Hijrah,
Titik Penentu Sejarah Islam (I)
Oleh:
Ahmad Syafii Maarif
Seminggu
yang lalu pada 11 September 2018, kalender Islam memasuki tahun ke-1440
Hijriyah yang dimulai pada 1 Muharram. Adalah keputusan Khalifah Umar bin
Khattab yang kabarnya atas saran Ali bin Abi Thalib untuk mengawali hitungan
tahun Islam berdasarkan peristiwa hijrah Nabi ke Yastrib yang kemudian bernama
Madinah atau madînat al-nabî (Kota
Nabi) pada September 622. Tidak ada kepastian tanggal tentang momen itu, tetapi
semua sepakat pada bulan September, mungkin saja tanggal 17.
Kejadian
hijrah ini demikian mengesankan yang dilakukan oleh Nabi bersama sahabat
setianya Abu Bakr al-Shiddîq, yang dicatat sebagai titik balik dalam perjalanan
kenabian. Nabi terpaksa meninggalkan kampung halamannya, tetapi pada saatnya
harus direbut kembali, karena tanpa menguasai Makkah sebagai pusat spiritual
Muslim, Islam tidak punya kiblat.
Sebenarnya,
banyak peristiwa penting lainnya yang terjadi sebelum hijrah itu. Misalnya,
hari kelahiran Muhammad, saat pertama kali turunnya wahyu dan pengangkatannya
sebagai Nabi dan Rasul pada tahun 610 miladiyah.
Tetapi,
Umar memilih peristiwa hijrah sebagai awal kalender Muslim yang berlaku sampai
sekarang. Jika demikian, seberapa penting sebenarnya makna hijrah itu bagi
sejarah Nabi dan agama Islam yang dibawanya, sedangkan Nabi sendiri sebelumnya
tidak menentukannya?
Untuk
menjawab pertanyaan ini, ada dua sumber utama yang dapat dijadikan dasar:
Alquran dan sejarah. Alquran sama sekali tidak menyebut tanggal peristiwa,
tetapi melukiskan apa yang berlaku atas diri Nabi yang hendak dihabisi nyawanya
oleh elite Quraisy pada periode Makkah (610-622) itu.
Mengapa
Nabi harus dibunuh? Karena tatanan sosial masyarakat Makkah terancam oleh
gerakan egalitarian Nabi yang dapat merubuhkan sistem oligarki Quraisy yang
zalim itu.
Nabi
berjuang agar keadilan tegak dengan kukuh dalam masyarakat komersial Makkah dan
sekitarnya. Maka itu, ajaran tauhid yang dibawa Nabi langsung membidik struktur
piramida sosial yang sangat timpang itu.
Jika
semata mengajak mereka untuk percaya kepada Allah sebagai Pencipta langit dan
bumi, perlawanan sengit itu tidak akan meledak, karena kepercayaan semacam itu
sudah mereka miliki.
Alquran
dalam Surah al-Zumar (39) ayat 38 menegaskan: "Dan jika engkau menanyai
mereka tentang siapa Yang menciptakan langit dan bumi, sungguh mereka akan
menjawab: ‘Allah yang menciptakannya'.” Penegasan serupa diulang dalam Surah
al-‘Ankabût (29) ayat 61, Surah Luqmân (31) ayat 25, Surah al-Zukhruf (43) ayat
9.
Percaya
kepada Allah sebagai Pencipta alam semesta tanpa bersinggungan langsung dengan
perbaikan nasib manusia di muka bumi berupa tegaknya keadilan yang menyeluruh
untuk semua anggota masyarakat bukanlah Islam Qurani dan bukan pula Islam
kenabian.
Kejatuhan
peradaban Muslim dalam berbagai periode sejarah bisa dilacak pada absennya
semangat awal misi Nabi akhir zaman ini. Ini adalah pengkhianatan nyata
terhadap hakikat Islam yang sejati, tetapi ironisnya berulang-ulang dilakukan
oleh mereka yang mengaku sebagai pemeluk Islam sempurna, sebuah pengakuan palsu
yang masih berlangsung sampai hari ini.
Dalam
surah-surah Makkiyah terdapat banyak informasi tentang ketimpangan
sosial-ekonomi yang parah di kota perdagangan Makkah. Untuk menghapuskannya
sukar sekali, ibarat pendakian di jalan yang terjal (al-‘âqabah).
Muhammad
dengan mata telanjang setiap detik menyaksikan panorama ketidakadilan masif
yang sangat menggelisahkan batinnya ini. Dengan rahmat Allah Yang Mahaasih,
wahyu diturunkan ke dalam hatinya sebagai pedoman untuk melancarkan perubahan
sosial yang radikal.
Perhatikan,
antara lain, kesaksian Alquran dalam Surah al-Balad (90) ayat 11-16 dalam
terjemahan puitis HB Jassin:
Tapi ia
tiada menempuh jalan yang terjal (al-‘aqabah).
Bagaimana
kau tahu
Apakah
jalan yang terjal?
(Itulah)
membebaskan hamba dari perbudakan.
Atau
memberi makan pada hari kelaparan
Kepada
anak yatim bertalian kerabat,
Atau
orang miskin terlunta-lunta.
(Lihat:
HB Jassin, Al-Qur’an Bacaan
Mulia. Jakarta: Yayasan 23 Januari 1942, 1982, hlm. 862).
[]
REPUBLIKA,
18 September 2018
Ahmad
Syafii Maarif | Mantan
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar