Sakit Seperti Apa yang
Menggugurkan Orang Wajib Shalat Jumat?
Yang harus dipenuhi bagi orang yang
melaksanakan shalat jumat setidaknya adalah tujuh syarat, yaitu Islam, merdeka,
baligh, berakal, laki-laki, sehat, dan tidak dalam bepergian (al-istiyathan).
Ketujuh syarat itu harus terpenuhi. Karenanya, orang non-muslim, yang tidak
berakal, dan musafir tidak terkena kewajiban shalat Jumat. Begitu juga budak, perempuan,
anak kecil, dan orang yang sakit. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam sabda
Rasulullah SAW berikut ini:
الْجُمُعَةُ
حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى إِلاَّ أَرْبَعَةٍ عَبْدِ مَمْلُوكٍ ،
أْوِ امْرَأَةٍ ، أَوْ صَبِىٍّ ، أَوْ مَرِيضٍ
“Shalat Jumat itu wajib bagi setiap muslim
kecuali empat orang yaitu budak yang dimiliki, perempuan, anak kecil, dan orang
sakit” (H.R. Abu Dawud)
Penulis ‘Aun al-Ma’bud Syarhu Sunani Abi
Dawud menjelaskan maksud orang sakit yang tidak wajib shalat Jumat dalam hadits
ini. Menurutnya, orang sakit yang tidak berkewajiban shalat Jumat itu adalah
ketika ia hadir untuk shalat malah menimbulkan masyaqqah (kondisi amat
sulit/memberatkan) bagi dirinya. Ini artinya tidak semua orang sakit tidak
wajib shalat Jumat. Tetapi hanya orang-orang yang memang masuk kategori sakit
berat. Sebab kalau ikut shalat Jumat malah menambah penderitaannya.
Selanjutnya beliau menjelaskan pandangan imam
Abu Hanifah yang meng-ilhaq-kan atau menganalogikan orang yang sakit dengan
orang buta meskipun ada yang menuntuntunya. Alasannya yang beliau kemukakan
adalah bahwa kebutaaan itu juga menimbulkan masyaqqah. Sedikit berbeda dengan
imam Abu Hanifah, imam Syafi’i berpendapat jika orang buta ada yang menuntun
atau mengarahkannya, maka ia bukan orang yang dalam kategori uzur. Karenanya,
dalam konteks ini ia wajib shalat Jumat.
فِيهِ
أَنَّ الْمَرِيضَ لَا تَجِبُ عَلَيْهِ الْجُمُعَةُ إِذَا كَانَ الْحُضُورِ
يَجْلِبُ عَلَيْهِ مَشَقَّةً وَقَدْ أَلْحَقَ بِهِ الْإِمَامُ أَبُو حَنِيفَةَ
اَلْأَعْمَى وَإِنْ وَجَدَ قَائِدًا لِمَا فِي ذَلِكَ مِنَ الْمَشَقَّةَ وَقَالَ
الشَّافِعِيُّ إِنَّهُ غَيْرُ مَعْذُورٍ عَنِ الْحُضُورِ إِنْ وَجَدَ قَائِدًا
“Dalam hadits ini menjelaskan bahwa orang
yang sakit tidak wajib atasnya shalat Jumat apabila kehadirannya dapat
menimbulkan masyaqqah. Imam Abu Hanifah menyamakan orang buta dengan orang
sakit meskipun ia mendapati orang yang menuntunnya, karena adanya masyaqqah.
Sedang imam Syafii berpendapat bahwa orang buta bukanlah orang yang udzur dari
mengikuti shalat Jumat jika ada yang menuntunnya” (Abu Thayyib Muhammad Syams
al-Haq al-Azhim Abadi, ‘Aun al-Ma’bud Syarhu Sunani Abi Dawud, Bairut-Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet ke-2, 1415 H, juz, 3, h. 278)
Nah dari sini dapat disimpulan bahwa menurut
Imam Abu Hanifah orang buta tidak wajib mengikuti shalat Jumat meskipun ada
yang menuntun atau mengarahkannya. Sebab, kebutaan itu sendiri merupakan
masyaqqah. Sedang menurut imam Syafi’i jika ada yang menuntunnya, ia tetap
wajib shalat Jumat. Dua pendapat ini dalam pandangan kami sebenarnya sama-sama
tidak mewajibkan shalat Jumat bagi orang buta, hanya saja imam Syafii
memberikan batasan apabila ada yang menuntun atau yang mengarahkan, maka tetap
wajib shalat Jumat atasnya.
Meskipun kewajiban shalat Jumat menjadi gugur
karena adanya masyaqqah, kewajiban shalat Dhuhur tetap berlaku karena itu
merupakan kewajibannya sebagai hamba Allah sepanjang hidup. Shalat dhuhur
dilaksanakan sebagaimana biasanya. Dalam praktiknya, bila ada kendala lantaran
sakit gerakan dan bacaan disesuaikan menurut kemampuan orang yang melakukannya.
Wallahu a‘lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar