Cinta Mbah Ngis
kepada Mbah Dullah Tak Bersyarat
Sebagai salah seorang
putri Mbah Kiai Abdul Mannan sekaligus adik dari Mbah Kiai Ahmad Umar, Mbah
Ngismatun Sakdullah Solo (wafat 1994)–biasa dipanggil Mbah Ngis–ketika masih
lajang banyak ditanyakan orang apakah sudah punya calon suami atau belum. Itu terjadi
ketika usia Mbah Ngis telah mencapai 15 tahun. Pada masa itu menikah di usia
belia adalah umum. Sampai usia itu, Mbah Ngis tidak memiliki pilihan calon
suami sendiri karena Mbah Ngis menyerahkan persoalan jodoh kepada sang ayah
sebagaimana umumnya zaman itu.
Mbah Umar sendiri
sebagai abangnya, ternyata juga bermaksud menjodohkan Mbah Ngis dengan salah
seorang santri terbaik beliau di Mangkuyudan Solo. Ia hafidh Al-Qur’an dan
alim. Suatu sore Mbah Umar memanggil Mbah Ngis untuk menyampaikan maksudnya. Mbah
Umar memberitahukan nama santri yang hendak beliau jodohkan dengan Mbah Ngis.
Mbah Ngis sangat paham dengan orang yang dimaksud. Sebut saja Mbah Fulan.
Tetapi Mbah Ngis menolak tawaran itu dengan dua alasan sebagai berikut:
Pertama, Mbah Abdul
Mannan sebagai ayah pernah mengatakan kepada Mbah Ngis bahwa putra putri beliau
tidak dijodohkan dengan saudara sendiri. Kepada Mbah Umar, Mbah Ngis
mengatakan, “Bapak sampun nate negendikan, ‘Anak-anaku ora tak olehke karo
sedulur dhewe (Bapak pernah mengatakan, ‘Anak-anakku tidak akan aku dijodohkan
dengan saudara sendiri’).”
Kedua, Mbah Ngis
khawatir tidak bisa menghormati Mbah Fulan sebagaimana mestinya, terutama
dengan berbicara dalam bahasa krama hinggil karena Mbah Fulan adalah adik
sepupu Mbah Ngis. Dalam pergaulan sehari-hari, Mbah Ngis biasa memanggil Mbah
Fulan secara njangkar dan berbicara dalam basa ngoko. Dalam tradisi masyarakat
Jawa, hal ini tidak melanggar sopan santun.
Kedua alasan tersebut
bagi Mbah Ngis sangat mendasar karena berkaitan dengan berbakti kepada orang
tua sikaligus sikap hormat kepada orang laki-laki yang akan disuamikan. Sebagai
seorang anak, Mbah Ngis harus ngestokake dhawuh (tunduk patuh) pada orang tua
dengan tidak menikah dengan saudara sendiri. Sebagai perempuan yang akan diperistrikan,
Mbah Ngis merasa akan menghadapi kesulitan jika menikah dengan Mbah Fulan. Mbah
Ngis takut sekali kalau tidak bisa menghormati sekaligus berbakti kepada Mbah
Fulan sebagai suami karena Mbah Fulan adalah adik sepupu Mbah Ngis.
Kepada Mbah Umar,
Mbah Ngis memberikan jawaban dengan nada sedih, “Kados pundi kula saget ngajeni
Fulan kanti basa krama hinggil menawi piyambakipun dados sisihan kula. Fulan
punika rayi kula. Kula biasa njangkar lan mboten basa. Kula ajrih Kang, menawi
saestu kula mboten saget bektos dumateng garwo. Punipa malih Fulan punika
hafidh Qur’an. Kula mboten wantun. Kula nyuwun pangapunten,
Kang (Bagaimana saya dapat menghormati Fulan dengan berbicara dalam bahasa
yang halus jika dia menjadi suami saya. Fulan adalah adik saya. Saya biasa
berbicara dalam bahasa yang tidak halus. Saya takut Kang, kalau saya
betul-betul tidak bisa berbakti kepada suami. Apalagi Fulan hafidh Qur’an. Saya
tidak berani. Saya mohon maaf)."
Tak lama setelah Mbah
Ngis tak bersedia dijodohkan dengan Mbah Fulan, datanglah Mbah Dullah melamar.
Mbah Kiai Abdul Mannan menerima lamaran itu setelah sebelumnya melakukan shalat
istikharah beberapa kali. Hasilnya positif. Mbah Ngis pun menerima Mbah Dullah
tanpa pernah sebelumnya menanyakan Mbah Dullah itu siapa, punya apa dan bisa
apa. Mbah Dullah benar-benar orang lain yang tidak memiliki hubungan saudara
sama sekali. Menantu seperti inilah yang dikehendaki Mbah Kiai Abdul Mannan
untuk Mbah Ngis.
Mbah Abdul Mannan
memang tidak menginginkan seorang menantu yang masih saudara sendiri karena hal
seperti itu menurutnya tidak akan menambah saudara. Kesediaan Mbah Ngis
menerima Mbah Dullah selain dimaksudkan sebagai birrul walidain, juga agar Mbah
Ngis tidak memiliki sikap berani menentang kepada suami karena benar-benar
orang lain. Mbah Ngis sendiri juga menginginkan seorang suami yang tidak ada
hambatan untuk menghormati dan berbakti kepadanya.
Berbeda dengan Mbah
Fulan yang hafidh Qur’an dan memiliki masa depan cerah, Mbah Dullah adalah
orang biasa saja dan secara lahiriah memiliki beberapa kekurangan, terutama
tidak pandai bekerja mendapatkan uang yang cukup. Mbah Ngis kemudian berperan
ganda sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah dengan 13 anak guna
membantu Mbah Dullah menunaikan kewajibannya sebagai suami. Hidup Mbah Ngis
tidak jarang dalam kesulitan ekonomi sehingga harus bekerja keras setiap hari
dengan berjualan makanan kecil di pesantren tempat kelahirannya. Tetapi Mbah
Ngis tidak pernah menganggap kesulitan-kesulitan itu sebagai kesengsaraan yang
sia-sia. Mbah Ngis memaknainya sebagai riyadlah yang akan melapangkan jalan
ruhani menuju Allah SWT.
Banyaknya kesulitan
yang dialami Mbah Ngis terutama dalam hal ekonomi mungkin tidak akan pernah
terjadi jika dulu Mbah Ngis mau menerima tawaran Mbah Umar, yakni menikah
dengan Mbah Fulan. Mbah Fulan setelah menikah dan tinggal di kampung bersama
istrinya menjadi seorang kiai dengan mengasuh sebuah pesantren. Di mana-mana
Mbah Fulan dihormati dan dimuliakan orang. Ekonominya pun stabil dengan
padatnya kegiatan di sana-sini.
Andaikan dulu Mbah
Ngis bersedia menikah dengan Mbah Fulan, tentu Mbah Ngis jadi nyai. Mbah Ngis
akan dihormati dan dimuliakan sebagaimana Mbah Kiai Fulan. Tangan Mbah Ngis
tentu akan selalu basah karena banyaknya orang yang menyalami dan menciuminya
setiap hari. Di dalamnya tidak jarang akan terselip amplop rejeki. Mbah Ngis
tidak perlu bekerja keras membanting tulang dari pagi hingga malam hari
sebagaimana yang dilakukannya sebagai istri Mbah Dullah.
Mbah Ngis tentu tahu
segala kebaikan yang akan diterimanya jika dulu bersedia menjadi istri Mbah
Kiai Fulan. Bahkan tidak hanya kebaikan duniawi tetapi juga ukhrawi karena Mbah
Kiai Fulan adalah seorang hafidh Qur’an. Seseorang yang hafal Al-Qur’an
diyakini dapat memberi syafa’at kepada beberapa kerabat dekatnya termasuk
istri. Tetapi Mbah Ngis memang tidak sama dengan umumnya orang. Mbah Ngis lebih
tertarik terhadap ridha Allah SWT daripada selainnya karena Mbah Ngis sangat meyakini
kebenaran hadits Rasullah SAW: “Ridha Allah bergantung pada ridha kedua orang
tua.”
Ketika kemudian ada
pihak yang mendorong Mbah Ngis bercerai dari Mbah Dullah karena Mbah Dullah
dianggap hanya membebani saja, Mbah Ngis dengan tegas menolak. Mbah Ngis
meyakini Allah tidak menyukai perceraian. Mbah Ngis tidak sanggup Allah
membencinya karena sejatinya Mbah Ngis mencintai Allah SWT. Salah satu cara
Mbah Ngis mengungkapkan cintanya kepada Sang Kekasih adalah dengan mencintai
Mbah Dullah tanpa syarat. []
Muhammad Ishom, dosen
Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar