Nasionalisme
Transmitif
Oleh: A
Helmy Faishal Zaini
Dalam
sebuah forum yang digelar oleh sebuah lembaga internasional, ketika saya
didaulat untuk menjadi salah satu pembicara, ada banyak pertanyaan yang
dikemukakan peserta.
Pertanyaan
itu secara garis besar bisa dikerucutkan jadi sebuah tema pertanyaan besar,
yakni bagaimana dan resep apa yang digunakan Nahdlatul Ulama (NU) dalam
menumbuhkan rasa cinta tanah air (nasionalisme)? Jika memang ia sudah berhasil
ditumbuhkan, bagaimana cara merawat, memupuk, dan menyiraminya? Lalu adakah
peran agama di dalamnya?
Barangkali
sebagian dari kita malah menganggap pertanyaan semacam itu klise dan kuno.
Pendapat itu tentu kita hargai. Namun, harus saya katakan bahwa
pertanyaan-pertanyaan itu, yang lahir dan disampaikan di forum internasional,
dalam konteks kehidupan dewasa ini sangat penting dan menemukan titik
relevansinya kembali.
Kepada
peserta tersebut saya sampaikan pendapat kiai-kiai NU yang secara formal tidak
pernah belajar tentang konsep nasionalisme. Jika Al-Maududi (1990) menolak
secara tegas konsep nasionalisme karena dinilai sebagai produk Barat, maka
tidak demikian dengan kiai-kiai NU.
Jangankan
berbicara tentang konsep-konsep rumit tentang nasionalisme, tahu dan mendengar
istilah nasionalisme saja mereka umumnya baru belakangan—jauh setelah
kemerdekaan Indonesia. Namun, penting untuk dicatat, dalam praktik kehidupan
sehari-hari mereka (kiai-kiai) cukup menggamit nasihat yang diajarkan secara
mutawatir (transmitif) bahwa tanah air tempat kita dilahirkan adalah rumah bagi
kita. Maka, hukum menjaga dan merawatnya adalah wajib.
Kerangka
berpikir semacam ini saya rasa dilahirkan dari pemahaman yang utuh tentang
konsep kulliyÃtul khams dipadu dengan kaidah fikih. Dalam kulliyÃtul khams
diajarkan bahwa lima persoalan yang wajib dijaga dan dilindungi adalah: jiwa
(nafs), agama (din), harta (mal), akal (aql), keturunan (nasl).
Lima
persoalan itu hal mendasar yang harus dijaga. Dalam konteks ini, kita bisa
menariknya dalam bingkai berbangsa dan bernegara, yakni negara harus hadir
menjamin jiwa, agama, harta, akal, dan keturunan penduduknya. Parameternya
jelas, jika negara tak hadir dan tidak menjamin keamanan lima bidang tersebut,
maka bisa dipertanyakan peran dan fungsi negara dalam kehidupan rakyatnya.
Dalam
konteks nasionalisme, bagaimana lima hal tersebut bisa dijamin jika negaranya
tidak berdiri tegak? Pada posisi inilah sebuah adagium fikih yang berbunyi ma
la yatimmul wajib illa bihi fahua wajib menemukan titik signifikansinya. Bahwa,
proteksi dan jaminan akan tegaknya lima kebutuhan yang wajib dijamin oleh
negara tidak akan bisa berlangsung jika negaranya tidak kuat dan kokoh. Karena
lima perkara tersebut wajib dijaga dan penjaganya (negara) harus kokoh, maka
menjaga negara hukumnya wajib. Inilah aplikasi adagium fikih dalam konsep
nasionalisme.
Cara
berpikir metodologis menggunakan adagium dan terminologi fikih semacam ini
lazim diajarkan secara terus-menerus di semua pesantren yang berada di segenap
penjuru Nusantara. Saya tidak sedang mengatakan bahwa belajar tentang sejarah,
konsep, dan paradigma nasionalisme itu tidak penting, tetapi yang ingin saya
sampaikan adalah bahwa ada tradisi, cara, dan corak pembelajaran tentang
nasionalisme dan rasa cinta tanah air yang selama ini telah dipraktikkan,
diaplikasikan, diwariskan, dan diajarkan bahkan secara doktrinal (tanpa
menggunakan nomenklatur nasionalisme, barangkali) di kalangan pesantren yang
merupakan perwujudan NU dalam arti besar.
Aset
berupa metodologi cara berpikir seperti ini sangat penting untuk secara
terus-menerus digali, direvitalisasi, dan jika perlu dikaji dan dipelajari agar
semakin bisa menyesuaikan diri dengan generasi yang akan datang. Di saat
bersamaan, kita juga dituntut terus memodifikasi pola dan cara agar proses
pentransmisian dan pewarisan ”pemahaman” akan nasionalisme dan rasa cinta tanah
air bisa diterima dengan baik oleh generasi-generasi mendatang.
Nasionalisme di era disrupsi
Kita
sedang menghadapi apa yang disebut sebagai era disrupsi. Sebuah era dengan ciri
utama bahwa sedang terjadi perubahan- perubahan yang sangat fundamental dan
mendasar. Banyak penyebab perubahan itu, tetapi sebagaimana dikatakan banyak
ilmuwan bahwa penyebab dominan dari terjadinya era disrupsi adalah evolusi
teknologi. Teknologi digital tampaknya sudah nyaris mengubah semua tatanan
kehidupan manusia. Dalam bidang sosial, politik, hukum, hiburan, dan bahkan
agama.
Dalam
konteks ini, patut dikemukakan hasil riset yang dilakukan Center for the Study
of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tentang corak,
warna, dan arah keragaman kaum muda Muslim Indonesia. Penelitian yang dilakukan
tahun 2018 ini melibatkan 935 aktivis muda Muslim di 18 kota di Indonesia.
Hasilnya,
ditemukan bahwa terdapat tren yang dianut kaum muda Muslim pada usia 15-24,
yakni mereka mengatakan bahwa sumber primer belajar agama adalah media sosial.
Media sosial jadi wahana untuk berselancar mencari pengetahuan agama.
Akibatnya, sebagaimana kerap dikhawatirkan, banyak dari anak muda tersebut
tiba-tiba memiliki watak dan pandangan keagamaan yang kian eksklusif. Inilah
tantangan kita dewasa ini.
Jika
pesantren dan kalangan agamawan tradisional selama ini mengajarkan nilai-nilai
nasionalisme melalui metodologi fikih yang terbukti berhasil, ke depan
pengajaran dan pewarisan pemahaman tersebut harus ditularkan dengan model,
cara, dan media yang sesuai dengan tuntutan zaman. Pembelajaran dan pewarisan
pemahaman harus dikemas sedemikian rupa sehingga sesuai dengan semangat
zamannya. Inilah yang pada kondisi tertentu acap kurang disadari.
Saya
termasuk salah satu yang mendorong kiai-kiai pesantren agar serajin mungkin
mengunggah siaran ”ngaji”-nya, memproduksi konten-konten dakwah Islam yang
ramah. Sudah waktunya wahana dakwah kaum agamawan tradisional bergeser.
Pengajian bisa dilakukan dengan tatap muka dari majelis ke majelis, tetapi yang
tidak kalah penting adalah mengunggah, memproduksi, menyiarkan secara langsung
(live streaming) pengajian dan dakwahnya melalui media-media sosial yang mereka
miliki.
Dengan
begitu narasi tentang wacana Islam yang ramah, moderatisme, toleransi, dan juga
semangat untuk terus dan selalu mencintai tanah air akan bisa diwariskan secara
masif dan transmitif. Isu ini menjadi sangat penting untuk terus dibicarakan
dan diformulasikan.
Meminjam
analisis Said Aqil Siroj (2017), hanya di negeri inilah dua peran agamawan atau
ulama bisa berjalan seimbang. Pertama, peran mencerdaskan umat (yatafaqqahu
fiddin) dan, kedua, peran sebagai pemimpin atau pamong masyarakat (indzaru
qaumin). Dua peran tersebut harus tetap kita jaga dan pastikan
keberlangsungannya.
Sebab,
jika salah satu di antara dua peran tersebut mati atau mengalami disfungsi,
kita tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Namun, tidak perlu
khawatir, selama kalangan agamawan dan ulama masih istikamah di jalur
perjuangannya, selama itu pula semangat kebangsaan—termasuk rasa cinta tanah
air dan nasionalisme—berdiri tegak dan akan selalu diwariskan kepada para
penerus bangsa. []
KOMPAS,
10 September 2018
A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar