‘Kitab Suci’ Gerakan
Nasional Revolusi Mental
Judul
: Bung Karno dan Revolusi Mental
Penulis
: Sigit Aris Prasetyo
Format
: 14 X 21 cm
ISBN
: 978-602-7926-37-0
Tebal
: 378 halaman
Terbit
: November 2017
Peresensi
: Faried Wijdan, buruh di sebuah pabrik aksara.
Tanggal 10 Januari,
KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus lewat akun twitter pribadinya @gusmusgusmu
mencuit: “Revolusi Mental, menurutku, mesti dimulai dari 'mental para
pemimpin.” Twit ini diretwit 4480 followers-nya, dan disukai 6729 nettien di
twitter land. Gus Mus seperti ingin ‘mengingatkan kembali’ soal pentingnya
Revolusi Mental ini. Sampai sejauh mana diejawantahkan oleh Bangsa Indonesia,
terutama para pejabat publik di republik ini.
Istilah “revolusi
mental”seolah bangkit kembali setelah sekian lama terkubur,“mati suri”, dan
tidak pernah diperdengarkan kembali. Istilah “revolusi mental” kembali bergema
dan mendapat momentum barunya, yaitu saat dimulainya pemerintahan baru Joko
Widodo pada awal tahun 2014.
Dalam sebuah
pidatonya, ia kembali menggelorakan semangat revolusi mental sebagai bagian
agenda penting pemerintahannya. Semua seolah tergagap,berusaha ingat kembali
dalam kilas sejarah,bahwa dua kata sakti ini telah lama ada dan berkali-kali
tanpa lelah dikumandangkan oleh bapak bangsa “Sukarno,” sang penyambung lidah
rakyat Indonesia.
Berbagai ikhtiar
dilakukan oleh anak bangsa saat ini untuk membahas dan memahami kembali arti
kontekstual dan esensi “revolusi mental. Termasuk menjawab pertanyaan mengapa,
bagaimana dan relevansi “revolusi mental” dan konteks kekiniannya.
Perubahan mentalitas yang pernah dikumandangkan Bung Karno penting dimunculkan,
terus digali termasuk dihubungkan relevansinya dengan konteks kekinian dalam
segala matra, baik politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan
keamanan.
Sebagai contoh, ada
satu pesan Bung Karno yang ‘mak jleb’ dan sangat kontekstual untuk para pihak/
partai yang akan berkompetisi di Pemilukada di tahun politik ini, yakni di bab
2, Total Untuk Negeri, Bukan Partai.
"Demokrasi
adalah alat. Alat untuk mencapai masyarakat adil-makmur yang sempurna. Pemilu
adalah alat yang menyempurnakan demokrasi itu. Pemilu adalah dus sekadar alat
untuk menyempurnakan alat. Kalau hantu kebencian dan hantu panas-panasan lahir
dan merajalela karena pemilihan umum itu, kalau keutuhan bangsa berantakan
karena Pemilu itu, kalau tenaga bangsa remuk redam karena Pemilu itu, maka
benarlah apa yang kukatakan tempo hari, bahwa di sini “alat lebih jahat
daripada penyakit yang hendak disembuhkannya.”
Masih ada di antara
anak bangsa hingga kini belum memahami, bahkan salah mengartikan revolusi
mental yang dikumandangkan Bung Karno. Beberapa pandangan bahkan menyebut
revolusi mental atau “Gerakan Hidup Baru” sebagai jiplakan dari New Life
Movement yang berasal dari negeri luar. Revolusi mental dituduh sebagai
komunisme, seperti hasil pemikiran Karl Marx dalam karyanya Eighteenth
Brumaire of Louis Bonaparte tahun 1869.
Tuduhan-tuduhan
tersebut jauh-jauh hari telah dibantah keras oleh Sukarno. Dalam pidatonya
tanggal 17 Agustus 1957, Bung Karno menyerang balik pandangan tersebut. “Alangkah
piciknya ucapan demikian itu. Alangkah piciknya pula ucapan bahwa Gerakan Hidup
Baru itu adalah inspirasi dari RRT,” kata Bung Karno.
Revolusi mental dalam
konteks historis jelas tidak dapat dipisahkan dengan sang konseptornya, Bung
Karno. Ia pada tahun 1950-an ia telah melihat berbagai bibit penyakit
mentalitas yang mengerogoti mentalitiet anak bangsa, baik di masyarakat dan
pemerintahan yang dianggapnya kontra revolusi. Untuk itu, ia kemudian
memunculkan sebuah gagasan perubahan mentalitas, sebuah gaya hidup baruuntuk
mengatasi kemandegan dari sebuah revolusi yang menurutnya belum selesai.
Bung Karno memimpikan
bangsanya bersemangat elang perkasa, ia mencita-citakan rakyatnya menjadi
manusia baru yang berhati putih, berkemauan baja, berjiwa api yang
menyala-nyala. Sang Putera Fajar seolah-olah juga tidak pernah mengenal lelah
untuk membangunkan, menyadarkan kembali, menggembleng manusia Indonesia agar
bangun, tegak berdiri, tegap melangkah mewujudkan Indonesia jaya, yang salah
satunya dengan menggelorakan suatu perubahan besar mentalitas, sebuah Gerakan
Hidup Baru yang disebutnya sebagai “Revolusi Mental.”
Revolusi mental pada
hakikatnya adalah sebuah ajakan perubahan, perbaikan menuju kebaikan dan
meninggalkan segala penyakit mentalitas yang mengerogoti mentalitiet anak
bangsa, baik di masyarakat maupun kalangan pemerintahan. Revolusi mental
menurut Bung Karno menghendaki manusia Indonesia untuk meninggalkan kemalasan,
korupsi, individualisme, ego-sentrisme, ketamakan, keliaran, kekoboian,
kemesuman, keinlanderan dan menjadi manusia Indonesia yang seutuhnya, menjadi
Manusia Pembina.
Jauh sebelum
menggelorakan revolusi mental, Bung Karno telah melakukan revolusi mental untuk
dirinya sendiri. Ia telah menggembleng jiwa dan raganya terlebih dahulu untuk
menjadi manusia Indonesia yang seutuhnya, pemimpin bagi rakyatnya, nasionalis
unggul, dan penyambung lidah rakyat Indonesia. Kemudian, ia berupaya keras
membangun dan menggembleng mentalitas bangsanya agar menjadi manusia paripurna,
sebaliknya tidak menjadi bangsa kuli atau menjadi kuli bangsa-bangsa lain “een
natie van koelies, en een koelie onder de naties.”
Revolusi mental harus
dilakukan. Bahkan, Sukarno telah meramalkan munculnya masalah maha besar jika
rakyat Indonesia tidak segera menyelenggarakannya. Bung Karno menyebut dan
bahkan mewanti-wanti, bahwa bangsa Indonesia dapat menjadi“bangsa kuli”
diantara bangsa-bangsa dunia lain, menjadi bangsa yang kembali mengalami
eksploitasi, bahkan saling menindas antar sesame anak bangsanya jika tidak
menyegerakan perubahan mentalitas yang disebutnya “revolusi mental.”
Dalam pidatonya tahun
1957, Bung Karno secara jelas dan gamblang telah mewanti-wanti bangsanya
agar segera bergegas melakukan revolusi mental. Dan diberbagai pidatonya, Bung
Karno juga telah mengingatkan agar bangsa Indonesia jangan sudi menjadi bangsa
kuli atau menjadi kuli bangsa-bangsa lain “a nation of coolies and a collies
amongst nations.”
Bung Karno juga
berkata, “Dan sejarah akan menulis: Di sana, antara benua Asia dan Benua
Australia, antara benua Lautan Teduh dan Lautan Indonesia, adalah hidup satu
bangsa, yang mula-mula mencoba untuk hidup kembali sebagai Bangsa, akhirnya
kembali menjadi satu kuli di antara bangsa-bangsa, - kembali menjadi “een
natie van koelies, en een koelie onder de naties.”
Bung Karno menyebut
revolusi mental sebagai prasyarat utama dalam membentuk national building.
Pembentukan national building gagal jika tanpa revolusi mental, atau
sebaliknya. Keduanya saling melengkapi. “National building membutuhkan
bantuan Revolusi Mental! Karena itu, adakanlah Revolusi Mental!
Bangkitlah!" kata Sukarno.
Karakter bangsa harus
dipupuk agar rakyat tidak bermalas-malasan, meninggalkan egoisme, membuang rasa
tamak, menghindari kemewah-mewahan, membuang jauh-jauh sifat ke inlanderan.
Dengan membuang jauh-jauh karakter negatif tersebut, Sukarno yakin rakyat dapat
menjadi manusia Indonesia yang seutuhnya.
Revolusi Mental tentu
saja tidak akan selesai dalam hitungan jam, hari, bulan atau tahun. Namun
sebagai proses berkelanjutan, dibutuhkan sebuah komitmen bersama dan harus
dilakukan serentak oleh seluruh anak bangsa, terutama bagi para
pemimpin-pemimpinnya. Revolusi mental harus didorong oleh bangsa Indonesia
sendiri dan bukan karena dorongan pihak luar.
Mengutip kalimat
Sukarno, “Membaharui mentalitet satu bangsa bukan seperti orang ganti baju.”
Gerakan hidup baru dalam revolusi mental tidak hanya suatu kebiasaan yang
sekedar hanya tidak meludah di sembarang tempat, tidak membuang puntung rokok
di sembarang tempat, namun gerakan yang menggembleng manusia Indonesia yang
baru yang berhati nurani, bermental baja, bersemangat dan berjiwa api yang
menyala-nyala.
Buku ini membedah
“revolusi mental” dalam bahasa sederhana, memotret perkataan, ucapan, tindakan,
karakter, dan kehidupan keseharian Bung Karno, sang Putra Fajar. Tentu saja,
buku ini tidak dimaksudkan untuk mengkultuskan, mendewa-dewakan dan menggambarkan
Sukarno seolah-olah sebagai manusia paling sempurna.
Karena Bung Karno
adalah manusia biasa yang multidimensi, tidak luput dari salah dan khilaf. Hal
inipun secara terang benderang ia sebutkan. “Saya adalah manusia biasa. Saya
dus tidak sempurna. Sebagai manusia biasa saya tidak luput dari kekurangan dan
kesalahan,” kata Sukarno. Dan tidak ada salahnya jika kita dapat dapat
mengali nilai-nilai luhur masa lalu dari ajaran “revolusi mental”. Nilai
tersebut dapat menjadi pembelajaran saat ini dan bagi generasi mendatang.
Seperti yang juga
pernah diharapkan oleh Sukarno, “Harapan saya ialah, hendaknya riwayat hidup
dan perjuangan saya itu dapat diambil sebanyak mungkin pelajaran serta dapat
menjadi suri tauladan segi-segi positifnya, dan buanglah segi-segi negatifnya,
karena saya adalah manusia biasa.”
Namun, ia berharap
dari riwayat hidup dan perjuangannya dapat diambil sebanyak mungkin
pelajaran yang dapat menjadi suri tauladan, namun sebalinya membuang segi yang
negatifnya. Buku ini adalah ikhtiar untuk memahami arti “revolusi mental” dalam
konteks sisi-sisi kemanusiaan “humanisme” Sukarno dan sosial-historisnya. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar