Belajar dari
Jumawanya Malaikat pada Manusia
Malaikat adalah
makhluk istimewa. Dalam berbagai keterangan, mereka adalah ciptaan Allah yang
paling taat kepada segala titah-Nya. Makhluk yang konon diciptakan sebelum
manusia ini kerap dikisahkan sebagai makhluk yang diciptakan Allah dari cahaya,
tidak memiliki syahwat, serta tidak pernah membangkang.
Namun patut Anda
ketahui, malaikat juga pernah mengajukan pertanyaan kepada Allah. Atau sebut
saja, protes dan gugatan. Setidaknya ada dua gugatan penting malaikat yang
dicantumkan dalam Al-Qur’an, yang berurusan dengan manusia dan segala
tingkahnya. Pertanyaan malaikat ini mengesankan mereka lebih mampu untuk
mengelola bumi manusia itu.
Kedua pertanyaan ini
disarikan dari kitab al-Jami’ li Ahkamil Qur’an yang populer dengan Tafsir Al
Qurthubi karya Syekh Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi. Pertanyaan pertama
disebutkan dalam Surat al-Baqarah ayat 30-32. Ketika Allah bermaksud
menciptakan manusia, dan hal itu diketahui para malaikat, mereka pun bertanya:
“Apakah Engkau hendak
menjadikan di bumi ciptaan yang akan membuat kerusakan di sana, serta saling
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan
menyucikan-Mu?”
Tuhan menjawab
singkat, “Sesungguhnya Aku tahu apa yang kalian tidak ketahui.”
Nabi Adam sebagai
manusia pertama pun diciptakan. Selanjutnya Allah menguji Nabi Adam dan para
malaikat dengan beragam hal, namun malaikat tidak mampu menjawabnya. Mereka pun
mengakui ketidakmampuan mereka.
“Mahasuci Engkau,
tiada pengetahuan bagi kami selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami.
Sungguh Engkau Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”
Gugatan malaikat yang
kedua adalah sebagaimana ditafsirkan Imam Al Qurthubi dari Surat al-Baqarah
ayat 102. Setelah manusia berada di bumi, malaikat meninjau bahwa manusia ini
sudah kelewatan dalam membuat pelanggaran, apalagi sebagai makhluk yang
digadang-gadang menjadi khalifah pengelola bumi. Sekali lagi mereka mengajukan
keheranan kepada Allah.
Sebagai tindak lanjut
atas hal itu, Allah memerintahkan dua jenis malaikat untuk bertugas di bumi
sebagaimana manusia. Konon, nama keduanya adalah Harut dan Marut. Keduanya
diberi kemampuan seperti manusia, baik secara akal maupun syahwat.
Baru sekian waktu
berjalan dengan rupa-rupa tugas manusia itu, mereka pun tergoda pada seorang
perempuan. Keduanya pun merayu perempuan yang diminati itu. Tapi seiring waktu,
sang perempuan akan menyambut rayuan mereka jika kedua malaikat yang “dimanusiakan”
itu meminum arak dan membunuh. Kedua malaikat itu kepalang tanggung, berujung
resah dan mereka pun merasa gagal. Batin mereka, menjadi manusia itu tidak
mudah.
Kerap kali seseorang
mengetahui orang lain melakukan kesalahan, dan betapa mudah untuk merasa sok
dan jumawa dengan kemampuannya, seakan-akan ia mampu melaksanakan tugas serupa.
Hal ini semisal seorang penonton yang mencibir pemain seakan-akan dia lebih
ahli, padahal jika posisinya dibalik, belum tentu ia akan melakukan hal yang
lebih baik.
Kisah ini
mengajarkan, hendaknya sikap empati bisa didahulukan atas kesalahan yang
dilakukan suatu pihak, agar saling menasihati dalam kebaikan bisa menjadi
solusi terbaik. Kesalahan tentu harus diingatkan, namun merasa jumawa dan lebih
mampu tanpa memberikan saran berarti adalah satu bentuk kesalahan kecil yang
mencemari kebaikan-kebaikan lain yang telah dilakukan. Sebagaimana dalam
pepatah bahasa Jawa: ojo rumongso biso, nanging kudu biso rumongso (jangan
merasa bisa, tapi bisalah merasakan). Wallahu a’lam. []
(Muhammad Iqbal
Syauqi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar