Kamis, 19 Desember 2013

(Ngaji of the Day) Shalat bersama Matahari



Shalat bersama Matahari
Oleh: Muhamad Kurtubi

Sebuah hikmah yang datang dari ulama jadul (jaman dulu/salaf) menarik untuk dilirik sebagai sarana mendidik diri. Hikmah itu berbicara tentang perjalanan matahari dan umur manusia berkaitan pula dengan kewajiban shalat. Semua itu seiring sepadan dengan siklus perjalanan matahari sehari semalam. Ah masa seh?

Renungan itu ditulis dalam buku berbahasa Arab yang banyak dimiliki para pelajar Kairo, Mesir. Namanya kitab Bujairimi. Karangan Imam Bujairimi. Selengkapnya tulisan itu berbunyi seperti ini. Terjemahnya dibuat secara bebas bersama uraian.

وابدى بعضهم لذلك حكما. منها تذكر الإنسان بها نشأته إذ ولادته كطلوع الشمس ونشؤه كارتفاعها وشبابه كوقوفها عند الاستواء، وكحولته كميلها وشيخوخته كقربها من الغروب وموته كغروبها، زاد بعضهم وفناء جسمه كانمحاق أثرها وهو مغيب الشفق الأحمر فوجبت العشاء حينئذ تذكيرا لذلك، كما أن كماله في البطن وتهيؤه للخروج كطلوع الفجر الذي هو مقدمة لطلوع الشمس المشبه بالولادة فوجبت الصبح حينئذ، (نقل من كتاب بجيرمي)

Terjemah bebasnya sbb:

Sebagian ulama mengenalkan hikmah-hikmah untuk mengingatkan manusia akan kehidupannya. Saat lahir laksana terbit matahari; masa pertumbuhan diibaratkan meningginya matahari; masa mudanya seperti saat sinarnya di pertengahan; masa dewasa ibarat sinar mulai condong ke barat; dan masa tua seperti sinar matahari mendekati terbenam.

Lalu ulama lain menambahkan. Masa kematian diibaratkan dengan matahari terbenam. Adapun gambaran kehancuran badan dan tulang-belulang seperti matahari yang sinar merahnya berangsur-angsur menghilang. Sehingga diwajibkan shalat isya. Kemudian sebagai pengingat proses janin yang siap lahir saat berada di perut ibu, digambarkan dengan munculnya fajar shidiq (menjelang waktu subuh). Fajar ini sebagai persiapan munculnya matahari maka diwajibkanlah shalat subuh.

Pertama, tulis Bujairimi, awal kelahiran manusia diibaratkan dengan matahari terbit. Matahari pagi, sinarnya kemerah-merahan. Rasanya hangat dan menyehat­kan badan. Hampir setiap orang menyukai sinar matahari pagi. Demikian pula anak manusia yang baru lahir. Ia akan diperhatikan karena menghangatkan siapa pun. Tetangga berkumpul untuk meng­ucap­kan kata selamat atas kelahiran seorang bayi. Ada juga sih yang tega mem­bunuh bayi. Padahal bayi ibarat sinar. Tapi bukankah pembunuh bayi mi­rip dra­kula yang tidak suka dengan sinar. Karena lebih suka kepada kegelapan.

Di waktu pagi ini umat Islam diwajibkan mengerjakan shalat subuh. Arti “Subuh” adalah pagi. Sebagaimana keberadaan manusia diawali dari perut ibundanya. Matahari yang menampak di pagi hari laksana anak manusia yang dilahirkan hasil perjuangan seorang ibu antara hidup dan mati. Maka gambaran ini mirip dengan orang yang mengerjakan shalat subuh setelah tidur begitu beratnya. Maknya rakaatnya cukup dua rakaat saja.

Kedua.Saat matahari menanjak memasuki waktu dhuha (jam + 7.00 s/d 11.30 WIB). Perjalanan matahari di waktu ini diibaratkan dengan masa kanak-kanak menuju remaja.

Karenanya, di waktu pagi (dhuha) ini tidak ada kewajiban mengerjakan shalat. Karena memang anak-anak yang belum memasuki akil baligh, tidak wajib shalat. Waktu ini justru diisi untuk berbagai akvitas bermain layaknya anak-anak.

Ketiga,Saat matahari mencapai pukul 12.00 (waktu istiwa). Saat itu, matahari menunjukkan karakter sinar yang paling panas. Ini mirip dengan masa remaja. Sinar yang panas, jiwa yang menyala-nyala: penuh emosi. Panas matahari bisa membakar kulit jika tak berpelindung. Begitu pula remaja yang meluap-luap emosinya, jika orang tua tidak pandai mendidik akan merusak kulit rumah tangga, kulit moral atau kulit-kulit lainnya yang membuat persoalan lebih besar lagi.

Karena itu untuk mengekang gejolak yang meluap-luap itu, orang muslim diwajibkan mengerajakan shalat dhuhur. Duhur artinya, “menampak”. Orang muda yang menampakkan karakter hebatnya, sejatinya harus dimohonkan kepada Tuhan. Subhanal­lah, jika gejolak itu benar salurannya, niscaya segala persoalan dari dampak gejolak yang menyengat itu akan tersalur energinya menuju manfaat bagi kehidupan. Sebagaimana matahari yang panas menyengat itu bisa menghasilkan energi “sel electricity” , “solahart” pema­nas air, atau menjemur padi dan ikan bagi petani. Sebuah manfaat yang besar sekali.

Keempat.Sinar matahari mulai condong ke barat hingga hampir terbenam. Pada masa ini, mirip dengan umur manusia yang memasuki masa tua. Lihatlah matahari jika menjelang terbenam, sinarnya memerah seperti juga saat terbit waktu pagi. Konon, ini mirip orang tua yang sering pikun, dan bertingkah laku seperti anak-anak.

Di waktu tersebut, umat Islam diwajibkan shalat “Ashar” (arti Ashar = memerah). Masa tua, bisa juga seperti buah yang sudah memerah. Tinggal dinikmati kematangan buahnya. Biasanya orang tua yang menjelang ajalnya, kekayaanya diwariskan untuk dinikmati keluarganya.

Kelima. Sinar matahari memasuki awal malam hari. Dimulai dari jam 6-an hingga jam-7 malam. Masa ini diibaratkan sebagai awal dipendamnya jasad manusia di alam kubur. Bekas sinar matahari masih menampak jelas di angkasa. Namun dengan waktu satu jam ini mirip dengan proses penguburan manusia yang begitu singkat.

Karena itu, masa antara jam 6-7-an ini Islam mewajibkan umatnya mengerjakan shalat maghrib. Arti “maghrib” adalah terbenam. Searti dengan gambaran manusia saat dibenamkan dalam tanah. Singkat, menuju gelap.

Keenam. Perjalanan waktu benar-benar memasuki malam hari. Gelap gulita, begitu sepi dan kadang mencekam. Waktu malam ini kehidupan makhluk lain mulai beraktivitas. Karenanya, binatang di dalam tanah, mulai bekerja mengurai tulang dan daging hingga menjadi tanah. Cacing dan hewan lain, memakan jasad kita di kubur hingga hancur minah. Proses mengurai benda keras ini memang membutuhkan waktu lama. Karenanya waktu malam hari dipakai untuk tidur, begitu panjang, begitu tenang, begitu senyap. Kematian.

Karena itu, untuk mengenang masa kegelapan yang panjang ini digunakanlah bagi umat islam untuk mengerjakan shalat “Isya”. Arti “Isya” adalah makan malam. Jadi shalat isya adalah sebagai pengingat akan sebuah proses kehancuran jasad di dalam tanah yang dimakan malam oleh jasad renik. Waktu penguraian memang panjang. Sebagaimana pula waktu Isya begitu panjang.

Masa menjelang subuh (fajar shodik) diibaratkan dengan proses janin dalam perut ibu menjelang kelahiran. Makanya, ada pula orang yang bangun malam di sepertiga malam ini. Ia diisi dengan olah fikir, dzikir baik badan maupun hati kepada Allah Yang Maha Besar (shalat tahajud). Pekerjaan sepertiga malam ini sebagai pengingat akan proses menuju kelahiran jiwa yang mulia.

Ya Allah, semoga saya, keluarga, dan siapa saja, bisa mengakrabi dan merasakan proses siklus waktu, dan siklus matahari sebagai bagian dari diri kita.

Wallahu a’lam.

Muhamad Kurtubi,
Santri Pondok Pesantren Buntet – Cirebon, lulusan MANU 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar