Dunia Pendidikan ala Humor
Sufi
Oleh: Ahmad Dairobi
Pendidikan kita saat ini, kata Dr. Muhammad
Hassan, lebih mirip dengan kisah Nasruddin Joha, seorang tokoh anekdot dari
Asia Kecil yang melahirkan humor-humor segar dengan segala keluguannya. Suatu
waktu, dia membuat sebuah kanal, dari sungai menuju sungai. Orang-orang pun
heran. “Tuan Joha, aneh sekali. Engkau mengalirkan air dari sungai untuk
dialirkan kembali ke sungai,” kata mereka.
Lalu apa kata tokoh Humor Sufi itu!? “Sudah
cukup bagiku gemercik kanal itu, bukan airnya!”
Pendidikan kita seringkali lebih mementingkan
gemercik ketimbang airnya. Hanya mementingkan suara-suara yang didengarkan
dengan seksama untuk memenuhi rongga telinga. Bukannya mementingkan air
kemuliaan yang mendatangkan kesejukan dan menghilangkan rasa ‘dahaga’. Dunia
pendidikan sudah lebih mementingkan informasi-informasi, dan tidak lagi
melahirkan inspirasi.
Semua itu lantaran dunia kita sudah hampir
kehabisan guru-guru panutan yang mengedepankan aspek keteladanan. Akibatnya,
keberadaan nilai-nilai kemuliaan menjadi seperti hantu. Begitu banyak orang
yang membicarakannya, tapi sedikit sekali orang yang melihatnya.
Keteladanan merupakan model pendidikan mutlak
yang dibawa oleh para Rasul. Dalam akidah Ahlusunah, para Rasul wajib memiliki
sifat shidq dan amanah, selain tablîgh dan fathânah. Shidq adalah kejujuran
dalam berbicara, sedangkan amânah adalah kejujuran dalam berbuat. Lawan amânah
adalah khiyânah atau pengkhianatan. Maksudnya, mustahil para Rasul melanggar
ajaran yang mereka bawa atau melanggar kata-kata mereka sendiri. Maka dari itu,
keteladanan dalam misi dakwah yang dijalankan oleh para Rasul merupakan sesuatu
yang final dan mutlak.
Misi keteladanan disebut-sebut sebagai salah
satu rahasia di balik pilihan Allah mengutus para Rasul dari kalangan manusia,
bukan dari kalangan malaikat. Sebab, malaikat memiliki unsur yang berbeda
dengan manusia, sehingga apa yang dilakukan oleh malaikat tidak bisa dijadikan
sebagai obyek yang hendak ditiru oleh manusia. Karena para Rasul sama-sama
manusia, maka tidak ada peluang bagi umat manusia untuk menjadikan anasir
penciptaan sebagai alasan untuk menafikan kemampuan mereka untuk meniru para
Rasul.
Rasulullah r sendiri memang menyatakan bahwa
tugas utama beliau adalah menjadi guru. Dalam beberapa Hadis beliau menyatakan,
“Innamâ bu’itstu mu’alliman, Aku diutus untuk menjadi seorang guru.” Dan,
al-Qur’an menegaskan bahwa Rasulullah r merupakan uswah atau teladan bagi
orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan beriman kepada hari akhir (QS
al-Ahzab [33]: 21). Al-Qur’an juga menegaskan bahwa Nabi Ibrahim dan para
pengikutnya merupakan teladan bagi umat manusia (QS al-Mumtahanah [60]: 4-6).
Seiring dengan perjalanan waktu, model
keteladanan ala para Rasul ini terus luntur dan menghilang dari dunia
pendidikan. Semakin akhir, dunia pendidikan hanya memperhatikan tablîgh dan
fathânah, atau kemampuan intelektual dan kemampuan untuk menyampaikan informasi;
sementara shidq dan amânah atau komitmen untuk memberi teladan, seringkali
luput dari perhatian. Padahal, dunia pendidikan tidak akan pernah bisa
membangun kecerdasan emosional, apalagi spiritual, jika pilar keteladanan tidak
dikokohkan.
Berkaca kepada sejarah pendidikan di dunia
Islam, sarjana-sarjana Muslim tempo dulu hampir selalu merupakan ulama yang
zuhud, warak dan ahli ibadah. Hampir seluruh ulama adalah sufi. Hal itu bisa
terjadi, karena adanya faktor kemantapan spiritual terhadap sumber ilmu, yaitu
para guru dan kitab-kitab yang mereka pelajari. Perasaan mantap kepada guru dan
terhadap ilmu yang dipelajari merupakan cara terbaik untuk membangun pendidikan
karakter. Saat murid belajar dengan hati yang mantap terhadap sumber ilmu, maka
dia pasti membuka hati selebar-lebarnya untuk menerima apapun yang disampaikan
oleh guru atau diterangkan dalam kitab/buku yang dia pelajari.
Inilah yang nyaris hilang total dari dunia
pendidikan kita saat ini. Para aktivis dan pemerhati pendidikan modern, sepertinya,
terlalu memfokuskan pendidikan karakter pada persoalan-persoalan metodologis
belaka. Mereka hampir tidak pernah berpikir untuk membangun spiritualitas
keilmuan anak didik. Akibatnya, anak didik memahami ilmu dan sumber ilmu hanya
dalam konteks pengetahuan otak, dan tidak banyak memiliki kaitan dengan wilayah
emosional.
Pola pikir semacam ini berjalan seiring
dengan kecenderungan dunia modern yang semakin tidak percaya dengan
faktor-faktor metafisik non alamiah, semisal barakah dan balâ’ guru; bahwa
kepatuhan terhadap etika mencari ilmu akan membawa keberuntungan dunia-akhirat,
dan bahwa pelanggaran etika dalam mencari ilmu akan membawa malapetaka
dunia-akhirat di kemudian hari—sebagaimana yang lumrah diyakini oleh kalangan
santri.
Hanya karena tidak bisa dinalar, para aktivis
pendidikan modern mengabaikan hal itu, atau bahkan menganggapnya sebagai mitos,
kolot, dan juga pembodohan terhadap anak didik. Padahal, keberadaan barakah dan
bala’ memiliki dalil yang sangat kuat dalam ajaran agama Islam, di samping
bukti-bukti yang terjadi secara nyata di tengah-tengah masyarakat.
Dunia pendidikan yang melahirkan para ulama
kita tempo dulu sangat kental dengan nuansa spiritual, berbalik 180 derajat
dengan kondisi pendidikan saat ini. Adakah dunia pendidikan saat ini yang
mengajarkan anak didiknya untuk membacakan Surat Fatihah untuk guru atau
pengarang dari materi yang dipelajari!? Adakah dunia pendidikan yang
mengajarkan etika dalam memegang kitab atau buku!? Adakah dunia pendidikan yang
mengajarkan bahwa guru itu memiliki posisi spiritual yang istimewa di hadapan
murid, sehingga pelanggaran etika yang dilakukan terhadap guru memiliki
konsekwensi yang berat bagi masa depan duniawi-ukhrawi murid!?
Kepercayaan semacam ini, asalkan ditanamkan
secara proporsional, secara wajar dan benar, akan sangat bermanfaat bagi
pendidikan karakter murid. Sebab, secara psikologis akan membentuk ikatan batin
yang kuat antara dia dengan guru, dan antara dia dengan sumber ilmu. Ikatan
batin ini sangat efektif untuk membangun karakter, karena pada dasarnya,
karakter anak didik jauh lebih mudah dibangun melalui pendekatan emosionalitas
ketimbang pendekatan intelektualitas.
Namun demikian, tentu saja, pola pikir ini
tidak bisa ditanamkan hanya melalui indoktrinasi belaka. Indoktrinasi agar
murid mantap kepada guru dan sumber ilmu hanya akan menjadi sebuah lelucon,
jika pada kenyataannya, guru dan sumber ilmu tersebut memang tidak layak untuk
‘diistimewakan’. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab klasik yang berbicara
mengenai pola pendidikan Islam, selalu ada dua garis besar, yaitu etika bagi
murid dan etika bagi guru. Dua garis ini saling terikat, tidak bisa dilepaskan
salah satunya. Keduanya harus dibangun sama kuat, tanpa mengabaikan yang lain.
[]
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar