Rabu, 26 September 2018

Buya Syafii: Hijrah, Titik Penentu Sejarah Islam (II-Habis)


Hijrah, Titik Penentu Sejarah Islam (II-Habis)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Itulah gambaran Kota Makkah di bawah kekuasaan oligarkis yang menindas dan mengisap. Budak berkeliaran, anak yatim di mana-mana, dan wabah kemiskinan yang membawa maut terlihat di berbagai penjuru, tetapi siapa yang peduli? Hati penguasa Kota Mekkah terkunci terhadap cita-cita kebenaran dan keadilan.

Elite Quraisy bukanlah orang bodoh dalam hal keduniaan. Mereka piawai berbisnis. Dalam surah al-Rûm (30) ayat 7 terbaca: “Mereka kenal sisi luar dari kehidupan dunia, tetapi tentang al-âkhirah [tujuan akhir dari keberadaan manusia di muka bumi] mereka tidak hirau.” Ajaran tentang keesaan Allah yang berimpit dengan konsep kesatuan umat manusia tidak singgah di hati dan di otak elite Quraisy.

Dalam drama karier Nabi ini tampak sekali bahwa Allah memang tidak netral dalam sejarah, campur tangan-Nya sungguh dirasakan, tetapi manusia wajib berjuang. Tanpa kerja keras jangan bermimpi tujuan akan tercapai. 

Nabi dan para sahabatnya telah menempuh jalan terjal yang berliku, demi melaksanakan perintah wahyu. Dalam perjalanan hijrah sepanjang 400 km yang ditempuh sekitar dua minggu di atas punggung onta yang melelahkan itu yang dibayangi ancaman musuh. Tanpa bantuan Langit rasanya mustahil bisa selamat dan kemudian berjaya. 

Kemarahan elite Quraisy kepada Nabi benar-benar sudah sampai di puncaknya. Segala strategi dan siasat telah mereka jalankan agar Nabi tidak meneruskan misi kenabiannya, tetapi selalu berujung pada jalan buntu.

Satu-satunya cara untuk menembus kebuntuan ini adalah dengan menghabisi nyawa Nabi, demi melanggengkan hak-hak istimewa Quraisy yang telah mapan selama ini. Hak-hak itu sekarang hendak dihabisi oleh seorang yang juga sesuku dengan mereka, tetapi miskin. 

Saat lahir, ayahnya ‘Abdullah sudah tiada, sedangkan ibunya Aminah juga telah wafat saat Muhammad masih bocah. Namun, dengan bimbingan wahyu Nabi tetap tak berganjak, segala risiko dihadapi dengan tabah, optimistis, dan pada suatu ketika kota Makkah akan dikuasai kembali.

Optimisme ini bukan berdasarkan ramalan dan perkiraan Nabi karena dia bukan seorang peramal. Tanpa bimbingan wahyu, Nabi tidak punya kemampuan untuk mengetahui kejadian masa depan. 

Alquran surah al-Qashash (28) ayat 85 memang sudah membayangkan bahwa hari kemenangan itu pasti terjadi: “Sebenarnyalah Dia yang telah memberimu Alquran [untuk dijalankan ajarannya] pasti akan mengembalikan engkau ke Ma’ât-tempat kembali [Makkah]. Katakan: Tuhanku lebih mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang berada dalam kesesatan yang nyata.”

Selama 13 tahun di Makkah, Nabi telah bekerja keras untuk menjalankan misinya, tetapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan, bahkan jika tidak melakukan hijrah, kematian senantiasa membayang di depan matanya. Namun, harap dicatat bahwa Nabi telah berhasil mencetak sejumlah kecil pengikut inti yang militan salama periode Makkah. 

Fazlur Rahman menulis: “Seandainya misinya berlangsung secara memuaskan, Nabi tidak akan meninggalkan Makkah karena menguasai kota yang menjadi pusat keagamaan bangsa Arab itu memang menjadi tujuan utamanya.” (Lih. Islam. Chicago and London: University of Chicago Press, 1979, hlm.18).

Periode Madinah kemudian tidak sepi dari peperangan. Bermula dengan Parang Badar pada 624 Miladiah/2 Hijriyah, diikuti oleh berbagai peperangan dahsyat, sampai pada ujungnya Kota Makkah takluk tanpa perlawanan pada bulan Januari 630 Miladiyah/8 Hijriyah. 

Segera amnesti umum untuk mantan musuh dideklarasikan Nabi. Tiada dendam kepada musuh. Bukanlah Islam itu artinya damai, di samping bermakna tunduk berserah diri kepada Allah?

Pada titik puncak kemenangan itu, turunlah surah al-Nashr (110) yang terjemahannya adalah: “Bila datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan engkau lihat manusia masuk agama Allah berbondong-bondong. Maka tasbihlah memuji Tuhanmu, dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh Ia Maha Penerima taubat.” 

Kemenangan harus disikapi dengan hati yang tunduk dan rasa syukur yang terdalam. Itulah akhir perjalanan hijrah, titik penentu sejarah Islam. 

Dua tahun kemudian Nabi mulia itu dipanggil menghadap Allah, pencipta-Nya, pada 632 Miladiah/10 Hijriyah. Nabi dan Rasul pungkasan itu telah pergi untuk selama-lamanya, tetapi risalah suci dan agung yang diwariskannya masih tetap bersama kita sampai rapuhnya dunia ini. []

REPUBLIKA, 25 September 2018
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar