Hijrah,
Titik Penentu Sejarah Islam (II-Habis)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Itulah
gambaran Kota Makkah di bawah kekuasaan oligarkis yang menindas dan mengisap.
Budak berkeliaran, anak yatim di mana-mana, dan wabah kemiskinan yang membawa
maut terlihat di berbagai penjuru, tetapi siapa yang peduli? Hati penguasa Kota
Mekkah terkunci terhadap cita-cita kebenaran dan keadilan.
Elite
Quraisy bukanlah orang bodoh dalam hal keduniaan. Mereka piawai berbisnis.
Dalam surah al-Rûm (30) ayat 7 terbaca: “Mereka kenal sisi luar dari kehidupan
dunia, tetapi tentang al-âkhirah [tujuan
akhir dari keberadaan manusia di muka bumi] mereka tidak hirau.” Ajaran tentang
keesaan Allah yang berimpit dengan konsep kesatuan umat manusia tidak singgah
di hati dan di otak elite Quraisy.
Dalam
drama karier Nabi ini tampak sekali bahwa Allah memang tidak netral dalam
sejarah, campur tangan-Nya sungguh dirasakan, tetapi manusia wajib berjuang.
Tanpa kerja keras jangan bermimpi tujuan akan tercapai.
Nabi dan
para sahabatnya telah menempuh jalan terjal yang berliku, demi melaksanakan
perintah wahyu. Dalam perjalanan hijrah sepanjang 400 km yang ditempuh sekitar
dua minggu di atas punggung onta yang melelahkan itu yang dibayangi ancaman
musuh. Tanpa bantuan Langit rasanya mustahil bisa selamat dan kemudian
berjaya.
Kemarahan
elite Quraisy kepada Nabi benar-benar sudah sampai di puncaknya. Segala
strategi dan siasat telah mereka jalankan agar Nabi tidak meneruskan misi
kenabiannya, tetapi selalu berujung pada jalan buntu.
Satu-satunya
cara untuk menembus kebuntuan ini adalah dengan menghabisi nyawa Nabi, demi
melanggengkan hak-hak istimewa Quraisy yang telah mapan selama ini. Hak-hak itu
sekarang hendak dihabisi oleh seorang yang juga sesuku dengan mereka, tetapi
miskin.
Saat
lahir, ayahnya ‘Abdullah sudah tiada, sedangkan ibunya Aminah juga telah wafat
saat Muhammad masih bocah. Namun, dengan bimbingan wahyu Nabi tetap tak
berganjak, segala risiko dihadapi dengan tabah, optimistis, dan pada suatu
ketika kota Makkah akan dikuasai kembali.
Optimisme
ini bukan berdasarkan ramalan dan perkiraan Nabi karena dia bukan seorang
peramal. Tanpa bimbingan wahyu, Nabi tidak punya kemampuan untuk mengetahui
kejadian masa depan.
Alquran
surah al-Qashash (28) ayat 85 memang sudah membayangkan bahwa hari kemenangan
itu pasti terjadi: “Sebenarnyalah Dia yang telah memberimu Alquran [untuk
dijalankan ajarannya] pasti akan mengembalikan engkau ke Ma’ât-tempat kembali
[Makkah]. Katakan: Tuhanku lebih mengetahui orang yang membawa petunjuk dan
orang yang berada dalam kesesatan yang nyata.”
Selama 13
tahun di Makkah, Nabi telah bekerja keras untuk menjalankan misinya, tetapi
hasilnya tidak seperti yang diharapkan, bahkan jika tidak melakukan hijrah,
kematian senantiasa membayang di depan matanya. Namun, harap dicatat bahwa Nabi
telah berhasil mencetak sejumlah kecil pengikut inti yang militan salama
periode Makkah.
Fazlur
Rahman menulis: “Seandainya misinya berlangsung secara memuaskan, Nabi tidak
akan meninggalkan Makkah karena menguasai kota yang menjadi pusat keagamaan
bangsa Arab itu memang menjadi tujuan utamanya.” (Lih. Islam. Chicago and
London: University of Chicago Press, 1979, hlm.18).
Periode
Madinah kemudian tidak sepi dari peperangan. Bermula dengan Parang Badar pada
624 Miladiah/2 Hijriyah, diikuti oleh berbagai peperangan dahsyat, sampai pada
ujungnya Kota Makkah takluk tanpa perlawanan pada bulan Januari 630 Miladiyah/8
Hijriyah.
Segera
amnesti umum untuk mantan musuh dideklarasikan Nabi. Tiada dendam kepada musuh.
Bukanlah Islam itu artinya damai, di samping bermakna tunduk berserah diri
kepada Allah?
Pada
titik puncak kemenangan itu, turunlah surah al-Nashr (110) yang terjemahannya
adalah: “Bila datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan engkau lihat manusia
masuk agama Allah berbondong-bondong. Maka tasbihlah memuji Tuhanmu, dan
mohonlah ampun kepada-Nya. Sungguh Ia Maha Penerima taubat.”
Kemenangan
harus disikapi dengan hati yang tunduk dan rasa syukur yang terdalam. Itulah
akhir perjalanan hijrah, titik penentu sejarah Islam.
Dua tahun
kemudian Nabi mulia itu dipanggil menghadap Allah, pencipta-Nya, pada 632
Miladiah/10 Hijriyah. Nabi dan Rasul pungkasan itu telah pergi untuk
selama-lamanya, tetapi risalah suci dan agung yang diwariskannya masih tetap
bersama kita sampai rapuhnya dunia ini. []
REPUBLIKA,
25 September 2018
Ahmad
Syafii Maarif | Mantan
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar