Rabu, 12 September 2018

(Hikmah of the Day) Belajar dari Jumawanya Malaikat pada Manusia


Belajar dari Jumawanya Malaikat pada Manusia

Malaikat adalah makhluk istimewa. Dalam berbagai keterangan, mereka adalah ciptaan Allah yang paling taat kepada segala titah-Nya. Makhluk yang konon diciptakan sebelum manusia ini kerap dikisahkan sebagai makhluk yang diciptakan Allah dari cahaya, tidak memiliki syahwat, serta tidak pernah membangkang.

Namun patut Anda ketahui, malaikat juga pernah mengajukan pertanyaan kepada Allah. Atau sebut saja, protes dan gugatan. Setidaknya ada dua gugatan penting malaikat yang dicantumkan dalam Al-Qur’an, yang berurusan dengan manusia dan segala tingkahnya. Pertanyaan malaikat ini mengesankan mereka lebih mampu untuk mengelola bumi manusia itu.

Kedua pertanyaan ini disarikan dari kitab al-Jami’ li Ahkamil Qur’an yang populer dengan Tafsir Al Qurthubi karya Syekh Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi. Pertanyaan pertama disebutkan dalam Surat al-Baqarah ayat 30-32. Ketika Allah bermaksud menciptakan manusia, dan hal itu diketahui para malaikat, mereka pun bertanya:

“Apakah Engkau hendak menjadikan di bumi ciptaan yang akan membuat kerusakan di sana, serta saling menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?”

Tuhan menjawab singkat, “Sesungguhnya Aku tahu apa yang kalian tidak ketahui.”

Nabi Adam sebagai manusia pertama pun diciptakan. Selanjutnya Allah menguji Nabi Adam dan para malaikat dengan beragam hal, namun malaikat tidak mampu menjawabnya. Mereka pun mengakui ketidakmampuan mereka.

“Mahasuci Engkau, tiada pengetahuan bagi kami selain apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sungguh Engkau Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.”

Gugatan malaikat yang kedua adalah sebagaimana ditafsirkan Imam Al Qurthubi dari Surat al-Baqarah ayat 102. Setelah manusia berada di bumi, malaikat meninjau bahwa manusia ini sudah kelewatan dalam membuat pelanggaran, apalagi sebagai makhluk yang digadang-gadang menjadi khalifah pengelola bumi. Sekali lagi mereka mengajukan keheranan kepada Allah.

Sebagai tindak lanjut atas hal itu, Allah memerintahkan dua jenis malaikat untuk bertugas di bumi sebagaimana manusia. Konon, nama keduanya adalah Harut dan Marut. Keduanya diberi kemampuan seperti manusia, baik secara akal maupun syahwat. 

Baru sekian waktu berjalan dengan rupa-rupa tugas manusia itu, mereka pun tergoda pada seorang perempuan. Keduanya pun merayu perempuan yang diminati itu. Tapi seiring waktu, sang perempuan akan menyambut rayuan mereka jika kedua malaikat yang “dimanusiakan” itu meminum arak dan membunuh. Kedua malaikat itu kepalang tanggung, berujung resah dan mereka pun merasa gagal. Batin mereka, menjadi manusia itu tidak mudah.

Kerap kali seseorang mengetahui orang lain melakukan kesalahan, dan betapa mudah untuk merasa sok dan jumawa dengan kemampuannya, seakan-akan ia mampu melaksanakan tugas serupa. Hal ini semisal seorang penonton yang mencibir pemain seakan-akan dia lebih ahli, padahal jika posisinya dibalik, belum tentu ia akan melakukan hal yang lebih baik. 

Kisah ini mengajarkan, hendaknya sikap empati bisa didahulukan atas kesalahan yang dilakukan suatu pihak, agar saling menasihati dalam kebaikan bisa menjadi solusi terbaik. Kesalahan tentu harus diingatkan, namun merasa jumawa dan lebih mampu tanpa memberikan saran berarti adalah satu bentuk kesalahan kecil yang mencemari kebaikan-kebaikan lain yang telah dilakukan. Sebagaimana dalam pepatah bahasa Jawa: ojo rumongso biso, nanging kudu biso rumongso (jangan merasa bisa, tapi bisalah merasakan). Wallahu a’lam. []

(Muhammad Iqbal Syauqi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar