Kamis, 13 September 2018

Nasaruddin Umar: Bagaimana Merawat Kemabruran Haji? (3)


Bagaimana Merawat Kemabruran Haji? (3)
Oleh: Nasaruddin Umar

SEKEMBALINYA di Tanah Air, para hujjaj harus selalu mengingat bahwa ukuran mabrur atau tidaknya haji kita memang terukur di Tanah Air. Masih utuhkah komitmen pelepasan atribut egoisme kita di dalam kehidupan ini?

Masih tampakkah kelembutan lafaz-lafaz talbiyah di dalam pergaulan kita? Masih bertahankah kebeningan hati kita? Masih luruskah jalan pikiran kita? Masih bertahankah rasa cinta dan rindu kita kepada nabi kita? Masih khusyukkah doa kita? Masih lengkapkah salat-salat sunah kita?

Masih bertahankah frekuensi bacaan Alquran kita? Sudah berubahkah perlakuan kita terhadap pembantu dan sopir kita? Sebagai pemimpin, sudah berubahkah sikap kita terhadap rakyat kita? Sebagai pemegang amanah kekayaan, sudah berubahkah perlakuan kita terhadap fakir miskin? Sudah berubahkah perlakuan kita kepada suami atau istri dan anak-anak kita?

Yang paling penting, sudah berubahkah relasi kita dengan Tuhan kita? Apakah Tuhan kita sudah terasa semakin dekat? Apakah jiwa kita sudah semakin tenang? Apakah hati kita sudah semakin cerah? Apakah nafsu kita sudah semakin jinak? Apakah kebencian kita terhadap dosa dan maksiat sudah sedemikian besar?

Apakah ibadah kita sudah semakin bergairah? Apakah pikiran kita sudah sedemikian lurus? Apakah perilaku kita sudah semakin lembut? Apakah tutur kata kita sudah semakin santun? Apakah hidup kita semakin optimistis? Apakah hubungan kita dengan alam sudah sedemikian bersahabat? Apakah rasa toleransi kita sudah semakin terbuka?     

Kesemuanya ini ialah indikator mabrur atau tidaknya haji kita. Tentu kita tidak ingin hanya mendapatkan haji maqbul (sah) tetapi lebih dari itu, kita ingin haji mabrur. Berdampak positif pada diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, lingkungan alam, dan dengan Allah SWT. Amin!

Seberapa besar hujjaj mengalami perubahan (shifting), meninggalkan tradisi negatif yang selama ini melekat di dalam dirinya sekarang diganti dengan tradisi positif. “Sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi sesamanya” (khair al-nas anfa’ahum li al-nas), demikian sabda Rasulullah menyebutkan. Para hujjaj harus berani menggunting langganan dosa-dosa kecil dan besar yang mungkin selama ini sulit ditinggalkan.
  
Kemabruran haji tidak lagi diukur intensitas relasi manusia dengan Tuhannya (hablum minallah), tetapi lebih ditentukan relasi kemanusiaan (hablum minannas). Seberapa besar ekspresi kemanusiaan yang ditampilkan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Seberapa sensitif jiwa kita menyaksikan ketimpangan hidup dan penderitaan yang dialami manusia di sekitar kita. Tentu bukan hanya merasa prihatin, melainkan juga disertai tindakan atau aksi sosial nyata yang bisa menyelesaikan problem sosial tersebut.
     
Ekspresi ini sesuai dengan surat Al-Ma’un, yang diturunkan untuk mengukur kadar keberagamaan seorang hamba: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya, orang-orang yang berbuat riya. dan enggan (menolong dengan) barang berguna.” (QS Al-Ma’un/107:1-7).
     
Ayat tersebut menunjukkan kriteria kualitas keberagamaan seseorang lebih ditekankan keprihatinan kemanusiaan, seperti usaha kita untuk memberi jalan keluar terhadap problem yang dialami anak-anak yatim dan fakir miskin. Surat ini juga menunjukkan perlunya bagi orang yang berpegang teguh kepada ajaran agamanya untuk meberikan perhatian bantuan kepada berbagai macam persoalan yang muncul di dalam masyarakat sekitar kita.
     
Sesederhana apa pun kita, pasti Tuhan telah menempatkan bagian-bagian dari anggota masyarakat yang memerlukan sentuhan dan pertolongan kita. Mungkin kita tidak memiliki harta yang cukup, tetapi Allah SWT memberikan ilmu yang lebih. Mungkin kita tidak memiliki keduanya, tetapi kita memiliki otot yang kuat. Mungkin ketiga-tiganya kita tidak miliki, tetapi Allah SWT masih memberikan kekuatan untuk berdoa. []

MEDIA INDONESIA, 29 Agustus 2018
Nasaruddin Umar Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar