Ikhtiar Mencari Jalan
Menuju Allah
Penulis
: KH M. Luqman Hakim
Penerbit
: Cahaya Sufi
Cetakan
: Pertama, 2017
Tebal
: 132 halaman
Peresensi
: Tufail Muhammad, Alumnus Ponpes Tebuireng Jombang.
“Dul, apa yang
sebenarnya kamu cari dalam hidup ini?” tanya Pardi pagi itu.
“Apa ya…
Kebahagiaanlah…”
“Memang di dunia ini
ada kebahagian, Dul….”
“Ndak tahu, tapi saya
ingin begitu.”
“Kamu sudah pernah
dapatkan?”
Dulkamdi terdiam
lama, tak bisa menjawab.
“Kenapa kamu bertanya
begitu, Di?”
“Habis tujuan hidupmu
mengambang begitu…”
“Mungkin kamu benar
Di, selama ini saya mengambang saja. Dunia juga dapat segini-segini saja.
Akhirat tambah gak jelas. Utang di dunia banyak, apalagi di akhirat…”” (hal.
33).
Dialog di atas
merupakan kutipan dari buku terbaru KH Luqman Hakim yang berjudul Jalan
Makrifat. Buku tersebut berisi kumpulan tulisan tentang bagaimana berbagai
kondisi sosial-kemasyarakatan dan keagamaan ditinjau dari perspektif Tasawuf
serta dibingkai dengan kisah-kisah sederhana ala warung kopi. Namun walaupun
sederhana tetap menyimpan makna yang begitu dalam.
Bagi mereka yang
pernah membaca buku berjudul Kedai Sufi Kang Luqman karya penulis yang sama
yang terbit beberapa tahun silam akan merasakan kesamaan dari segi nuansa dan
gaya penulisan. Tokoh-tokoh di dalamnya juga sama yaitu Kang Soleh, Dulkamdi,
dan Pardi.
Hal itu karena buku
ini memang kelanjutan dari buku Kedai Sufi Kang Luqman. Namun tentu saja topik
dan isu yang diangkat tidaklah sama karena penulisnya selalu menghubungkan
dengan isu-isu yang sedang berkembang dan actual di tangah masyarakat.
Seperti judulnya Jalan
Makrifat, buku ini menjelaskan bagaimana cara menjalani kehidupan
sehari-hari agar kita senantiasa dalam ridho Allah SWT. Bahkan dalam situasi
tersulit sekalipun kita tetap diingatkan mawas diri agar tidak terjerembab
dalam sikap-sikap yang justru membuat Allah marah kepada kita.
Jalan menuju
keridhoan Allah tentu bukan jalan yang mudah. Butuh banyak pengorbanan yang
harus dilalui, karena sesuatu yang berharga tentu tidak akan diperoleh dengan
cara yang mudah.
Tidak jarang dalam
perjalanannya, seseorang yang berusaha mencari keridhoan Allah mengalami
perasaan lelah dan putus-asa. Oleh karenanya dibutuhkan kesabaran dalam
menjalaninya.
Lalu mereka yang
tidak sabar dalam menjalaninya kemudian mencari jalan pintas dan instan menuju
keridhoan Allah. Mereka mengira jalan itulah jalan makrifat, padahal mereka
salah.
Lewat buku ini kita
diingatkan bahwa, “Nah, sekarang ini banyak orang menempuh jalan makrifat,
sedangkan ia sendiri tidak kenal ma’rifat, apalagi mengenal Yang Di-makrifati
(Allah), ini bias kesandung-sandung iman kita. Pokoknya kalau isinya serba
instan, serba menggiurkan, dan berselera sama dengan nafsu kita, nah itu pasti
bukan Jalan Ma’rifatulah,” lanjut Kang Soleh (hal. 3).
Selain itu dalam buku
ini pembaca diajak untuk mengambil jarak terhadap realitas yang sedang terjadi
untuk kemudian merenunginya. Seperti dialog di awal tulisan ini antara Pardi
dan Dulkamdi. Kita diajak untuk merenungi arti kebahagian, juga tujuan hidup
manusia sesungguhnya. Lalu ujungnya adalah pengakuan mengkhawatirkan dari
Dulkamdi yang bisa dilihat dari kalimat:
“Mungkin kamu benar
Di, selama ini saya mengambang saja. Dunia juga dapat segini-segini saja.
Akhirat tambah gak jelas. Utang di dunia banyak, apalagi di akhirat…” Kalimat
yang membuat pembaca akan tersentak dan bertanya, apa yang telah saya dapatkan
di dunia ini? Dan apakah yang saya dapatkan di dunia ini bermanfaat di akhirat
kelak?
Dengan kata lain
pembaca diajak untuk kembali kepada hakikat kehidupan, kepada makna dasarnya di
mana kita hidup dan berproses di dalamnya. Di saat hidup yang kita tinggali
semakin memuja kesementaraan dan kedangkalan, kita didesak untuk kembali
berpikir, siapa diri kita? Apa tujuan kita? Siapa sesungguhnya yang kita
jadikan panutan? Bagaimana seharusnya kita menjalani kehidupan ini?
Dengan begitu arah
dan tujuan hidup kita menjadi jelas karena pikiran dan sikap kita jernih dalam
memahami peristiwa.
Oleh karena itu
penting kiranya bagi seseorang untuk ‘mengambil jarak’ dengan kehidupan
sehari-hari. Bukan untuk mengingkari atau menegasikan kehidupan itu sendiri,
melainkan untuk melihat diri sendiri secara lebih terang dan jelas.
Selain itu, dialog
dalam buku ini juga mengajak kita untuk memahami hubungan kita sebagai seorang
hamba dengan Allah sebagai Sang Pencipta. Seperti dialog dalam tulisan berjudul
Rela Makrifat Gusti Allah antara Pardi dan Dulkamdi.
“Kamu sudah kenal
Gusti Allah Dul?” Tanya Pardi tiba-tiba ketika fajar mulai menyingkap semesta.
“Wah, pertanyaanmu
kok nganeh-nganehi Di…”
“Lha wajar to, Allah
sudah kita sembah bertahun-tahun, jangan-jangan kita nggak kenal…”(hal. 93).
Dialog di atas
meskipun terdengar sederhana akan tetapi membutuhkan jawaban yang tidak
sederhana. Dibutuhkan perenungan mendalam serta ketekunan dalam mengkaji
ayat-ayat Allah, baik qauliyah ataupun kauniyah.
Dengan begitu,
merawat iman tidak hanya dengan cara memeliharanya. Namun juga dengan cara
membongkarnya melalui pertanyaan-pertanyaan sederhana untuk kemudian disusun
kembali. Dengan cara demikian diharapkan iman dapat diperbaharui dan menjadi
murni kembali.
Kira-kira itulah
pentingnya buku ini dibaca, oleh siapa saja yang ingin untuk dapat selalu
berpikiran jernih dan terus berusaha tanpa lelah dan putus asa mencari
kebenaran Ilahiah di tengah situasi sosial yang karut-marut. Wallahu a’lam
[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar