Sketsa Kebangsaan Gus
Dur
Judul
: Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa
Editor
: Alamsyah M. Djafar dan Wiwit R. Fatkhurrahman
Penerbit
: Elex Media Komputindo (Kompas Gramedia)
Cetakan
: Pertama, 2017
ISBN
: 978-602-04-4729-2
Tebal
: 202 + xvii halaman
Peresensi
: Fathoni Ahmad
Malam itu sekitar
tahun 1980-an, gadis kecil bernama Zannuba Arifah Chafsoh Rahman dipangku
ayahnya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
Bukan sedang menikmati suasana malam atau pun rekreasi, tetapi sedang
mengomandani amal bakti berupa penggalangan dana untuk rakyat Palestina.
Gadis kecil yang saat
ini akrab disapa Yenny Wahid itu mengungkapkan, saat itu ayahnya mengenakan
kaos bertuliskan “Palestina”. Kala itu, Gus Dur menggelar pengumpulan dana dan
aksi simpati terhadap warga Palestina bersama para tokoh dan sejumlah seniman,
di antaranya Sutardji Calzoum Bachri.
Simpati kemanusiaan
terhadap sebuah bangsa, terutama kelompok tertindas dan lemah (mustadh’afin)
adalah salah satu persoalan pokok yang menjadi perhatian Gus Dur. Apapun agama,
keyakinan, bangsa, etnis, rasnya bukan menjadi pembatas bagi Gus Dur untuk
melindungi mereka, baik yang di dalam negeri maupun peran kebangsaannya di luar
negeri.
Peran dan
pergaulannya yang luas membuat setiap orang mempunyai kesan mendalam terhadap
Gus Dur. Bahkan, kasih sayangnya yang tercurah kepada semua manusia membuatnya
terus dikenang oleh setiap elemen bangsa ketika dirinya telah tiada. Bahkan,
Soka University Tokyo milik Soka Gakkai yang didirikan Daisaku Ikeda hingga
saat ini masih menjadikan Gus Dur sebagai ikon penggerak kebudayaan modern.
Pengalaman,
testimoni, dan kesaksian terhadap pribadi Gus Dur memang sudah banyak
dibicarakan para tokoh nasional dan lokal, bahkan internasional. Tetapi dalam
buku berjudul Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa terbitan Elex Media
Komputindo berupaya menghadirkan sebuah sketsa berbeda yang coba dihadirkan
para tokoh dari berbagai bidang dan kalangan untuk memberikan testimoni yang
selama ini belum banyak terungkap mengenai pribadi Gus Dur dari berbagai sudut
pandang.
Ada 20 orang dalam
buku ini yang menuliskan pengalamannya dengan apik sehingga pembaca dibawa
larut ke dalam kisah-kisah Gus Dur berdasarkan interaksi langsung (direct
interaction) dengan sang guru bangsa.
Mitsuo Nakamura
misalnya. Profesor Emeritus bidang Antropologi pada Universitas Chiba Jepang
yang banyak menekuni isu-isu kontemporer Indonesia ini mengungkapkan, saat
dirinya mengajak jalan Gus Dur bersama istrinya Shinta Nuriyah berkeliling ke
Kota Kamakura di Jepang.
Dalam perjalanan
tersebut, Mitsuo Nakamura yang tidak lain orang Jepang sendiri merasa kalah
dengan pengetahuan Gus Dur tentang sejarah kota kuno yang pernag menjadi ibu
kota Kerajaan Jepang pada abad ke-12 itu, dan diancam oleh invasi tentara
Mongol. Selain itu, Gus Dur ingat betul detail-detail novel Shogun dan
film Kurosawa Ran. “Kebanyakan pertanyaan Gus Dur tentang dua karya seni
itu melampui kemampuan saya untuk menjawab,” ungkap Nakamura.
Testimoni pribadi Gus
Dur juga datang dari Habib Saggaf bin Mahdi, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul
Iman Parung, Bogor, Jawa Barat. Habib Saggaf pernah berinteraksi langsung
dengan Gus Dur ketika dirinya diminta bantuan oleh Yenny Wahid untuk membujuk dan
menaihati Gus Dur agar mau melakukan proses cuci darah.
Misi tersebut
berupaya dibawa Habib Saggaf dengan sejumlah jurus agar dapat meyakinkan Gus
Dur untuk mau cuci darah. Singkat cerita, Habib Saggaf yang disapa Gus Dur
dengan sebutan Habib Parung ini berhasil membujuk. Namun, di tengah-tengah
obrolan di kediaman Gus Dur tersebut, Habib Saggaf terkesan dengan sikap hangat
dan lontaran humor-humor segar dari mulut Gus Dur.
Selain itu, Habib
Saggaf juga menceritakan pengalamannya bertemu dengan Gus Dur dalam mimpi dan
sosok Gus Dur yang menurutnya adalah salah satu contoh orang yang dicintai
Allah SWT dan manusia dari berbagai kalangan. Dalam mengelola pesantren dan
aktivitas sosialnya, Habib Saggaf juga banyak mengambil pelajaran dari Gus Dur
sebagai manusia yang dekat dengan siapa saja.
Ketika disarikan satu
per satu, tentu ruang resensi ini terlalu panjang untuk dibaca. Termasuk
pengalaman bersama Gus Dur dari seorang Dorce Gamalama, Inul Daratista, KH Imam
Ghazali Said, Don Bosco Selamun, Acep Zamzam Noor, Ahmad Tohari, Franz Magnis
Suseno, Jaya Suprana, Al-Zastrouw Ngatawi, dalan lain-lain yang diungkapkan
dalam buku setebal 202 halaman ini.
Semakin banyak
terungkap sikap, pemikiran, dan hal-hal lain terkait Gus Dur, semakin banyak
pula pundi-pundi kebijaksanaan (wisdom) dari sang guru bangsa yang perlu
diungkap, ditulis, dan diterapkan secara luas. Hal ini berangkat dari sketsa
Gus Dur dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara yang cakupannya
tidak hanya para tataran lokal dan nasional, tetapi juga pada ranah global.
Karena Gus Dur juga
aktif merajut benang-benang perbedaan yang masih tercecer di setiap belahan
dunia untuk mewujudkan persatuan kemanusiaan dalam kain perdamaian. Saat masih
aktif sebagai pelajar dan santri di Indonesia, Gus Dur kecil sudah mampu
melahap sejumlah buku-buku bacaan tidak ringan bagi anak seumurannya. Begitu
juga dengan kajian berbagai kitab kuning karya para ulama yang menurutnya
mempunyai daya bahasa dan sastra yang luar biasa.
Saat aktif menjadi
mahasiswa di Kairo dan Baghdad, pengembaraan ilmunya tidak hanya ia dapat dari
buku, tetapi juga berusaha memahami kehidupan sosial, budaya, dan sejarah yang
melingkupinya. Yang turut menciptakan kuatnya Gus Dur adalah pergaulannya yang
sangat luas ketika itu. Turut aktif di dunia luar dan bertemu banyak orang bagi
Gus Dur tidak akan ia dapatkan ketika hanya belajar di dalam kampus.
Gerakan sosialnya
antara lain ia goreskan ke dalam tulisan demi tulisan yang beredar di sejumlah
koran, jurnal, seminar-seminar, dan pertemuan ilmiah lainnya. Bahkan, tidak
sedikit pemikirannya yang dituangkan dalam bahasa Inggris ketika ia mengisi di
sejumlah forum internasional. Bagi Gus Dur, gerakan nyata untuk mengubah
tatanan sosial, agama, budaya, dan lain-lain ke arah yang lebih baik akan
tersampaikan dengan lengkap ketika gerakan tersebut juga diiringi dengan
aktivitas menuangkan pemikiran dalam bentuk tulisan.
Gerakan-gerakan Gus
Dur berlanjut ketika dirinya diamanahi menjadi Presiden Republik Indonesia pada
1999. Gerakan merajut kebangsaan diperluas oleh Gus Dur ke dalam ranah global.
Hal itu ia upayakan dengan melakukan diplomasi budaya. Bukan diplomasi politik
yang ndakik-ndakik, njlimet, dan formalistik, tetapi diplomasi yang
penuh humor dan kopi. Hal itu ia lakukan dengan sejumlah pemimpin besar dunia.
Gus Dur adalah sebuah
sketsa. Jika setiap orang mampu melihat kasih sayang, agama yang ramah,
persatuan yang kokoh, kebersamaan dalam berbangsa, membela yang lemah dan
tertindas, menegakkan hak-hak kemanusiaan, beragama secara substansial,
kejeniusan, penuh humor cerdas, serta kepemimpinan yang kokoh mengayomi,
maka goresan-goresan itu akan tertuju pada sketsa yang jelas bernama KH
Abdurrahman Wahid, Gus Dur. Selamat membaca! []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar