Shalat bersama Matahari
Oleh: Muhamad Kurtubi
Sebuah hikmah yang datang dari ulama jadul
(jaman dulu/salaf) menarik untuk dilirik sebagai sarana mendidik diri. Hikmah
itu berbicara tentang perjalanan matahari dan umur manusia berkaitan pula
dengan kewajiban shalat. Semua itu seiring sepadan dengan siklus perjalanan
matahari sehari semalam. Ah masa seh?
Renungan itu ditulis dalam buku berbahasa
Arab yang banyak dimiliki para pelajar Kairo, Mesir. Namanya kitab Bujairimi.
Karangan Imam Bujairimi. Selengkapnya tulisan itu berbunyi seperti ini.
Terjemahnya dibuat secara bebas bersama uraian.
وابدى
بعضهم لذلك حكما. منها تذكر الإنسان بها نشأته إذ ولادته كطلوع الشمس ونشؤه
كارتفاعها وشبابه كوقوفها عند الاستواء، وكحولته كميلها وشيخوخته كقربها من الغروب
وموته كغروبها، زاد بعضهم وفناء جسمه كانمحاق أثرها وهو مغيب الشفق الأحمر فوجبت
العشاء حينئذ تذكيرا لذلك، كما أن كماله في البطن وتهيؤه للخروج كطلوع الفجر الذي
هو مقدمة لطلوع الشمس المشبه بالولادة فوجبت الصبح حينئذ، (نقل من كتاب بجيرمي)
Terjemah bebasnya sbb:
Sebagian ulama mengenalkan hikmah-hikmah
untuk mengingatkan manusia akan kehidupannya. Saat lahir laksana terbit
matahari; masa pertumbuhan diibaratkan meningginya matahari; masa mudanya
seperti saat sinarnya di pertengahan; masa dewasa ibarat sinar mulai condong ke
barat; dan masa tua seperti sinar matahari mendekati terbenam.
Lalu ulama lain menambahkan. Masa kematian
diibaratkan dengan matahari terbenam. Adapun gambaran kehancuran badan dan
tulang-belulang seperti matahari yang sinar merahnya berangsur-angsur
menghilang. Sehingga diwajibkan shalat isya. Kemudian sebagai pengingat proses
janin yang siap lahir saat berada di perut ibu, digambarkan dengan munculnya
fajar shidiq (menjelang waktu subuh). Fajar ini sebagai persiapan munculnya
matahari maka diwajibkanlah shalat subuh.
Pertama, tulis Bujairimi,
awal kelahiran manusia diibaratkan dengan matahari terbit. Matahari pagi,
sinarnya kemerah-merahan. Rasanya hangat dan menyehatkan badan. Hampir setiap
orang menyukai sinar matahari pagi. Demikian pula anak manusia yang baru lahir.
Ia akan diperhatikan karena menghangatkan siapa pun. Tetangga berkumpul untuk
mengucapkan kata selamat atas kelahiran seorang bayi. Ada juga sih yang tega
membunuh bayi. Padahal bayi ibarat sinar. Tapi bukankah pembunuh bayi mirip
drakula yang tidak suka dengan sinar. Karena lebih suka kepada kegelapan.
Di waktu pagi ini umat Islam diwajibkan
mengerjakan shalat subuh. Arti “Subuh” adalah pagi. Sebagaimana keberadaan
manusia diawali dari perut ibundanya. Matahari yang menampak di pagi hari
laksana anak manusia yang dilahirkan hasil perjuangan seorang ibu antara hidup
dan mati. Maka gambaran ini mirip dengan orang yang mengerjakan shalat subuh
setelah tidur begitu beratnya. Maknya rakaatnya cukup dua rakaat saja.
Kedua.Saat matahari
menanjak memasuki waktu dhuha (jam + 7.00 s/d 11.30 WIB). Perjalanan matahari
di waktu ini diibaratkan dengan masa kanak-kanak menuju remaja.
Karenanya, di waktu pagi (dhuha) ini tidak
ada kewajiban mengerjakan shalat. Karena memang anak-anak yang belum memasuki
akil baligh, tidak wajib shalat. Waktu ini justru diisi untuk berbagai akvitas
bermain layaknya anak-anak.
Ketiga,Saat matahari
mencapai pukul 12.00 (waktu istiwa). Saat itu, matahari menunjukkan karakter
sinar yang paling panas. Ini mirip dengan masa remaja. Sinar yang panas, jiwa
yang menyala-nyala: penuh emosi. Panas matahari bisa membakar kulit jika tak
berpelindung. Begitu pula remaja yang meluap-luap emosinya, jika orang tua
tidak pandai mendidik akan merusak kulit rumah tangga, kulit moral atau
kulit-kulit lainnya yang membuat persoalan lebih besar lagi.
Karena itu untuk mengekang gejolak yang
meluap-luap itu, orang muslim diwajibkan mengerajakan shalat dhuhur. Duhur
artinya, “menampak”. Orang muda yang menampakkan karakter hebatnya, sejatinya
harus dimohonkan kepada Tuhan. Subhanallah, jika gejolak itu benar salurannya,
niscaya segala persoalan dari dampak gejolak yang menyengat itu akan tersalur
energinya menuju manfaat bagi kehidupan. Sebagaimana matahari yang panas
menyengat itu bisa menghasilkan energi “sel
electricity” , “solahart”
pemanas air, atau menjemur padi dan ikan bagi petani. Sebuah
manfaat yang besar sekali.
Keempat.Sinar matahari mulai
condong ke barat hingga hampir terbenam. Pada masa ini, mirip dengan umur
manusia yang memasuki masa tua. Lihatlah matahari jika menjelang terbenam,
sinarnya memerah seperti juga saat terbit waktu pagi. Konon, ini mirip orang
tua yang sering pikun, dan bertingkah laku seperti anak-anak.
Di waktu tersebut, umat Islam diwajibkan
shalat “Ashar” (arti Ashar = memerah). Masa tua, bisa juga seperti buah yang
sudah memerah. Tinggal dinikmati kematangan buahnya. Biasanya orang tua yang
menjelang ajalnya, kekayaanya diwariskan untuk dinikmati keluarganya.
Kelima. Sinar matahari memasuki
awal malam hari. Dimulai dari jam 6-an hingga jam-7 malam. Masa ini diibaratkan
sebagai awal dipendamnya jasad manusia di alam kubur. Bekas sinar matahari
masih menampak jelas di angkasa. Namun dengan waktu satu jam ini mirip dengan
proses penguburan manusia yang begitu singkat.
Karena itu, masa antara jam 6-7-an ini Islam
mewajibkan umatnya mengerjakan shalat maghrib. Arti “maghrib” adalah
terbenam. Searti dengan gambaran manusia saat dibenamkan dalam tanah. Singkat,
menuju gelap.
Keenam. Perjalanan waktu
benar-benar memasuki malam hari. Gelap gulita, begitu sepi dan kadang mencekam.
Waktu malam ini kehidupan makhluk lain mulai beraktivitas. Karenanya, binatang
di dalam tanah, mulai bekerja mengurai tulang dan daging hingga menjadi tanah.
Cacing dan hewan lain, memakan jasad kita di kubur hingga hancur minah. Proses mengurai
benda keras ini memang membutuhkan waktu lama. Karenanya waktu malam hari
dipakai untuk tidur, begitu panjang, begitu tenang, begitu senyap. Kematian.
Karena itu, untuk mengenang masa kegelapan
yang panjang ini digunakanlah bagi umat islam untuk mengerjakan shalat “Isya”.
Arti “Isya” adalah makan malam. Jadi shalat isya adalah sebagai pengingat akan
sebuah proses kehancuran jasad di dalam tanah yang dimakan malam oleh jasad renik.
Waktu penguraian memang panjang. Sebagaimana pula waktu Isya begitu panjang.
Masa menjelang subuh (fajar shodik)
diibaratkan dengan proses janin dalam perut ibu menjelang kelahiran. Makanya,
ada pula orang yang bangun malam di sepertiga malam ini. Ia diisi dengan olah
fikir, dzikir baik badan maupun hati kepada Allah Yang Maha Besar (shalat
tahajud). Pekerjaan sepertiga malam ini sebagai pengingat akan proses menuju
kelahiran jiwa yang mulia.
Ya Allah, semoga saya, keluarga, dan siapa
saja, bisa mengakrabi dan merasakan proses siklus waktu, dan siklus matahari
sebagai bagian dari diri kita.
Wallahu
a’lam.
Muhamad Kurtubi,
Santri Pondok
Pesantren Buntet – Cirebon, lulusan MANU 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar