Penerbangan
Memerlukan Keseriusan
Oleh: KH.
Abdurrahman Wahid
Minggu
lalu penulis naik pesawat terbang Pelita Air Service dari Gorontalo, tiba di
bandara Hassanudin jam 15.00 WITA dan setelah terlambat sekitar 1 jam lamanya
baru diberangkatkan kembali dengan pesawat lain milik Pelita Air juga dari
Airport Hassanudin di Makasar menuju Jakarta, alasannya, karena pesawatnya
datang terlambat dari Sorong, sekian lama juga. Mangapakah pesawat terlambat
berangkat dari Sorong, hal itu tidak diterangkan sama sekali oleh pegawai
maskapai penerbangan itu di lapangan terbang Hassanudin. Karuan saja jawaban
yang dikemukakan asal menjawab itu membuat orang geram, dan “pikiran nakal”
penulis mengatakan mengapa perusahaan penerbangan itu tidak dibubarkan saja?
Tapi ini
adalah penyakit yang umum ada di kalangan usaha-usaha penerbangan kita: tidak
ada keberanian untuk mengambil tindakan disipliner terhadap mereka yang
melakukan pelanggaran ini. Juga pada penyakit lama: korupsi dalam managemen
usaha-usaha penerbangan seperti juga terjadi pada bidang-bidang lain dalam
kehidupan bangsa kita. Tidak diingat, bahwa kacau-balau dan rusaknya jadwal
penerbangan, tanpa ada sebab-sebab natural yang jelas (badai salju dan
sebagainya), membawa kesimpulan lain bagi kita amburadulnya usaha transportasi
lainnya dari kehidupan kita, seperti angkutan kereta api dan sebagainya. Ini
mungkin juga sebagai cerminan dari industri lainnya, kalau penerbangan yang
lebih mementingkan ketepatan waktu (punctualities) itu menghasilkan jadwal
penerbangan yang amburadul apalagi bidang-bidang kehidupan lainnya?
Dengan ringannya
staf yang bertugas menyatakan ini bukan kesalahannya pribadi melainkan
kesalahan bersama. Hanya sedemikian sajakah tanggung jawab yang dipikulnya?
Tidakkah ia tahu bahwa keterlambatan ¼ jam saja akan mengakibatkan
porak-poranda jadwal kegiatan para penumpang yang harus terikat kepada
perjanjian dengan pihak lain, baik itu penerbangan ke tempat lain ataupun janji
dengan “orang penting”? Kalau hanya sedemikian saja tanggung jawab pihak
maskapai penerbangan Pelita Air atas keterlambatan tersebut, dengan kualitas
pelayanan seperti itu dapatkah di harapkan kita akan mampu memajukan industri
kita sendiri?
*****
Karenannya,
memang tidak dapat disalahkan jika ahli sosiologi Swedia Gunnar Myrdal
memasukkan bangsa Indonesia dalam kategori “soft nations” (bangsa lunak) dalam
tata pergaulan internasional. Bagaimanakah bangsa yang sedemikian itu akan
memiliki kemampuan mengembangkan industri pariwisata yang berkualitas tinggi
seperti bangsa Spanyol. Kalau kita memang benar-benar menginginkan keindahan
alam khatulistiwa menjadi daya tarik dan “lokomotif” industri pariwisata di
negeri ini, kita harus mampu menghilangkan ‘penyakit’ keterlambatan tersebut.
Caranya bermacam-macam, tetapi intinya adalah kesanggupan menyusun management
yang tangguh dan “berhati baja”. Dengan struktur usaha dan dunia kepegawaian
yang sehat, maka maskapai-maskapai penerbangan kita akan mampu manjaga agar
segala macam jawal penerbangan berjalan tepat pada waktunya.
Tentu
saja orang dapat bergurau, kalau Pelita-nya begitu bagaimana dengan Lampu
Tempel Airlines, yang akan “ berprestasi” sama ini menunjukkan bahwa
pemeliharaan (maintenance) merupakan hal yang paling menentukan bagi
tercapainya ketepatan waktu yang diinginkan dari jadwal penerbangan. Tetapi
disiplin yang tinggi di bidang ini, mengharuskan adanya disiplin terhadap
penumpang-penumpang “penting”, yang terkadang memang ada di sinilah budaya
“mengutamakan pejabat” juga harus dikikis habis. Atau contoh lain, pada sebuah
penerbangan ke Yogyakarta, penulis mengetahui seorang pramugari membawa bayinya
dalam penerbangan, dengan diletakkan di galley. Pada waktu ia harus melayani
penumpang sang bayi menangis dan ia harus menolong bayi tersebut dengan
meninggalkan sang penumpang di tengah-tengah pelayanan.
Hal-hal
“tidak professional” seperti itu haruslah disudahi jika kita ingin memiliki
industri penerbangan yang benar-benar mampu bersaing dengan maskapai-maskapai
penerbangan internasional. Apapun sebab dan masalahnya, koordinasi yang rapih
antara pelayanan penumpang dan pemeliharaan mesin serta kerapihan lapangan
terbang haruslah di jaga dalam keseimbangan optimal. Karena persaingan sangat
ketat yang menjadi ciri utama usaha penerbangan saat ini, mengharuskan adanya
kesungguhan para karyawan untuk memberikan pelayanan terbaik bagi penumpang
maskapai penerbangan tempat ia bekerja. Antara lain, juga memberikan keterangan
yang memuaskan jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
*****
Pernah
ketika masih belum ada airport Soekarno-Hatta, penulis terpaksa “nongkrong” 2
jam setengah lamanya di lapangan terbang Halim Perdana Kusuma akibat
keterlambatan Garuda Indonesia Airways. Jika waktu tersebut dibandingkan dengan
jadwal peneebangan maskapai itu sekarang, jika semuanya “berjalan beres”
berarti hampir 5 penerbangan Jakarta-Yogja dapat dijalani. Penulis menunggu
dengan hati geram di ruang tunggu biasa, sedangkan Menteri Dalam Negeri
Soepardjo Roestam menunggu di ruang VIP. Karena belum ada perbedaan kelas
bisnis dari kelas ekonomi -tidak ada penyekat-, ia segera melihat ketika
penulis duduk di baris kelima sedangkan dia berada di baris pertama, ia
langsung memerintahkan Dirjen yang menyertainya duduk di kursi penulis dang
memanggil penulis duduk disampingnya.
Begitu
penulis duduk di samping sang Menteri, terdengar pramugari meminta maaf atas
nama Garuda karena keterlambatan penerbangan tersebut, karena “alasan operasi”.
Ia menjadi marah mendengar itu dan memanggil sang Pramugari serta meminta
penjelasan apa yang dimaksudkan dengan kata “operasi”. Karuan saja sang
pramugari tidak dapat menjawab dan menunjukkan wajah penuh ketakutan akan
kemarahan sang Menteri. Penulis menengahi dangan mengatakan bahwa sang
pramugari ingin mengatakan “penerbangnya sedang menjalani operasi medis di
rumah sakit”. Langsung pak Pardjo meminta maaf kepada sang pramugari dan
menyatakan untung ada kawannya yang mengingatkan bahwa seorang pramugari
hanyalah sebuah sekrup dalam usaha penerbangan yang luas.
Contoh
amburadulnya jadwal penerbangan di atas menunjukkan dengan jelas bahwa sebuah
pesawat terbang paling mutahir pun tidak akan bekerja dengan baik, tanpa ada
kesunggguhan untuk secara bersungguh-sungguh menjaga ketepatan waktu
penerbangan. Hal ini menghendaki kualitas tinggi pemeliharaan pesawat terbang
(maintenance) dan pelayanan yang baik tapi tegas terhadap para penumpang dan
calon penumpang. Namun, itupun belum dapat mengatasi keterlambatan yang
diakibatkan oleh hal-hal lain di luar wewenang maskapai penerbangan, seperti
dari otoritas lapangan terbang yang cukup lelah mengatur antara pesawat terbang
yang lepas landas dan mendarat di lapangan terbang yang bersangkutan.
Karenanya, mengelola sebuah maskapai penerbangan tampaknya mudah tetapi sulit
dilakukan, bukan? []
Jakarta,
6 November 2003
Memorandum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar