangan sampai Rp 2,5trliun – dari rekomendasi BI Rp 632 miliar yang disetujui KSSK --- tidak dilaporkan ke Wakil Presiden Yusuf Kalla sebagai pelaksana tugas (Plt) presiden saat itu.

Kedua, curahan hati Ketua KSSK/Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada Yusuf Kalla bahwa dia merasa telah dibohongi oleh orang-orang BI.  Keluh kesah Sri Mulyani ini saja sudah menjadi persoalan besar tersendiri. Ketua KSSK tahu dia telah dibohongi BI. Berarti, Sri Mulyani sendiri gagap untuk bertanya kepada Gubernur BI Boediono yang merangkap sebagai anggota KSSK itu. Dan, kepada Pansus DPR, Sri Mulyani tegas-tegas hanya mau bertanggungjawab atas dana talangan Rp 630 miliar, sama dengan klaim Boediono.

Lalu, kalau Ketua dan anggota KSSK (Sri Mulyani dan Boediono) hanya menyetujui talangan Rp 632 miliar, legalitas apa yang dijadikan dasar oleh LPS untuk meminta kepada BI dana kas lebih dari yang direkomendasikan, hingga membengkak sampai Rp 2,5 triliun pada Senin, 24 November 2008 itu? Dan, dengan legalitas apa pula orang-orang di BI berani mengeluarkan uang kas triliunan rupiah dari gudang bank sentral pada hari Sabtu dan Minggu itu?

Ketiga, dalam suasana gagap pula, pada Selasa 25 November 2008, para pihak itu melapor kepada Plt Presiden Yusuf Kalla. Mereka melapor ketika eksesnya sudah tak bisa dikendalikan lagi, karena Rp 2,5 triliun itu langsung raib ditarik deposan besar Bank Century. Laporan ini membuat Kalla terkejut dan marah. Dia memerintahkan Polri menangkap pemilik Bank Century Robert Tantular.

Apakah reaksi Plt Presiden itu bisa menghentikan pencairan dana talangan untuk Bank Century? Ternyata, pencairan tidak berhenti di angka Rp 2,5 triliun itu. Pencairan dan penyerahan dana talangan masih terus berlangsung, mulai akhir Nopvember 2008, berlanjut hingga menjelang Pemilu Legislatif April 2009 sampai pasca pemilihan Presiden Juni 2009. Tercapailah gelembung dana talangan itu hingga angka Rp 6,7 triliun.

Gagap berikutnya adalah pola cuci tangan Boediono ketika dia melimpahkan tanggung jawab penggelembungan dana talangan itu kepada LPS dan pengawas bank. Bantahan LPS sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan ketidakberesan perhitungan dan pencairan dana talangan itu. Kalau Boediono juga mengambinghitamkan pengawas bank, dia juga harus memikul kesalahan itu karena fungsi pengawasan bank saat itu mutlak wewenang BI.

Boediono juga menegaskan, Bank Century tidak di-bailout, melainkan diambilalih. Untungnya, masyarakat tidak ikut-ikutan gagap. Maka, dibukalah dokumen 21 November 2008 yang memuat pernyataan Robert Tantular. Dia, dalam kapasitasnya sebagai Direktur Utama  PT Century Mega Investindo, minta  diikutsertakan dalam penanganan PT Bank Century Tbk oleh LPS.

Dalam dokumen itu, Robert menyatakan siap menyetor tambahan modal minimal 20% dari perkiraan biaya penanganan yang ditetapkan LPS dalam jangka waktu 35 hari sejak surat pernyataannya ditandatangani. Maka, sangat jelas Bank Century sejatinya di-bailout karena pemegang saham lama dilibatkan dalam proses itu, bukan diambilalih.

Itikad Menelusuri
 
Akhirnya, sampailah pada pertanyaan mengenai bagaimana caranya agar persoalan gelembung dana talangan itu terang benderang? Kalau semuanya bisa dibuat sangat jelas, akan terlihat siapa yang seharusnya bertanggungjawab. Persoalannya terpulang pada itikad baik Presiden SBY dan mantan Gubernur BI yang kini menjabat Wakil Presiden, Boediono. Persoalan ini mestinya membuat kedua pemimpin merasa tidak nyaman, karena sudah mencoreng reputasi pemerintahan mereka. Menjadi sangat aneh jika keduanya minimalis.

Dari sisi Presiden SBY, yang perlu dilakukan adalah memanggil mantan Menteri Keuangan/mantan Ketua KSSK, Sri Mulyani. Dari Sri Mulyani, presiden bisa meminta penjelasan serta pertanggungjawaban atas keputusan KSSK dan tindakan LPS menggelembungkan dana talangan. Sudah barang tentu, Presiden juga harus panggil pimpinan LPS karena sesuai UU LPS pasal 2 LPS bertanggung jawab ke Presiden.

Kepada LPS misalnya, Sri Mulyani sebagai ketua KSSK bisa mempertanyakan legalitas apa yang digunakan sehingga manajemen LPS berani mencairkan dan menyerahkan dana talangan sampai Rp 6,7 triliun itu? Apakah dengan persetujuan dan sepengetahuan presiden, atau inisiatif LPS sendiri.

Boediono, sebagai anggota KSSK, pun bisa mengajukan pertanyaan serupa kepada LPS. Persoalan penting lain yang juga perlu diperjelas Boediono adalah mekanisme pengeluaran uang kas ratusan miliar hingga triliunan rupiah dari gudang BI. Tidakkah menjadi hak mutlak Gubernur BI untuk mendapatkan laporan mengenai pengeluaran uang kas sebanyak itu dari gudang BI?

Karena tindakan LPS berdasarkan mandat dari KSSK, maka Sri Mulyani sebagai ketua dan Boediono sebagai anggota KSSK, harus bertemu untuk mencari sebab musabab ekses pencairan dan penyerahan dana talangan Bank Century. Benar bahwa KPK bisa melaksanakan sebagian pekerjaan itu. Tetapi, SBY, Boediono dan Sri Mulyani harus menunjukan itikad baik, dengan cara mengambil prakarsa untuk membuat persoalannya terang benderang dari aspek kewenangan masing-masing. Terpenting, semua hasil penelusuran itu dibuka kepada publik.

Kalau tidak ada itikad baik dari SBY, Boediono dan Sri Mulyani, rakyat akan berkesimpulan bahwa ada yang disembunyikan dibalik ekses penggelembungan dana talangan Bank Century. Risikonya, lima tahun pemerintahan SBY-Boediono akan dikenang sebagai rezim dengan manajemen pemerintahan paling bobrok karena gagal mempertanggung jawabkan gelembung dana talangan Bank Century. []

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar