Kamis, 27 September 2018

(Buku of the Day) Jalan Makrifat


Ikhtiar Mencari Jalan Menuju Allah


Penulis             : KH M. Luqman Hakim
Penerbit            : Cahaya Sufi
Cetakan            : Pertama, 2017
Tebal                : 132 halaman
Peresensi          : Tufail Muhammad, Alumnus Ponpes Tebuireng Jombang.

“Dul, apa yang sebenarnya kamu cari dalam hidup ini?” tanya Pardi pagi itu.
“Apa ya… Kebahagiaanlah…”
“Memang di dunia ini ada kebahagian, Dul….”
“Ndak tahu, tapi saya ingin begitu.”
“Kamu sudah pernah dapatkan?”

Dulkamdi terdiam lama, tak bisa menjawab.

“Kenapa kamu bertanya begitu, Di?”
“Habis tujuan hidupmu mengambang begitu…”
“Mungkin kamu benar Di, selama ini saya mengambang saja. Dunia juga dapat segini-segini saja. Akhirat tambah gak jelas. Utang di dunia banyak, apalagi di akhirat…”” (hal. 33).

Dialog di atas merupakan kutipan dari buku terbaru KH Luqman Hakim yang berjudul Jalan Makrifat. Buku tersebut berisi kumpulan tulisan tentang bagaimana berbagai kondisi sosial-kemasyarakatan dan keagamaan ditinjau dari perspektif Tasawuf serta dibingkai dengan kisah-kisah sederhana ala warung kopi. Namun walaupun sederhana tetap menyimpan makna yang begitu dalam.

Bagi mereka yang pernah membaca buku berjudul Kedai Sufi Kang Luqman karya penulis yang sama yang terbit beberapa tahun silam akan merasakan kesamaan dari segi nuansa dan gaya penulisan. Tokoh-tokoh di dalamnya juga sama yaitu Kang Soleh, Dulkamdi, dan Pardi.

Hal itu karena buku ini memang kelanjutan dari buku Kedai Sufi Kang Luqman. Namun tentu saja topik dan isu yang diangkat tidaklah sama karena penulisnya selalu menghubungkan dengan isu-isu yang sedang berkembang dan actual di tangah masyarakat.

Seperti judulnya Jalan Makrifat, buku ini menjelaskan bagaimana cara menjalani kehidupan sehari-hari agar kita senantiasa dalam ridho Allah SWT. Bahkan dalam situasi tersulit sekalipun kita tetap diingatkan mawas diri agar tidak terjerembab dalam sikap-sikap yang justru membuat Allah marah kepada kita.

Jalan menuju keridhoan Allah tentu bukan jalan yang mudah. Butuh banyak pengorbanan yang harus dilalui, karena sesuatu yang berharga tentu tidak akan diperoleh dengan cara yang mudah.

Tidak jarang dalam perjalanannya, seseorang yang berusaha mencari keridhoan Allah mengalami perasaan lelah dan putus-asa. Oleh karenanya dibutuhkan kesabaran dalam menjalaninya.

Lalu mereka yang tidak sabar dalam menjalaninya kemudian mencari jalan pintas dan instan menuju keridhoan Allah. Mereka mengira jalan itulah jalan makrifat, padahal mereka salah.

Lewat buku ini kita diingatkan bahwa, “Nah, sekarang ini banyak orang menempuh jalan makrifat, sedangkan ia sendiri tidak kenal ma’rifat, apalagi mengenal Yang Di-makrifati (Allah), ini bias kesandung-sandung iman kita. Pokoknya kalau isinya serba instan, serba menggiurkan, dan berselera sama dengan nafsu kita, nah itu pasti bukan Jalan Ma’rifatulah,” lanjut Kang Soleh (hal. 3).

Selain itu dalam buku ini pembaca diajak untuk mengambil jarak terhadap realitas yang sedang terjadi untuk kemudian merenunginya. Seperti dialog di awal tulisan ini antara Pardi dan Dulkamdi. Kita diajak untuk merenungi arti kebahagian, juga tujuan hidup manusia sesungguhnya. Lalu ujungnya adalah pengakuan mengkhawatirkan dari Dulkamdi yang bisa dilihat dari kalimat:

“Mungkin kamu benar Di, selama ini saya mengambang saja. Dunia juga dapat segini-segini saja. Akhirat tambah gak jelas. Utang di dunia banyak, apalagi di akhirat…” Kalimat yang membuat pembaca akan tersentak dan bertanya, apa yang telah saya dapatkan di dunia ini? Dan apakah yang saya dapatkan di dunia ini bermanfaat di akhirat kelak?

Dengan kata lain pembaca diajak untuk kembali kepada hakikat kehidupan, kepada makna dasarnya di mana kita hidup dan berproses di dalamnya. Di saat hidup yang kita tinggali semakin memuja kesementaraan dan kedangkalan, kita didesak untuk kembali berpikir, siapa diri kita? Apa tujuan kita? Siapa sesungguhnya yang kita jadikan panutan? Bagaimana seharusnya kita menjalani kehidupan ini?

Dengan begitu arah dan tujuan hidup kita menjadi jelas karena pikiran dan sikap kita jernih dalam memahami peristiwa.

Oleh karena itu penting kiranya bagi seseorang untuk ‘mengambil jarak’ dengan kehidupan sehari-hari. Bukan untuk mengingkari atau menegasikan kehidupan itu sendiri, melainkan untuk melihat diri sendiri secara lebih terang dan jelas.

Selain itu, dialog dalam buku ini juga mengajak kita untuk memahami hubungan kita sebagai seorang hamba dengan Allah sebagai Sang Pencipta. Seperti dialog dalam tulisan berjudul Rela Makrifat Gusti Allah antara Pardi dan Dulkamdi.

“Kamu sudah kenal Gusti Allah Dul?” Tanya Pardi tiba-tiba ketika fajar mulai menyingkap semesta.

“Wah, pertanyaanmu kok nganeh-nganehi Di…”

“Lha wajar to, Allah sudah kita sembah bertahun-tahun, jangan-jangan kita nggak kenal…”(hal. 93).

Dialog di atas meskipun terdengar sederhana akan tetapi membutuhkan jawaban yang tidak sederhana. Dibutuhkan perenungan mendalam serta ketekunan dalam mengkaji ayat-ayat Allah, baik qauliyah ataupun kauniyah.

Dengan begitu, merawat iman tidak hanya dengan cara memeliharanya. Namun juga dengan cara membongkarnya melalui pertanyaan-pertanyaan sederhana untuk kemudian disusun kembali. Dengan cara demikian diharapkan iman dapat diperbaharui dan menjadi murni kembali.

Kira-kira itulah pentingnya buku ini dibaca, oleh siapa saja yang ingin untuk dapat selalu berpikiran jernih dan terus berusaha tanpa lelah dan putus asa mencari kebenaran Ilahiah di tengah situasi sosial yang karut-marut. Wallahu a’lam []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar