Rabu, 19 September 2018

Buya Syafii: Hijrah, Titik Penentu Sejarah Islam (I)


Hijrah, Titik Penentu Sejarah Islam (I)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Seminggu yang lalu pada 11 September 2018, kalender Islam memasuki tahun ke-1440 Hijriyah yang dimulai pada 1 Muharram. Adalah keputusan Khalifah Umar bin Khattab yang kabarnya atas saran Ali bin Abi Thalib untuk mengawali hitungan tahun Islam berdasarkan peristiwa hijrah Nabi ke Yastrib yang kemudian bernama Madinah atau madînat al-nabî (Kota Nabi) pada September 622. Tidak ada kepastian tanggal tentang momen itu, tetapi semua sepakat pada bulan September, mungkin saja tanggal 17.

Kejadian hijrah ini demikian mengesankan yang dilakukan oleh Nabi bersama sahabat setianya Abu Bakr al-Shiddîq, yang dicatat sebagai titik balik dalam perjalanan kenabian. Nabi terpaksa meninggalkan kampung halamannya, tetapi pada saatnya harus direbut kembali, karena tanpa menguasai Makkah sebagai pusat spiritual Muslim, Islam tidak punya kiblat.

Sebenarnya, banyak peristiwa penting lainnya yang terjadi sebelum hijrah itu. Misalnya, hari kelahiran Muhammad, saat pertama kali turunnya wahyu dan pengangkatannya sebagai Nabi dan Rasul pada tahun 610 miladiyah. 

Tetapi, Umar memilih peristiwa hijrah sebagai awal kalender Muslim yang berlaku sampai sekarang. Jika demikian, seberapa penting sebenarnya makna hijrah itu bagi sejarah Nabi dan agama Islam yang dibawanya, sedangkan Nabi sendiri sebelumnya tidak menentukannya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua sumber utama yang dapat dijadikan dasar: Alquran dan sejarah. Alquran sama sekali tidak menyebut tanggal peristiwa, tetapi melukiskan apa yang berlaku atas diri Nabi yang hendak dihabisi nyawanya oleh elite Quraisy pada periode Makkah (610-622) itu. 

Mengapa Nabi harus dibunuh? Karena tatanan sosial masyarakat Makkah terancam oleh gerakan egalitarian Nabi yang dapat merubuhkan sistem oligarki Quraisy yang zalim itu.

Nabi berjuang agar keadilan tegak dengan kukuh dalam masyarakat komersial Makkah dan sekitarnya. Maka itu, ajaran tauhid yang dibawa Nabi langsung membidik struktur piramida sosial yang sangat timpang itu.

Jika semata mengajak mereka untuk percaya kepada Allah sebagai Pencipta langit dan bumi, perlawanan sengit itu tidak akan meledak, karena kepercayaan semacam itu sudah mereka miliki.

Alquran dalam Surah al-Zumar (39) ayat 38 menegaskan: "Dan jika engkau menanyai mereka tentang siapa Yang menciptakan langit dan bumi, sungguh mereka akan menjawab: ‘Allah yang menciptakannya'.” Penegasan serupa diulang dalam Surah al-‘Ankabût (29) ayat 61, Surah Luqmân (31) ayat 25, Surah al-Zukhruf (43) ayat 9.

Percaya kepada Allah sebagai Pencipta alam semesta tanpa bersinggungan langsung dengan perbaikan nasib manusia di muka bumi berupa tegaknya keadilan yang menyeluruh untuk semua anggota masyarakat bukanlah Islam Qurani dan bukan pula Islam kenabian. 

Kejatuhan peradaban Muslim dalam berbagai periode sejarah bisa dilacak pada absennya semangat awal misi Nabi akhir zaman ini. Ini adalah pengkhianatan nyata terhadap hakikat Islam yang sejati, tetapi ironisnya berulang-ulang dilakukan oleh mereka yang mengaku sebagai pemeluk Islam sempurna, sebuah pengakuan palsu yang masih berlangsung sampai hari ini.

Dalam surah-surah Makkiyah terdapat banyak informasi tentang ketimpangan sosial-ekonomi yang parah di kota perdagangan Makkah. Untuk menghapuskannya sukar sekali, ibarat pendakian di jalan yang terjal (al-‘âqabah). 

Muhammad dengan mata telanjang setiap detik menyaksikan panorama ketidakadilan masif yang sangat menggelisahkan batinnya ini. Dengan rahmat Allah Yang Mahaasih, wahyu diturunkan ke dalam hatinya sebagai pedoman untuk melancarkan perubahan sosial yang radikal.

Perhatikan, antara lain, kesaksian Alquran dalam Surah al-Balad (90) ayat 11-16 dalam terjemahan puitis HB Jassin:

Tapi ia tiada menempuh jalan yang terjal (al-‘aqabah).
Bagaimana kau tahu
Apakah jalan yang terjal?
(Itulah) membebaskan hamba dari perbudakan.
Atau memberi makan pada hari kelaparan
Kepada anak yatim bertalian kerabat,
Atau orang miskin terlunta-lunta.

(Lihat: HB Jassin, Al-Qur’an Bacaan Mulia. Jakarta: Yayasan 23 Januari 1942, 1982, hlm. 862). 

[]

REPUBLIKA, 18 September 2018
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar