'Kemelut' untuk
Chairil Anwar dari Lesbumi Jogja 1966
Lembaga Seni Budaya
Muslim Indonesia (Lesbumi) NU Yogyakarta mengenang penyair Chairil Anwar dengan
pentas drama pada 12 Mei 1966 di Gedung Dwisaga Warsa.
Peringatan tersebut,
menurut laporan Majalah Minggu Pagi, Nomor 08 Tahun XIX, 22 Mei 1966,
mendapat perhatian cukup meriah dari pengunjung sebab di dalam undangan
tercantum pementasan dua buah drama: Kemelut karya B. Soelarto. Tidak
hanya itu, Surat dari Kartini karya Ircham Machfudz HS juga turut
dipentaskan. Dua drama itu disutradarai M. Nizar.
Sebelum pementasna,
ada ceramahnya dulu, oleh seorang dai bernama Masbuchin. Ia menyampaikan arti
Chairil Anwar dalam sastra Indonesia dengan judul: Chairil Anwar sebagai
Manusia dan Penyair.
Masbuchin berkata
bahwa peringatan malam itu dimaksudkan untuk menikam sekali lagi ke jantung
LEKRA dan antek-anteknya yang sudah sekarat itu, di mana selama prolognya
Gestapu telah melancarkan teror kata dan fitnahan untuk mengecilkan, meragukan
dan menyingkirkan arti penyair Chairil Anwar dalam sastra Indonesia.
“Tapi alhamdulillah
usaha-usaha mereka itu gagal dan karya Chairil yang menyuarakan humanisme dan
vitalitasnya yang benar itu tetap mengangkatnya sebagai martir,” kata
dia.
Di dalam laporan
majalah sama, Nomor 07, Tahun XIX, 15 Mei 1966 memuat sinopsis dari pementasan
itu sebagai berikut:
Harun (M. Nizar)
adalah seorang yang waktu muda jadi Muslim yang taat beribadah. Tapi karena ia
masuk dalam organisasi buruh di tempatnya bekerja akhirnya kemuslimannya itu
luntur dan mulailah harun meninggalkan ibadah-ibadahnya.
Tentunya sebagai
seorang istri (Titiek Mardio) yang amat setia pada suami dan terutama pada
agamanya, melihat sikap Harun itu tidak senang. Istri memperingatkan suami. Di
samping itu, dikiriminyalah ayahnya surat panjang lebar yang menceritakan
tentang suaminya itu.
Ayah istri Harun
(Romli ABK) yang bertempat tinggal di desa Karang tengah dan terkenal sebagai
kiai modern (bekas pemimpin Hizbullah) akhirnya datang ke tempat Harun untuk
menyadarkannya.Tapi, di samping itupun Harun sudah didatangi kurir Partai PKI
(Sofyan Nurzen) yang memaksa Harun supaya berontak dan mengadakan
pembunuhan-pembunuhan terhadap orang-orang yang merintangi maksud jahat PKI.
Ketegangan sudah
dimulai sejak awal cerita. Istri ingin menyadarkan, ayah ingin menyadarkan,
tapi di samping itu kurir partai mendesak terus supaya berontak.
Tapi karena segala
pembicaraan antara Harun dan kurir partai dapat didengar istri yang kemudian
menceritakan pula pada ayahnya, maka pada akhirnya Harun harus pilih: terus
dengan istri dan meninggalkan petualangannya atau terus dengan partai itu dan
cerai dengan istri.
Akhir cerita: Senjata
makan tuan. Si kurir yang telah memberikan senjata kepada Harun (untuk
digunakan sebagai alat membunuh) akhirnya ditodong sendiri dengan pistol
tersebut oleh harun dan mertuanya dan dibawanya kesel maut! []
Abdullah Alawi,
dikutip dari seputarteater.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar