Kebijakan Harus Bijaksana
Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
Membaca judul di atas, orang pun lalu bertanya dalam hati: apa ada
kebijakan yang tidak bijaksana selama ini? Apakah penulis tidak mengada-ada
saja dengan judul di atas? Jawabnya adalah betul, karena berbagai kenyataan
pahit dalam hidup sebagai bangsa di alam mencekam ini. Salah satu contoh
adalah, membiarkan becak menghalangi lalu lintas jalan raya yang sangat penuh
dengan kendaraan bermotor pada waktu tertentu, ini adalah kenyataan yang tidak
bisa dipungkiri. Berapa banyakkah pemerintah daerah yang berani melarang becak
berlalu-lalang menyumbat kendaraan bermotor di jalan raya kota. Orang dapat
saja mengatakan, kalau becak dilarang lewat di jalan-jalan besar kita, mau di
kemanakan para pengemudinya yang lalu jadi penganggur. Memang ini adalah
kenyataan, tetapi mengambil kebijakan itu jelas akan menjadikan kita terpaksa
berbuat “tidak bijaksana”. Dalam hal ini menjadi jelas bagi kita, bahwa kita
pun dalam beberapa hal ”terpaksa” mengambil kebijakan yang tidak bijaksana
selama ini. Ini harus disadari, dengan demikian akan ada kemungkinan “kebijakan
yang tidak bijaksana” itu nantinya akan kita rubah juga. Tapi lain keadaanya
jika kebijakan itu dipertahankan mati-matian, dan dibuat dengan segala upaya
agar tampak bijaksana apapun alasannya. Itu jelas merupakan sesuatu yang akan
merugikan pengambil kebijakan dalam jangka panjang.
Contoh terbaik dalam hal ini adalah kasus bongkar paksa warga kota
dari bantaran beberapa sungai di Jakarta saat ini. Beberapa hal menandai
”proyek penggusuran” itu saat ini, yang akan penulis coba dudukan pada proposi
yang sebenarnya adalah langkah-langkah UPC {Urban Poor Consortium koalisi kaum
miskin kota} pimpinan Wardah Hafidz. Dengan cermat, penulis bertemu dengan para
wakil mereka yang tergusur dan juga bertemu dengan para ahli kota,
kesimpulannya tidak lain memang kebijakan yang diambil tidak memiliki
dasar-dasar pertimbangan yang kokoh. Karena dipakai hanyalah pertimbangan
selintas yang tidak menyelesaikan masalah secara hakiki. Pemerintah pusat atau
daerah selalu beralasan para korban penggusuran akan di relokasi ke kawasan
baru. Tapi sarana dan prasarana hidup yang tidak layak untuk dinikmati orang di
kawasan-kawasan baru itu, kembali memaksa orang-orang yang digusur itu sekali
lagi menjalani hal-hal tidak manusiawi.
Kebijakan penggusuran itu didasarkan pada asumsi bahwa mereka yang
hidup di kawasan bantaran sungai itu adalah para pelanggar undang-undang.
Karena itu penulis juga bertanya; apakah mereka yang tinggal di gedung-gedung
mewah bilangan Menteng {Jakarta} atau Darmo (Surabaya) memiliki surat-surat
yang diperlukan dan benar-benar tidak melanggar undang-undang? Apakah mereka
”dibiarkan” karena sanggup membayar para petugas pemerintah daerah? Jawabnya
adalah karena korupsi yang tidak terkendali menggerogoti pengambil kebijakan
hingga kebijakan itu tidak lagi bijaksana, bahkan terasa tidak manusiawi. Nah,
selama pemerintah daerah dan pemerintah pusat tidak menumpas KKN di kalangan
birokrasi, selama itu pula tindakan-tindakan tidak manusiawi akan tetap
terjadi. Bukankah ini berarti akan terus lahir kebijakan yang tidak bijaksana?
Tidakkah memungkinkan untuk menyediakan lahan-lahan hunian baru bagi mereka
yang akan digusur untuk dibangun sendiri melalui sistem kredit yang manusiawi
dan diselesaikan dalam jangka panjang? Kalau pemerintah pusat sanggup
memberikan status release and discharge {bebas tuntutan hukum}bagi konglomerat
hitam yang ”ngemplang” utang, mengapa hal yang sama tidak dapat dijalankan bagi
orang kecil.
Kebijakan demi kebijakan yang hanya bersifat tambal sulam ini,
dilaksanakan di hampir seluruh tanah air kita. Tidakkah mereka takut, akibat
kebijakan itu melahirkan birokrasi dan aparat keamanan dan pertahanan -yang
sekarang menjadi ekstra kuat-, pada akhirnya hanya akan menghadapi dua pilihan
rumit: terus menjalankan pekerjaan, walau tidak sesuai dengan kebutuhan hidup
atau menuruti segelintir orang yang menjadikan diri mereka para penjaga
”preman-preman besar” yang menguasai kehidupan kawasan-kawasan mewah di daerah
perkotaan kita.
Jelaslah dalam hal ini, bahwa kebijakan tambal-sulam yang
dilakukan pemerintah daerah dan pemerintah pusat sering kali tidak memberikan
dampak yang positif bagi pertumbuhan kota-kota besar maupun kota-kota kecil
kita. Ini terjadi karena berbagai keputusan yang diambil tidak memiliki
perspektif jangka panjang yang baik. Karena KKN, aparat pemerintahan juga
tahu bahwa berbagai proyek yang diputuskan tidak akan memenuhi sasaran yang
diharapkan, karena ”ritual kegagalan” itu menghantui kita semua dan membuat
ketidakpercayaan kepada pemerintah semakin menjadi.
Semua itu menunjuk kepada kenyataan pahit yaitu kehidupan
”orang-orang kecil” di kawasan kumuh perkotaan tidak dapat diatasi dengan
proyek tambal sulam. Karenanya semua pihak baik pemerintah daerah maupun
masyarakat setempat harus bersama-sama memecahkan masalah dasar yang dihadapi
kaum miskin itu. Hanya dengan menghilangkan sikap saling mencurigai antar
kedua belah pihak, baru dapat diperoleh penyelesaian hakiki bagi kawasan kumuh
di kota-kota kita dewasa ini. Ini memang tugas berat mengingat keberagaman
kekuatan-kekuatan yang mencoba mengatasinya. Memang mudah bagi masing-masing
pihak untuk menyatakan untuk ”membereskan” masalah yang dihadapi, tapi sulit
menerapkan hal itu dalam kenyataan, bukan? []
Jakarta, 6 November 2003
Suara Pembaharuan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar