Rabu, 26 September 2018

(Ngaji of the Day) Amanat dan Sikap Adil


Amanat dan Sikap Adil

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Artinya, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (memerintahkan kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia untuk menetapkannya dengan adil. Sungguh Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sungguh Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat,” (Surat An-Nisa’ ayat 58).

Beberapa kitab tafsir, yaitu Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Qurthubi, menjelaskan bahwa ayat ini turun pada peristiwa Fathu Makkah (Pembebasan Kota Mekah). Setelah berhasil menguasai Kota Mekkah dengan aman dan damai, Nabi Muhammad SAW meminta kunci Ka’bah yang ketika itu dipegang oleh Utsman bin Talhah Al-Hajabi Al-Abdari dan Syaibah bin Utsman bin Abi Talhah. Utsman dan Syaibah adalah saudara sepupu dan menjabat sebagai juru kunci Ka’bah.

Ketika itu, sebagai juru kunci Utsman dan Syaibah belum memeluk Islam. Namun, setelah keluar dari Ka’bah, Nabi Muhammad langsung membaca ayat di atas (An-Nisa’ ayat 58) dan mengembalikan kunci Ka’bah kepada Utsman bin Talhah.

Sebagian riwayat menyebutkan, ayat ini diturunkan khusus untuk Nabi Muhammad SAW dalam perkara kunci Ka’bah tersebut. Diceritakan bahwa Abbas bin Abdul Muthalib meminta kunci itu dari Utsman dan Syaibah. Merasa dirinya bukan bagian dari kaum Muslimin, awalnya Syaibah ragu menyerahkan kunci itu karena khawatir kunci itu tidak akan dikembalikan kepada mereka berdua. Namun akhirnya mereka mau menyerahkan kunci itu kepada Nabi Muhammad SAW.

Dengan kunci itu, Nabi Muhammad SAW masuk ke dalam Ka’bah, melaksanakan shalat dua rakaat, dan menghancurkan berhala yang ada di dalamnya. Setelah selesai Nabi Muhammad keluar dari Ka’bah sambil membaca ayat di atas (An-Nisa’ ayat 58). Beliau kemudian memanggil Utsman dan Syaibah, lantas berkata kepada keduanya sebagai berikut:

خذاها خالدة تالدة لا ينزعها منكم إلا ظالم

Artinya, “Silakan ambil kunci ini. Pegang selamanya secara turun-temurun. Tidak akan ada yang boleh mengambil kunci ini dari kalian kecuali orang yang zalim.”

Jadi, amanat sebagai juru kunci Ka’bah tetap dikembalikan kepada Utsman dan Syaibah meski keduanya belum memeluk Islam. Betapa indahnya ajaran Islam. Amanat harus diserahkan kepada orang yang berhak menerimanya meski orang tersebut bukan bagian dari golongan Muslimin. Karena kebijaksanaan dari Nabi Muhammad inilah, dikisahkan selanjutnya, Utsman memeluk Islam.

Soal ayat ini Sayyidina Umar ibn Khattab menegaskan, “Saya tidak pernah mendengar ayat tersebut (An-Nisa’ ayat 58) kecuali pada saat Nabi Muhammad SAW membacakannya setelah keluar dari Ka’bah.”

Meski demikian, pesan yang terkandung dalam ayat An-Nisa’ ayat 58 ini berlaku secara umum, bahwa jabatan (amanat) harus diserahkan kepada orang yang berhak mengembannya, kapan dan di mana pun. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, segala jabatan harus diserahkan kepada mereka yang telah menempuh proses legal (demokrasi) dalam mendapatkan amanah. Jika jabatan itu adalah presiden, gubernur, dan lain-lain, maka wajib bagi rakyat untuk menyerahkan jabatan itu kepada siapa saja yang memenangkan kontestasi pemilihan umum (pemilu), kemudian mentaatinya.

Oleh sebab itu, ayat di atas diteruskan dengan ayat yang mengandung pesan kewajiban taat kepada pemimpin (ulil amri):

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan kepada ulil amri (pemimpin) di antara kalian,” (Surat An-Nisa’ ayat 59).

Surah An-Nisa’ ayat 58 tersebut mengandung pesan dua arah. Pertama, kewajiban rakyat terhadap pemimpin dengan menyerahkan jabatan kepemimpinan kepada orang yang berhak mengembannya. Kedua, kewajiban pemimpin terhadap rakyat dengan menunaikan segala janji dan apa yang memang menjadi hak rakyat.

Inilah makna amanat yang harus ditunaikan oleh siapapun dan bersifat wajib dalam ajaran Islam. Bahkan Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:

أد الأمانة إلى من ائتمنك، ولا تخن من خانك

Artinya, “Tunaikanlah amanat kepada orang yang mempercayakannya kepadamu, dan jangan khianati orang yang berkhianat kepadamu,” (HR Ahmad dan Abu Dawud).

Sikap Adil

Selain perintah menunaikan amanat Surat An-Nisa ayat 58 juga memerintahkan sikap adil dalam menetapkan keputusan hukum: “Apabila menetapkan hukum di antara manusia, supaya kalian menetapkan dengan adil.”

Kapan dan di mana pun, ayat ini sangat relevan untuk dijadikan pegangan oleh mereka yang memiliki wewenang dalam menetapkan keputusan hukum. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, seluruh elemen harus mendungkung terciptanya sikap adil dalam penyelenggaraan hukum, baik yang bersifat formal atau nonformal. Jika kita memiliki wewenang memberikan keputusan hukum terhadap orang yang tidak kita sukai, keputusan hukum tersebut tetap harus mengacu pada keadilan. Allah bahkan berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Janganlah sekalipun kebencian kalian terhadap suatu kaum mendorong kalian untuk berlaku tidak adil. Hendaklah berlaku adil karena adil itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan,” (Surat Al-Maidah ayat 8).

Perintah menjaga amanat dan sikap adil dalam Surat An-Nisa’ ayat 58 berlaku secara umum dan bahkan berlaku pada setiap individu. Kitab Tafsir Al-Khawatir karya Syekh Mutawalli As-Sya’rawi menjelaskan bahwa sikap adil ini berlalu bagi setiap individu, bahkan dalam menentukan keputusan hukum untuk hal-hal yang bersifat remeh saja. Asy-Sya’rawi menukil sebuah kisah bahwa ada dua bocah yang meminta penilaian kepada Hasan bin Ali bin Abi Thalib tentang gambar yang mereka buat. Dua bocah itu meminta Hasan memberikan penilaian, gambar siapa yang lebih indah? Imam Ali bin Abu Thalib lantas berkata kepada Hasan, putranya, “Ingatlah, wahai Hasan. Penilaian (putusan) yang akan kautetapkan pasti akan Allah mintai pertanggungjawabannya.”

Betapa pentingnya menegakkan keadilan dalam hidup ini. Keadilan adalah perintah dari Allah kepada seluruh umat manusia. Dalam Surat An-Nisa’ ayat 58 jelas sekali bahwa perintah bersikap adil itu harus diberlakukan terhadap umat manusia, bukan hanya terhadap golongan atau kelompok tertentu, baik kelompok agama atau kelompok suku.

Dalam beberapa kitab hadits dikisahkan dari Aisyah tentang seorang perempuan Al-Makhzumiyah yang melakukan pencurian. Orang-orang Quraisy merasa bingung karena perempuan tersebut termasuk dari suku terhormat. Mereka lantas ingin matur kepada Nabi Muhammad untuk menyelesaikan perkara tersebut. Di antara mereka ada harapan bahwa kasus pencurian tersebut tidak perlu diproses secara hukum karena pelakunya termasuk orang terhormat. Ketika itu Utsamah bin Zaid yang diminta untuk matur kepada Rasulullah SAW. Mendengar penjelasan Utsamah, Nabi Muhammad langsung bersabda sebagai berikut:

أَتَشْفَعُ فِي حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ ثُمَّ قَامَ فخَطَبَ ثُمَّ قَالَ إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمْ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ وَايْمُ اللَّهِ لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا

 Artinya, “’Apakah kau meminta syafaat (bantuan keringanan) dalam urusan penegakkan ketentuan (hukum) Allah?’ Nabi Muhammad lantas berdiri dan bersabda, ‘Sungguh kaum sebelum kalian itu rusak dan hancur karena mereka tidak adil (tidak konsisten) dalam menegakkan hukum Allah. Jika yang mencuri adalah orang terhormat, mereka tidak meneruskan proses hukumnya. Jika yang mencuri orang lemah (orang biasa), mereka tegakkan hukum kepadanya. Demi Allah, andai Fathimah binti Muhammad mencuri, pasti aku potong tangannya,’” (Muttafaq alihi).

Pesan dalam hadits ini sudah sangat jelas, bahwa Nabi Muhammad memerintahkan keadilan dalam hukum. Sebaliknya, Nabi Muhammad sangat membenci orang-orang yang mempermainkan hukum. Wallahu a’lam. []

KH Taufik Damas, Wakil Katib Syuriyah PWNU DKI Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar