Korupsi dan Kosongnya
Spiritualitas
Oleh: Wasid Mansyur*
Mereka yang memiliki spiritual unggul atau
sejati, memastikan Allah swt. sebagai sentrum bagi semua energi kehidupannya.
Selain Dia, pada hakekatnya tiada sebab adanya selain Dia selalu dibatasi ruang
dan waktu. Maka, pengaguman berlebihan atas mawjud selain Allah berdampak pada
sikap mengabaikan hakekat-Nya, jika tidak mengatakan lalai, bahkan tidak jarang
sikap itu berpengaruh pada mentalitas nilai yang diperebutkan.
Statemen di atas adalah salah satu pernik
dari orasi ilmiah bertajuk Studium General dengan Tema “Tasawuf; Spiritualitas
dan manusia Universal” yang disampaikan oleh KH. DR. Said Aqil Siraj, MA di
Audutorium UIN Sunan Ampel Surabaya (7/11). Statemen ini syarat makna hingga
layak direfleksikan kembali kaitannya dengan konteks kehidupan yang nyata sebab
hidup ini pasti ada ujungnya (berakhir dengan kematian), tinggal bagaimana
kepastian sampai keujung itu dengan selamat atau dalam bahasa agama disebut
khusnul khotimah.
Oleh karenanya, masih maraknya praktik
korupsi dan tindakan kekerasan atas nama apapun yang dilakukan oleh individu
atau kelompok setidaknya menggambarkan rapuhnya mentalitas spiritual anak
bangsa. Tertangkapnya Akil Mochtar, ketua MK, semakin menunjukkan bahwa
gelombang korupsi mampu menyapu semua orang, bahkan penegak hukum sekalipun.
Ketika hukum tidak diindahkan akibat ulah segelintir orang, maka tidak sedikit
orang beranggapan bahwa jalan pintas adalah hal terbaik sekalipun akhirnya
melakukan pembunuhan.
Maka menegaskan kembali orientasi nilai
seseorang untuk hidup penting untuk terus didiskusikan, alih-alih di zaman
dimana rasionalitas dipandang sebagai “jenderal” bagi penentu kebenaran. Budaya
rasionalitas sebagai potret manusia modern nampaknya telah mulai digugat
–termasuk dikalangan Barat—sebab ternyata ini adalah sumber bencana bagi
munculnya individu-individu kanibalistik yang tidak menghormati sendi-sendi
kemanusiaan demi sekedar memperebutkan kepentingan sesaat dan jangka pendek,
lagi-lagi itungannya hanya sisi rasional-materialistik.
Ada persoalan persepsi yang kurang tepat,
jika tidak mengatakan salah, dalam memaknai hidup. Jika memang persepsi hidup
ini hanya untuk makan, bukan makan untuk hidup, maka adalah niscaya bila
kemudian model orang seperti ini akan mengumbar syahwatnya dengan mencari
kekayaan sebanyak mungkin agar syahwat perut terpenuhi. Padahal, mengutip
al-Ghazali dalam bukunya Ihya’ Ulum al-Din, perut adalah sumber bencana dan
syahwat. Jika syahwat perut tidak dikendalikan akan berdampak pada munculnya
syahwat-syahwat lainnya bahkan akan mematikan pertumbuhan spiritualitas
seseorang.
Manusia Luhur
Maka dengan itu, manusia tidak cukup hanya
mengandalkan rasionalitas dengan kebanggaannya menggunakan standar ilmiah dalam
menilai sesuatu, manusia perlu spiritualitas untuk dijadikan “panglima” yang
mendasari setiap ranah perjalanan hidupnya. Spiritualitas dengan makna yang
lebih membumi dimaksudkan bukan mereka yang hanya taat mengerjakan rutinitas
peribadatan secara syar’i, tapi lebih dari itu menjadikan orientasi nilai hidup
mengarah pada satu titik- bukan yang lain, yakni pada dzat yang mutlak tanpa dibatasi
oleh relativitas ruang dan waktu.
Dengan cara itu cita-cita manusia luhur
sedikit demi sedikit akan tercapai. Manusia yang luhur tidak terjebak pada
formalitas semata, tapi lebih dari itu selalu tergugah untuk memahami secara
utuh –dan mengamalkan—makna dibalik formalitas tersebut. misalnya, ajaran
tentang sholat bukan saja persoalan ruku’ sujud dan lain-lain, tapi adalah
proses ketertundukan manusia secara total di hadapan sang Pencipta. Kalau
persoalan sholat hanya sebatas formalitas, anak kecil pun bila melakukannya.
Atas dasar pemahaman ini, maka demi dan atas
nama kebenaran, seseorang tidak mudah ditundukkan, alih-alih disuap. Tindakan
korupsi menggambarkan pelakunya ditundukkan oleh hawa nafsu, setidaknya ia
ingin menegaskan eksistensi dirinya agar diakui orang lain. Dengan korupsi
semakin banyak, pelakunya dengan mudah membeli fasilitas mewah dan merasa
bangga di hadapan mereka yang tidak punya. Mereka tertawa, tapi rakyat selalu
dijadikan tumpal sebab sebagaimana lazim dana-dana yang dikorupsi adalah dana
untuk kemaslahatan rakyat kecil.
Manusia luhur dan kaya tidak diukur oleh
penumpukan kekayaan yang melimpah melainkan sejauh mana kekayaan itu diperoleh
dan digunakan sebagai sarana kemaslahatan manusia yang lain. Manusia yang luhur
diukur dengan mantap sejauh mana pembumian spiritual diproses secara menyeluruh
dalam kehidupan, setidaknya sebagai manifestasi dari pemahaman bahwa cinta
kepada Tuhan tidak akan wujud sempurna, bila tidak mencintai yang lain.
Akhirnya, selain Allah adalah ciptaan-Nya
sekaligus manifestasi dari diri-Nya. Karenanya, yang lain adalah bagian dari
kita sehingga tidak boleh mudah menyalahkan dan juga tidak boleh merasa paling
benar. Sesuatu yang dianggap jelek hakekatnya baik sebab tidak ada kebaikan
tanpa ada bandingannya, yakni kejelekan. Maka manusia tanpa spiritual adalah
mereka yang lupa diri, suka mengumbar syahwat dan cenderung merugikan orang
banyak, sekalipun mereka aktif beribadah.
* Pengurus Pusat Ma’had al-Jami’ah UIN Sunan
Ampel Surabaya, Aktif di PW Lembaga Dakwah NU Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar