Jumat, 21 September 2018

(Ngaji of the Day) Hukum Bepergian di Hari Jumat: Makruh, Boleh, dan Haram


Hukum Bepergian di Hari Jumat: Makruh, Boleh, dan Haram

Secara garis besar, agama mengizinkan seseorang untuk bepergian kapan pun waktunya asalkan dengan tujuan yang baik. Bepergian sebagaimana disabdakan Nabi merupakan bagian dari adzab, kepayahan. Sehingga musafir memiliki beberapa dispensasi dalam menjalankan ibadah, seperti rukhsah jama’ dan qashar. Namun, berkaitan dengan bepergian di malam atau hari Jumat, terdapat ketentuan hukum secara khusus yang harus dipahami. Tidak jarang, acara atau aktivitas seseorang pada waktu tertentu memaksanya untuk bepergian di hari atau malam Jumat. Bagaimana hukumnya?

Bepergian di malam hari Jumat hukumnya makruh. Yang dimaksud malam hari di sini adalah rentang waktu mulai maghrib sampai terbitnya fajar di hari Jumat. Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa seseorang yang bepergian di malam Jumat, dua malaikat mendoakan buruk kepadanya.

Syekh Syihabuddin al-Qalyubi menegaskan:

وَيُكْرَهُ السَّفَرُ لَيْلَتَهَا بِأَنْ يُجَاوِزَ السُّوْرَ قَبْلَ الْفَجْرِ قَالَ فِي الْإِحْيَاءِ لِأَنَّهُ وَرَدَ فِيْ حَدِيْثٍ ضَعِيْفٍ جِدًّا أَنَّ مَنْ سَافَرَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ دَعَا عَلَيْهِ مَلَكَاهُ 

Artinya: “Makruh bepergian di malam Jumat, maksudnya ia melewati batas desa sebelum terbit fajar. Imam al-Ghazali dalam kitab al-Ihya’ memberi alasan, karena dinyatakan dalam hadits yang sangat dhaif, barang siapa bepergian di malam Jumat, kedua malaikatnya akan mendoakan buruk kepadanya”. (Syekh Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala Kanz al-Raghibin, juz.1, hal.401, penerbit Dar al-Kutub al-Imlmiyyah-Lebanon, cetakan kelima tahun 2009).

Hanya saja, menurut Syekh Ibnu Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Kubra, bila tidak ada tujuan menghindar dari kewajiban Jumat, maka tidak makruh.

Dalam kitab al-Fatawa al-Kubra beliau menegaskan:

مُقْتَضَى قَوْلِ الْغَزَالِيِّ فِيْ الْخُلَاصَةِ مَنْ سَافَرَ لَيْلَتَهَا دَعَا عَلَيْهِ مَلَكَاهُ الْكَرَاهَةُ وَهُوَ مُتَّجِهٌ إِنْ قَصَدَ بِذَلِكَ الْفِرَارَ مِنَ الْجُمُعَةِ قِيَاسًا عَلَى بَيْعِ النِّصَابِ الزَّكَوِيِّ قَبْلَ الْحَوْلِ إِلَّا أَنْ يُفْرَقَ بِأَنَّ الْحَوْلَ ثَمَّ الَّذِيْ هُوَ سَبَبٌ لِلْوُجُوْبِ اِنْعَقَدَ فِيْ حَقِّهِ بِخِلَافِهِ هُنَا وَكَأَنَّ هَذَا هُوَ مُدْرَكُ قَوْلِ بَعْضِهِمْ لَمْ أَرَ لِأَحَدٍ مِنَ الْأَصْحَابِ مَا يَقْتَضِيْ الْكَرَاهَةَ

Artinya: “Indikasi statemen Imam al-Ghazali dalam kitab al-Khulashah, barangsiapa bepergian di malam Jumat, kedua malaikat mendoakan buruk kepadanya, menuntut hukum makruh bepergian di malam Jumat. Hal ini merupakan pendapat yang unggul bila ada tujuan menghindari kewajiban Jumat sebagaimana makruhnya menjual harta zakat yang telah mencapai satu nishab sebelum genap satu tahun. Meskipun terdapat perbedaan di antara dua permasalahan tersebut, sebab haul yang menjadi penyebab kewajiban zakat telah belangsung dalam tanggungan muzakki, berbeda dengan permasalahan Jumat (penyebab kewajiban Jumat mulai berlangsung sejak terbitnya fajar, bukan pada malam harinya). Perbedaan inilah yang mungkin menjadi pola pikir sebagian ulama yang menegaskan tidak ada satu pun dari statemen penganut mazhab Syafi’i yang menunjukan kemakruhan bepergian di malam Jumat.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawi al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz.1, hal.248, cetakan Dar al-Fikr -Lebanon, cetakan tahun 1983).

Sedangkan apabila bepergian dilakukan setelah terbitnya fajar, maka hukumnya haram, baik bepergian yang wajib atau sunah. Sebab setelah terbit fajar, seseorang sudah terikat kewajiban Jumat. Dalam sebuah hadits dinyatakan:

مَنْ سَافَرَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ دَعَتْ عَلَيْهِ الْمَلَائِكَةُ أَنْ لَا يُصْحَبَ فِي سَفَرِهِ

Artinya: “Barangsiapa bepergian di hari Jumat, malaikat mendoakan buruk kepadanya agar tidak mendapatkan teman di perjalanan.” (HR. Al-Daruquthni).

Namun hukum haram tersebut bisa hilang apabila terdapat salah satu dari dua hal.

Pertama, ada dugaan dapat melaksanakan Jumat di tengah perjalanan atau tempat tujuan.

Kedua, terdapat mudlarat bila tidak bepergian setelah subuhnya hari Jumat seperti tertinggal dari rekan rombongan.

Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan:

(وَ) حَرُمَ عَلَى مَنْ تَلْزَمُهُ الْجُمُعَةُ وَإِنْ لَمْ تَنْعَقِدْ بِهِ (سَفَرٌ) تَفُوْتُ بِهِ الْجُمُعَةُ كَأَنْ ظَنَّ أَنَّهُ لَا يُدْرِكُهَا فِيْ طَرِيْقِهِ أَوْ مَقْصِدِهِ وَلَوْ كَانَ السَّفَرُ طَاعَةً مَنْدُوْبًا أَوْ وَاجِبًا (بَعْدَ فَجْرِهَا) أَيْ فَجْرِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ إِلَّا خَشِيَ مِنْ عَدَمِ سَفَرِهِ ضَرَرًا كَانْقِطَاعِهِ عَنِ الرُّفْقَةِ فَلَا يَحْرُمُ إِنْ كَانَ غَيْرَ سَفَرِ مَعْصِيَّةٍ وَلَوْ بَعْدَ الزَّوَالِ

Artinya: “Haram bagi orang yang berkewajiban Jumat, meski ia tidak mengesahkannya, melakukan safar setelah terbitnya fajar hari Jumat yang menyebabkan ia meninggalkan Jumat, misalkan ia menduga tidak dapat melaksanakan Jumat di perjalanan atau tempat tujuan, baik bepergian yang wajib atau sunah, kecuali ia khawatir tertimpa mudlarat bila tidak bepergian seperti tertinggal dari rekan rombongan, maka tidak haram dalam kondisi tersebut, bahkan meski dilakukan setelah masuk waktu zhuhur selama bukan bepergian makshiat”. (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu’in Hamisy I’anah al-Thalibin, juz.2, hal.96, cetakan al-Haramain-Surabaya, tanpa tahun).

Mengomentari redaksi di atas, Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:

)قَوْلُهُ تَفُوْتُ بِهِ الْجُمُعَةُ) أَيْ بِحَسَبِ ظَنِّهِ وَخَرَجَ بِهِ مَا إِذَا لَمْ تَفُتْ بِهِ بِأَنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ إِدْرَاكُهَا فِيْ مَقْصِدِهِ أَوْ طَرِيْقِهِ فَلَا يَحْرُمُ لِحُصُوْلِ الْمَقْصُوْدِ وَهُوَ إِدْرَاكُهَا

Artinya: “Ucapan Syekh Zainuddin; yang menyebabkan ia meninggalkan Jumat, maksudnya sesuai dengan dugaan musafir. Mengecualikan apabila Jumat tidak tertinggal disebabkan safar, dengan sekira musafir memiliki dugaan dapat menemui Jumat di tempat tujuan atau perjalanannya, maka tidak haram bepergian dalam kondisi tersebut karena tujuan syariat yang berupa menemui Jumatan telah tercapai”. (Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anah al-Thalibin, juz.2, hal.96, cetakan al-Haramain-Surabaya, tanpa tahun).

Khawatir tertinggal dari rombongan termasuk alasan yang memperbolehkan seseorang untuk bepergian setelah terbitnya fajar hari Jumat apabila bepergian tidak memungkinkan dilakukan selain pada waktu tersebut. Sehingga apabila masih memungkinkan dilakukan di waktu yang lain, maka bukan termasuk ‘udzur. Dalam titik ini, musafir berkewajiban menjalankan Jumat di tengah perjalanan atau tempat tujuannya.

Syekh Abu Bakr bin Syatha mengutip Syekh Ali Syibramalisi mengatakan:

قَالَ ع ش: وَلَيْسَ مِنَ التَّضَرُّرِ مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ مِنْ أَنَّ الْاِنْسَانَ قَدْ يَقْصِدُ السَّفَرَ فِيْ وَقْتٍ مَخْصُوْصٍ لِاَمْرٍ لَايَفُوْتُ بِفَوَاتِ ذَلِكَ الْوَقْتِ.انتهى قَالَ الْبُجَيْرِمِي كَالَّذِيْنَ يُرِيْدُوْنَ السَّفَرَ لِزِيَارَةِ سَيِّدِيْ أَحْمَدْ اَلْبَدَوِيِّ فِيْ أَيَّامِ مَوْلِدِهِ فِيْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ مَعَ رُفْقَةٍ، وَكَانُوْا يَجِدُوْنَ رُفْقَةً أُخَرَ مُسَافِرِيْنَ فِيْ غَيْرِهِ.انتهى

Artinya: “Syekh Ali Syibramalisi mengatakan, tidak termasuk dlarar yaitu tradisi bepergian pada waktu tertentu karena tujuan yang tidak gagal dengan hilangnya waktu tersebut. Al-Bujairami mengatakan, seperti rombongan yang hendak bepergian untuk menziarahi maqbarah Syekh Ahmad al-Badawi pada hari kelahirannya di hari Jumat, padahal mereka menemukan rombongan lain yang bepergian di selain hari Jumat”. (Syekh Abu Bakr bin Syatha, I’anah al-Thalibin, juz.2, hal.96, cetakan al-Haramain-Surabaya, tanpa tahun).

Demikian penjelasan mengenai hukum bepergian di malam atau hari Jumat. Semoga bermanfaat dan dapat dipahami dengan baik.

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar