Kamis, 13 September 2018

Helmy Faishal Zaini: Nasionalisme Transmitif


Nasionalisme Transmitif
Oleh: A Helmy Faishal Zaini

Dalam sebuah forum yang digelar oleh sebuah lembaga internasional, ketika saya didaulat untuk menjadi salah satu pembicara, ada banyak pertanyaan yang dikemukakan peserta.

Pertanyaan itu secara garis besar bisa dikerucutkan jadi sebuah tema pertanyaan besar, yakni bagaimana dan resep apa yang digunakan Nahdlatul Ulama (NU) dalam menumbuhkan rasa cinta tanah air (nasionalisme)? Jika memang ia sudah berhasil ditumbuhkan, bagaimana cara merawat, memupuk, dan menyiraminya? Lalu adakah peran agama di dalamnya?

Barangkali sebagian dari kita malah menganggap pertanyaan semacam itu klise dan kuno. Pendapat itu tentu kita hargai. Namun, harus saya katakan bahwa pertanyaan-pertanyaan itu, yang lahir dan disampaikan di forum internasional, dalam konteks kehidupan dewasa ini sangat penting dan menemukan titik relevansinya kembali.

Kepada peserta tersebut saya sampaikan pendapat kiai-kiai NU yang secara formal tidak pernah belajar tentang konsep nasionalisme. Jika Al-Maududi (1990) menolak secara tegas konsep nasionalisme karena dinilai sebagai produk Barat, maka tidak demikian dengan kiai-kiai NU.

Jangankan berbicara tentang konsep-konsep rumit tentang nasionalisme, tahu dan mendengar istilah nasionalisme saja mereka umumnya baru belakangan—jauh setelah kemerdekaan Indonesia. Namun, penting untuk dicatat, dalam praktik kehidupan sehari-hari mereka (kiai-kiai) cukup menggamit nasihat yang diajarkan secara mutawatir (transmitif) bahwa tanah air tempat kita dilahirkan adalah rumah bagi kita. Maka, hukum menjaga dan merawatnya adalah wajib.

Kerangka berpikir semacam ini saya rasa dilahirkan dari pemahaman yang utuh tentang konsep kulliyÃtul khams dipadu dengan kaidah fikih. Dalam kulliyÃtul khams diajarkan bahwa lima persoalan yang wajib dijaga dan dilindungi adalah: jiwa (nafs), agama (din), harta (mal), akal (aql), keturunan (nasl).

Lima persoalan itu hal mendasar yang harus dijaga. Dalam konteks ini, kita bisa menariknya dalam bingkai berbangsa dan bernegara, yakni negara harus hadir menjamin jiwa, agama, harta, akal, dan keturunan penduduknya. Parameternya jelas, jika negara tak hadir dan tidak menjamin keamanan lima bidang tersebut, maka bisa dipertanyakan peran dan fungsi negara dalam kehidupan rakyatnya.

Dalam konteks nasionalisme, bagaimana lima hal tersebut bisa dijamin jika negaranya tidak berdiri tegak? Pada posisi inilah sebuah adagium fikih yang berbunyi ma la yatimmul wajib illa bihi fahua wajib menemukan titik signifikansinya. Bahwa, proteksi dan jaminan akan tegaknya lima kebutuhan yang wajib dijamin oleh negara tidak akan bisa berlangsung jika negaranya tidak kuat dan kokoh. Karena lima perkara tersebut wajib dijaga dan penjaganya (negara) harus kokoh, maka menjaga negara hukumnya wajib. Inilah aplikasi adagium fikih dalam konsep nasionalisme.

Cara berpikir metodologis menggunakan adagium dan terminologi fikih semacam ini lazim diajarkan secara terus-menerus di semua pesantren yang berada di segenap penjuru Nusantara. Saya tidak sedang mengatakan bahwa belajar tentang sejarah, konsep, dan paradigma nasionalisme itu tidak penting, tetapi yang ingin saya sampaikan adalah bahwa ada tradisi, cara, dan corak pembelajaran tentang nasionalisme dan rasa cinta tanah air yang selama ini telah dipraktikkan, diaplikasikan, diwariskan, dan diajarkan bahkan secara doktrinal (tanpa menggunakan nomenklatur nasionalisme, barangkali) di kalangan pesantren yang merupakan perwujudan NU dalam arti besar.

Aset berupa metodologi cara berpikir seperti ini sangat penting untuk secara terus-menerus digali, direvitalisasi, dan jika perlu dikaji dan dipelajari agar semakin bisa menyesuaikan diri dengan generasi yang akan datang. Di saat bersamaan, kita juga dituntut terus memodifikasi pola dan cara agar proses pentransmisian dan pewarisan ”pemahaman” akan nasionalisme dan rasa cinta tanah air bisa diterima dengan baik oleh generasi-generasi mendatang.

Nasionalisme di era disrupsi

Kita sedang menghadapi apa yang disebut sebagai era disrupsi. Sebuah era dengan ciri utama bahwa sedang terjadi perubahan- perubahan yang sangat fundamental dan mendasar. Banyak penyebab perubahan itu, tetapi sebagaimana dikatakan banyak ilmuwan bahwa penyebab dominan dari terjadinya era disrupsi adalah evolusi teknologi. Teknologi digital tampaknya sudah nyaris mengubah semua tatanan kehidupan manusia. Dalam bidang sosial, politik, hukum, hiburan, dan bahkan agama.

Dalam konteks ini, patut dikemukakan hasil riset yang dilakukan Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang corak, warna, dan arah keragaman kaum muda Muslim Indonesia. Penelitian yang dilakukan tahun 2018 ini melibatkan 935 aktivis muda Muslim di 18 kota di Indonesia.

Hasilnya, ditemukan bahwa terdapat tren yang dianut kaum muda Muslim pada usia 15-24, yakni mereka mengatakan bahwa sumber primer belajar agama adalah media sosial. Media sosial jadi wahana untuk berselancar mencari pengetahuan agama. Akibatnya, sebagaimana kerap dikhawatirkan, banyak dari anak muda tersebut tiba-tiba memiliki watak dan pandangan keagamaan yang kian eksklusif. Inilah tantangan kita dewasa ini.

Jika pesantren dan kalangan agamawan tradisional selama ini mengajarkan nilai-nilai nasionalisme melalui metodologi fikih yang terbukti berhasil, ke depan pengajaran dan pewarisan pemahaman tersebut harus ditularkan dengan model, cara, dan media yang sesuai dengan tuntutan zaman. Pembelajaran dan pewarisan pemahaman harus dikemas sedemikian rupa sehingga sesuai dengan semangat zamannya. Inilah yang pada kondisi tertentu acap kurang disadari.

Saya termasuk salah satu yang mendorong kiai-kiai pesantren agar serajin mungkin mengunggah siaran ”ngaji”-nya, memproduksi konten-konten dakwah Islam yang ramah. Sudah waktunya wahana dakwah kaum agamawan tradisional bergeser. Pengajian bisa dilakukan dengan tatap muka dari majelis ke majelis, tetapi yang tidak kalah penting adalah mengunggah, memproduksi, menyiarkan secara langsung (live streaming) pengajian dan dakwahnya melalui media-media sosial yang mereka miliki.

Dengan begitu narasi tentang wacana Islam yang ramah, moderatisme, toleransi, dan juga semangat untuk terus dan selalu mencintai tanah air akan bisa diwariskan secara masif dan transmitif. Isu ini menjadi sangat penting untuk terus dibicarakan dan diformulasikan.

Meminjam analisis Said Aqil Siroj (2017), hanya di negeri inilah dua peran agamawan atau ulama bisa berjalan seimbang. Pertama, peran mencerdaskan umat (yatafaqqahu fiddin) dan, kedua, peran sebagai pemimpin atau pamong masyarakat (indzaru qaumin). Dua peran tersebut harus tetap kita jaga dan pastikan keberlangsungannya.

Sebab, jika salah satu di antara dua peran tersebut mati atau mengalami disfungsi, kita tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Namun, tidak perlu khawatir, selama kalangan agamawan dan ulama masih istikamah di jalur perjuangannya, selama itu pula semangat kebangsaan—termasuk rasa cinta tanah air dan nasionalisme—berdiri tegak dan akan selalu diwariskan kepada para penerus bangsa. []

KOMPAS, 10 September 2018
A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar